Passport: melancarkan atau menghambat?
Kalau diterjemahkan secara literal passport itu artinya kartu ijin untuk melewati pelabuhan (untuk jaman modern ini lebih mengacu ke perbatasan). Ya semacam kartu pass, mirip-mirip dengan ID card yang musti digesek ke pengaman pintu kantor super rahasia.
Tapi setelah beberapa tahun memiliki paspor saya bukannya merasa punya kartu pass, malah kartu penghambat. Sepertinya paspor hijau berhiaskan lambang garuda kurang 'digemari' oleh pihak imigrasi hampir dimana saja. Ini kurang lebih menunjukkan citra negara kita yang masih coreng moreng. Pembawa paspor hijau ini selalu dikhawatirkan akan menjadi 'masalah' di negara yang dikunjunginya.
Negara tetangga kita mungkin langsung kuatir kalau si pemegang paspor akan jadi TKI gelap di rumahnya. Negara maju juga mungkin berpikir..."ini orang jangan-jangan mau menetap dan membikin ramai aja." Atau yang lebih parah, "Wah orang Indonesia, salah satu negara yang termasuk daftar hitam. Jangan-jangan orang ini ada hubungannya dengan teroris."
Banyak cerita yang saya dengar dari teman-teman. Dari yang digiring ke kantor tertutup karena dicurigai menjadi tenaga kerja gelap sampai yang dipermalukan di depan umum sewaktu 'diinterogasi' tentang darimana dia bisa dapat uang untuk membayar tiket pesawat (lha kan Indonesia negara miskin, mana sanggup berpergian?). Untungnya, sampai sekarang saya belum pernah di'harrassed', mungkin karena saya selalu bisa menunjukkan surat tambahan yang menjustifikasi acara bepergian saya.
Tapi kemarin akhirnya saya merasakan 'sedihnya' memiliki si paspor hijau. Pihak konsulat dimana saya mengajukan permohonan visa berkunjung memperlakukan saya dengan tidak ramah dan melecehkan. Petugas melihat saya dengan pandangan merendahkan (padahal saya udah berpegal ria, pakai sepatu resmi hak tinggi untuk memberikan 'good impression'), dan saya hanya diterima di ruang tunggu. Berdiri dengan kikuk berusaha mencari dan memberi semua dokumen di depan semua orang. Yang paling parah, dengan eksperi angkuh si ibu dengan 'anggunnya' mengatakan bahwa ada kemungkinan permohonan visa akan ditolak. Buset...padahal saya hanya minta visa untuk 4 hari. Bukannya berbulan-bulan!
Miris hati ini. Ingin sekali saya bisa memiliki paspor yang benar-benar kartu pass, seperti paspor merahnya Xaf. Paspor merah yang dihiasi dengan 'white cross' dihargai oleh banyak orang. Selama pengamatan saya, setiap petugas imigrasi melihat paspor tipe ini, mereka jadi ramah, atau paling tidak akan membatalkan niat mereka untuk bermuka masam. Alangkah nikmatnya kalau setiap kita berkunjung, tuan rumah akan dengan ramah menerima kita.
Keinginan saya untuk memiliki si paspor merah bukannya berarti saya berniat 'membuang' si paspor hijau. Apa sih artinya paspor bagi identitas diri saya? Walaupun saya berganti paspor sampai mati saya tetap akan merasa bagian dari bangsa Indonesia. Lagipula saya tidak mengerti alasan pemerintah menolak warganya untuk memiliki dua paspor? Lha kalau si paspor hijau masih tetap menjadi kartu hambatan, kenapa si pemilik tidak boleh mempunyai paspor lain yang benar-benar kartu pass?
Kamu egois pit! Banyak yang nuduh. Kalau yang ngomong ini kenyang mendapatkan perlakuan ganas di bandara saya akan terima tuduhannya, tapi kalau belum pernah, coba dulu deh.
Tapi setelah beberapa tahun memiliki paspor saya bukannya merasa punya kartu pass, malah kartu penghambat. Sepertinya paspor hijau berhiaskan lambang garuda kurang 'digemari' oleh pihak imigrasi hampir dimana saja. Ini kurang lebih menunjukkan citra negara kita yang masih coreng moreng. Pembawa paspor hijau ini selalu dikhawatirkan akan menjadi 'masalah' di negara yang dikunjunginya.
