Sumbangan dan institusi
Kata sumbangan mungkin adalah salah satu kata paling populer dalam hidup bermasyarakat. Entah di sekolah, RT, kantor atau di jalanan, selalu kita berhadapan dengan "kewajiban" untuk menyumbangkan sedikit uang. Banyaknya musibah bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh manusia (korupsi, krisis ekonomi, krisis politik) membuat semangat menyumbang kita pun semakin diuji dan patutnya dipertebal.
Tapi entah kenapa saya melihat masyarakat kadang sinis dalam melihat konsep sumbangan. Apakah karena kata sumbangan sering digunakan untuk memberikan kedok "iuran"? Atau karena dianggap sumbangan itu akan disalah gunakan? Atau karena menganggap dirinya belum pantas untuk dituntut untuk menyumbangkan sesuatu? Atau karena sudah pasrah akan keadaan dan merasa bahwa sumbangan itu tidak akan memperbaiki keadaan?
Saya masih ingat diskusi saya dengan beberapa teman dan kerabat tentang pentingnya kebiasaan menyumbang. Jawaban mereka macam-macam, dari yang takut dibohongi sampai ke pernyataan bahwa dirinya belum cukup kaya untuk menyumbang. Satu teman saya bilang, "Pit, sebelum kita memberikan makan orang lain, piring di hadapan kita harus dipenuhi dulu."
Tapi apakah dia sadar kalau sebagai manusia kita cenderung tidak pernah puas. Piring tersebut tidak akan pernah penuh karena cenderung ukurannya akan terus membesar. Kalau piringnya tidak penuh-penuh, kapan dong kita akan menyumbangnya? Kenapa bukan standar kepenuhannya yang direvisi?
Lain lagi halnya ketika saya dimarahi dan dibodoh-bodohi karena selalu berusaha memberikan uang kecil kepada mereka yang meminta. Alasan bahwa mereka hanya malas atau ngibulin saya, saya rasa tidak menganulir kebutuhan mereka akan uang tersebut. Kalau ada yang komentar, harusnya pengemis itu bekerja yang halal, komentar balik saya, apakah memungkinkan untuk mereka bekerja? Lapangan pekerjaan kan semakin sempit.
Memang benar lebih baik memberikan kail daripada ikan, tapi ketika saya belum bisa memberikan kail kepada yang lain, tidak ada salahnya saya memberikan ikan dulu, walaupun itu hanya bisa mengisi perutnya untuk satu hari.
Kalau saya cuma ikut-ikutan mengutip pasal 33 UU Dasar 1945, para anak terlantar tersebut tidak akan menjadi kurang terlantar. Kalau pemerintah tidak bisa diandalkan, kenapa kita tidak membantu sebisa kita? Lagipula, pemerintah kita kadang terlalu meremehkan kemampuan rakyatnya sendiri. Kalau masalah sumbangan, tangannya selalu menengadah ke negara kaya, dengan mengekspos kemiskinan negrinya sendiri. Kenapa sumbangan tidak diinstitusionalisasikan? Maksudnya, kenapa sumbangan tidak dijadikan suatu kebiasaan dalam bernegara? Toh selama ini sumbangan sudah menjadi kebiasaan dalam bermasyarakat.
Menurut saya, apabila sumbangan memiliki institusi yang jelas (institusi dalam hal ini tidak hanya berarti kantor dan para ahli buku, tapi lebih ke kebiasaan, peraturan, dan implementasi), kesinisan akan sumbangan sosial saya rasa bisa terobati.
Kembali saya ambil contoh dengan apa yang saya alami di sini.
Di sini, banyak sekali LSM yang bergerak di bidang kemanusiaan. Dari masalah anak sampai masalah kanker. Setiap LSM ini tentunya sangat mengandalkan sumbangan dari masyarakat untuk biaya operasional mereka. Caranya? Mereka mengirimkan formulir sumbangan sukarela (benar-benar sukarela) ke beberapa orang secara merata. Setiap mereka yang menerima bisa mengisi bisa tidak, jumlahnya pun terserah. Formulir dan uang tersebut cukup dikirim lewat kantor pos, atau lewat internet bagi mereka yang memiliki internet-banking. Gampang.
Tapi bukan masalah gampangnya menyumbang yang sangat menarik (di Indonesia menyumbang bisa kapan dan di mana saja juga), tapi tentang kontinuitas dan kepercayaan dalam menyumbang. Bayangkan, saya tidak pernah merasa ragu atau sinis ketika menuliskan angka dalam formulir sumbangan, karena saya tahu bahwa LSM tersebut terpercaya.
