<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

another try

Saturday, September 17, 2005

Sudut lain

Bagi penggemar Harry Potter semua pasti ingat di volume ke 4 Hermione memutuskan untuk mengambil mata pelajaran Muggle's study. Pelajaran tentang kehidupan para non-penyihir. Ketika Ron mengingatkan 'tidak perlunya' Hermione yang nota-bene lahir dan berasal dari keluarga penyihir untuk belajar tentang kehidupan mereka (wong itu adalah kehidupan dia sehari-hari bersama keluarganya) Hermione dengan sewotnya menjawab, akan sangat menarik mempelajari bagaimana para penyihir memandang kehidupan kami para non-penyihir. Akan sangat menarik melihat kehidupan 'normal' saya dari sudut pandang penyihir.

Saya sekarang merasa seperti Hermione. Saya meneliti tentang Indonesia, bangsa dan negeri saya sendiri, dari literatur karangan mereka yang bukan orang Indonesia. Sungguh menarik ketika membaca bagaimana salah satu pengarang menggambarkan 'saving face policy' (jaga gengsi) sebagai salah satu budaya di masyarakat Indonesia. Menarik pula menyadari peranan pendidikan, terutama sejarah dan Bahasa Indonesia, dalam 'menciptakan' bangsa Indonesia.

Di lain pihak saya pun seperti tersentak ketika membaca tulisan tentang budaya kekerasan di Indonesia. Budaya kekerasan yang diciptakan dan didukung, tidak hanya oleh para preman, tapi juga oleh 'kelemahan' institusi kemasyarakatan dan kuatnya pengaruh para elite dalam memobilisasi masyarakat yang frustasi menghadapi berbagai perubahan cara hidup, imigrasi mereka yang 'sebangsa' tapi dari etnis yang lain, krisis ekonomi, kehilangan tanah dan mata pencaharian, dsb. Tulisan yang menganalisa tentang berbagai peristiwa kekerasan di Indonesia tidak hanya membuka mata saya tentang 'parahnya' kejadian berdarah di berbagai daerah, tapi juga bagaimana bangsa ini akhirnya jatuh ke lingkaran setan yang penuh dengan diskriminasi, kekerasan, kesenjangan sosial dan ekonomi, ignorance and indifference.

Terus terang saya malu, sadar bahwa selama ini sedikit sekali yang saya ketahui tentang negeri dan bangsa saya sendiri, sedangkan mereka yang orang asing tahu lebih banyak. Saya baru tahu kalau di Sumbawa peternak hanya boleh membiakkan sapi Bali, sedangkan di Lombok peternak bebas untuk memilih jenis sapi yang mau dipelihara. Saya baru tahu kalau ada monopoli dan rayonisasi yang sangat merugikan para petani kapas di Sulawesi Selatan. Saya baru tahu kalau monopoli kopra telah menguntungkan pabrik minyak goreng Bimoli tapi membuat petani kopra di Sulawesi Utara mengelus dada, menerima dengan pasrah harga kopra yang sangat rendah.

Saya jadi ingat sewaktu salah satu petugas perpustakaan di kampus bertanya tentang tema skripsi S1 saya. Sewaktu saya menerangkan bahwa saya meneliti tentang politik luar negeri Amerika Serikat ke RRC, dia dengan sendunya berkomentar, "Saya heran kenapa jarang ada mahasiswa yang mau meneliti tentang negaranya sendiri." Waktu itu saya hanya diam, tapi akhirnya saya menyadari filosofi di balik komentar bapak pustakawan tersebut.

Mungkin kalau saya berhasil menyelesaikan thesis saya yang berkutat dengan efek 'nation-building' dan 'state-building' pada konflik tanah di hutan Indonesia, saya akan memberikan hasil penelitian saya kepada bapak tersebut. Saya harap suatu saat saya akan bisa dengan tulus dan jujur menyatakan bahwa saya telah mengenal bangsa dan negara saya, walaupun mungkin hanya untuk satu aspek saja.

1 Comments:

  • Sebenarnya elo nggak salah juga pit.

    Yang jadi masalahnya adalah, kurangnya informasi ttg banyak aspek di negara indo tercinta ini, baik di media maupun paper akademis. Kita mesti terjun langsung untuk tahu sikon sebenarnya.

    Jurnalis kita parah, kebanyakan mentalnya adalah mental penulis tabloid yang hobi mengeksploitasi berita negatif demi kehebohan sebuah headline.(Gak semua tentunya, tapi kebanyakan begitu)

    Padahal banyak, teramat banyak aspek lain yang bisa digali dari bangsa kita yang besar dan kaya buadaya ini. Sayang ya..

    Hopefully you can finish what you are writing pit, about the forestry, definitely you'll contribute something there in global academic scope :)

    By Anonymous Anonymous, at September 20, 2005 6:49 AM  

Post a Comment

<< Home