Negara tetangga kita mungkin langsung kuatir kalau si pemegang paspor akan jadi TKI gelap di rumahnya. Negara maju juga mungkin berpikir..."ini orang jangan-jangan mau menetap dan membikin ramai aja." Atau yang lebih parah, "Wah orang Indonesia, salah satu negara yang termasuk daftar hitam. Jangan-jangan orang ini ada hubungannya dengan teroris."
Banyak cerita yang saya dengar dari teman-teman. Dari yang digiring ke kantor tertutup karena dicurigai menjadi tenaga kerja gelap sampai yang dipermalukan di depan umum sewaktu 'diinterogasi' tentang darimana dia bisa dapat uang untuk membayar tiket pesawat (lha kan Indonesia negara miskin, mana sanggup berpergian?). Untungnya, sampai sekarang saya belum pernah di'harrassed', mungkin karena saya selalu bisa menunjukkan surat tambahan yang menjustifikasi acara bepergian saya.
Tapi kemarin akhirnya saya merasakan 'sedihnya' memiliki si paspor hijau. Pihak konsulat dimana saya mengajukan permohonan visa berkunjung memperlakukan saya dengan tidak ramah dan melecehkan. Petugas melihat saya dengan pandangan merendahkan (padahal saya udah berpegal ria, pakai sepatu resmi hak tinggi untuk memberikan 'good impression'), dan saya hanya diterima di ruang tunggu. Berdiri dengan kikuk berusaha mencari dan memberi semua dokumen di depan semua orang. Yang paling parah, dengan eksperi angkuh si ibu dengan 'anggunnya' mengatakan bahwa ada kemungkinan permohonan visa akan ditolak. Buset...padahal saya hanya minta visa untuk 4 hari. Bukannya berbulan-bulan!
Miris hati ini. Ingin sekali saya bisa memiliki paspor yang benar-benar kartu pass, seperti paspor merahnya Xaf. Paspor merah yang dihiasi dengan 'white cross' dihargai oleh banyak orang. Selama pengamatan saya, setiap petugas imigrasi melihat paspor tipe ini, mereka jadi ramah, atau paling tidak akan membatalkan niat mereka untuk bermuka masam. Alangkah nikmatnya kalau setiap kita berkunjung, tuan rumah akan dengan ramah menerima kita.
Keinginan saya untuk memiliki si paspor merah bukannya berarti saya berniat 'membuang' si paspor hijau. Apa sih artinya paspor bagi identitas diri saya? Walaupun saya berganti paspor sampai mati saya tetap akan merasa bagian dari bangsa Indonesia. Lagipula saya tidak mengerti alasan pemerintah menolak warganya untuk memiliki dua paspor? Lha kalau si paspor hijau masih tetap menjadi kartu hambatan, kenapa si pemilik tidak boleh mempunyai paspor lain yang benar-benar kartu pass?
Kamu egois pit! Banyak yang nuduh. Kalau yang ngomong ini kenyang mendapatkan perlakuan ganas di bandara saya akan terima tuduhannya, tapi kalau belum pernah, coba dulu deh.
4 Comments:
wah negara mana nih yang akan kamu kunjungi? masuk sensor ya? biar ga membuat citra buruk negara tsb?
Aku sih alhamdullilah blum pernah punya pengalaman buruk di bandara, jangan sampai please.
Ya aku juga sempet2 mikir mo ganti "warna" pasport. Tapi ada rasa gimana gitu, soalnya kalo ganti warna, yg hijau harus kulepas.
Coba baca2 primbon jawa sebelum mengahadapi petugas bandara, he he...joking.
Yg lebih sedih lagi di CGK malah aku lebih sering dipelototi atau diperlakukan dengan judes...jadi serem tiap mo pulang kampung...
By Anonymous, at September 06, 2005 10:38 AM
duh, angkuh ya ibu itu. tapi kan baru kemungkinan ya, pit. blum tentu ditolak.
eh iya, lam kenal.:)
By Anonymous, at September 06, 2005 11:50 AM
Iya sa, semoga saja bisa tembus. Habisnya tiketnya mahal, kalau dibatalin dendanya itu lho. :(
Salam kenal juga, terima kasih sudah sudi mampir.
By Pipit, at September 06, 2005 11:56 AM
Pit, aku juga pernah tuh diperlakukan berbeda di negara yang tadinya bagian dari Indonesia. I was the only person who had my luggage opened and checked in the immigration entrance, how embarassing. All the 'non-Indonesian' just passed the gate without any difficulties, and guess what ? The immigration officer did speak bahasa Indonesia.
By Anonymous, at September 07, 2005 3:30 AM
Post a Comment
<< Home