Tidak ragu karena LSM itu memberikan laporan akan aktivitas mereka di buletin yang mereka kirim beberapa bulan sekali. Saya pun jadi tahu uang sumbangan itu dipakai untuk apa saja. Terpercaya, karena LSM tersebut adalah anggota institusi publik Swiss dalam pengumpulan sumbangan, ZEWO.
Kontinuitas menyumbang pun terjaga. Setelah menyumbang sekali kepada suatu LSM, LSM ini akan terus mengirimkan formulir sumbangan dan laporan program setiap beberapa bulan sekali. Tidak hanya untuk menjaga hubungan baik dengan donor, tapi juga untuk selalu mengingatkan kalau masalah sosial yang sedang mereka usahakan untuk perbaiki tidak akan selesai hanya dalam satu tahun atau satu sumbangan. Saya pun jadi banyak tahu tentang berbagai masalah sosial di berbagai sudut dunia, dan tergerak untuk mendukung berbagai kegiatan LSM secara berkelanjutan.
Pembangunan institusi yang jelas dan terpercaya seperti ini akan menghapus kecurigaan para calon donor. Lagipula, kepastian akan kucuran dana secara kontinu akan memberikan nafas kehidupan bagi para LSM di Indonesia. Para LSM yang idealis tersebut tidak akan mati karena kehabisan dana, dan mungkin suatu saat idealismenya akan tercapai.
Keberadaan LSM juga kemudian bisa membangun suatu pondasi dana untuk proyek kemanusiaan. Jalur sumbangan bagi yang membutuhkan pun semakin kuat dan beragam. Jadi sumbangan tidak hanya akan mengucur ketika ada musibah besar, dan menghilang ketika musibah tersebut tidak lagi menjadi topik yang mengisi halaman pertama koran.
Satu yang sering dilupakan, salah satu musibah kemanusiaan yang paling besar adalah kemiskinan.
Dan di sini, sumbangan sudah menjadi bagian dari hidup bernegara. Program sosial di sini eksis, walaupun tidak sempurna. Tapi bukan itu yang mau saya tekankan, tapi bagaimana kebijakan pemerintah berhasil "merayu" rakyatnya untuk menjadi lebih dermawan dan membantunya (secara tidak langsung) dalam memelihara rakyatnya.
Salah satu kebijakan pemerintah di sini adalah memperhitungkan sumbangan dalam matematika pajak penghasilan. Setiap sumbangan selalu dipertimbangkan untuk mendapatkan keringanan atau potongan pajak. Dengan tingginya pajak di negara ini (sekitar 20% dari penghasilan), potongan pajak sangat dicintai. Suatu bentuk penghargaan yang sederhana, tapi efektif.
Untuk ini, kembali, institusi berperan penting. LSM, yang sangat teroganisir, wajib memberikan kesaksian tertulis akan jumlah sumbangan yang diterima dari setiap individu. Dengan begitu, kemungkinan penggelapan pajak pun dapat diminimalisasi.
Terlebih lagi, dengan banyaknya sumbangan publik untuk masalah sosial, beban pemerintah pun harusnya menjadi lebih ringan. Pengalihan dana pembangunan tidak berarti mengurangi dana secara konkrit untuk program sosial bagi mereka yang membutuhkan. Jadi ketika pemerintah tidak mampu mengucurkan dana yang sama dengan tahun sebelumnya untuk penelitian penyakit kanker, tidak berarti penelitian terhenti.
Aktifitas menyumbang memberikan hasil ganda. Tidak hanya kita mampu melakukan sesuatu untuk yang lain, kita pun diberi penghargaan dan pengakuan. Tidak perlu award ini atau itu, setiap sumbangan berarti dan saya pun merasa dihargai, terlepas dari kecilnya uang yang mampu saya sisihkan.
Terserah yang lain mau bilang apa, saya tidak puas hanya turut prihatin dan menangis. Sumbangan sudah seharusnya menjadi suatu tradisi, sebuah bentuk solidaritas, bukan hanya karena kasihan.
Tapi entah kenapa saya melihat masyarakat kadang sinis dalam melihat konsep sumbangan. Apakah karena kata sumbangan sering digunakan untuk memberikan kedok "iuran"? Atau karena dianggap sumbangan itu akan disalah gunakan? Atau karena menganggap dirinya belum pantas untuk dituntut untuk menyumbangkan sesuatu? Atau karena sudah pasrah akan keadaan dan merasa bahwa sumbangan itu tidak akan memperbaiki keadaan?
Saya masih ingat diskusi saya dengan beberapa teman dan kerabat tentang pentingnya kebiasaan menyumbang. Jawaban mereka macam-macam, dari yang takut dibohongi sampai ke pernyataan bahwa dirinya belum cukup kaya untuk menyumbang. Satu teman saya bilang, "Pit, sebelum kita memberikan makan orang lain, piring di hadapan kita harus dipenuhi dulu."
Tapi apakah dia sadar kalau sebagai manusia kita cenderung tidak pernah puas. Piring tersebut tidak akan pernah penuh karena cenderung ukurannya akan terus membesar. Kalau piringnya tidak penuh-penuh, kapan dong kita akan menyumbangnya? Kenapa bukan standar kepenuhannya yang direvisi?
Lain lagi halnya ketika saya dimarahi dan dibodoh-bodohi karena selalu berusaha memberikan uang kecil kepada mereka yang meminta. Alasan bahwa mereka hanya malas atau ngibulin saya, saya rasa tidak menganulir kebutuhan mereka akan uang tersebut. Kalau ada yang komentar, harusnya pengemis itu bekerja yang halal, komentar balik saya, apakah memungkinkan untuk mereka bekerja? Lapangan pekerjaan kan semakin sempit.
Memang benar lebih baik memberikan kail daripada ikan, tapi ketika saya belum bisa memberikan kail kepada yang lain, tidak ada salahnya saya memberikan ikan dulu, walaupun itu hanya bisa mengisi perutnya untuk satu hari.
Kalau saya cuma ikut-ikutan mengutip pasal 33 UU Dasar 1945, para anak terlantar tersebut tidak akan menjadi kurang terlantar. Kalau pemerintah tidak bisa diandalkan, kenapa kita tidak membantu sebisa kita? Lagipula, pemerintah kita kadang terlalu meremehkan kemampuan rakyatnya sendiri. Kalau masalah sumbangan, tangannya selalu menengadah ke negara kaya, dengan mengekspos kemiskinan negrinya sendiri. Kenapa sumbangan tidak diinstitusionalisasikan? Maksudnya, kenapa sumbangan tidak dijadikan suatu kebiasaan dalam bernegara? Toh selama ini sumbangan sudah menjadi kebiasaan dalam bermasyarakat.
Menurut saya, apabila sumbangan memiliki institusi yang jelas (institusi dalam hal ini tidak hanya berarti kantor dan para ahli buku, tapi lebih ke kebiasaan, peraturan, dan implementasi), kesinisan akan sumbangan sosial saya rasa bisa terobati.
Kembali saya ambil contoh dengan apa yang saya alami di sini.
Di sini, banyak sekali LSM yang bergerak di bidang kemanusiaan. Dari masalah anak sampai masalah kanker. Setiap LSM ini tentunya sangat mengandalkan sumbangan dari masyarakat untuk biaya operasional mereka. Caranya? Mereka mengirimkan formulir sumbangan sukarela (benar-benar sukarela) ke beberapa orang secara merata. Setiap mereka yang menerima bisa mengisi bisa tidak, jumlahnya pun terserah. Formulir dan uang tersebut cukup dikirim lewat kantor pos, atau lewat internet bagi mereka yang memiliki internet-banking. Gampang.
Tapi bukan masalah gampangnya menyumbang yang sangat menarik (di Indonesia menyumbang bisa kapan dan di mana saja juga), tapi tentang kontinuitas dan kepercayaan dalam menyumbang. Bayangkan, saya tidak pernah merasa ragu atau sinis ketika menuliskan angka dalam formulir sumbangan, karena saya tahu bahwa LSM tersebut terpercaya.
Tidak ragu karena LSM itu memberikan laporan akan aktivitas mereka di buletin yang mereka kirim beberapa bulan sekali. Saya pun jadi tahu uang sumbangan itu dipakai untuk apa saja. Terpercaya, karena LSM tersebut adalah anggota institusi publik Swiss dalam pengumpulan sumbangan, ZEWO.
Kontinuitas menyumbang pun terjaga. Setelah menyumbang sekali kepada suatu LSM, LSM ini akan terus mengirimkan formulir sumbangan dan laporan program setiap beberapa bulan sekali. Tidak hanya untuk menjaga hubungan baik dengan donor, tapi juga untuk selalu mengingatkan kalau masalah sosial yang sedang mereka usahakan untuk perbaiki tidak akan selesai hanya dalam satu tahun atau satu sumbangan. Saya pun jadi banyak tahu tentang berbagai masalah sosial di berbagai sudut dunia, dan tergerak untuk mendukung berbagai kegiatan LSM secara berkelanjutan.
Pembangunan institusi yang jelas dan terpercaya seperti ini akan menghapus kecurigaan para calon donor. Lagipula, kepastian akan kucuran dana secara kontinu akan memberikan nafas kehidupan bagi para LSM di Indonesia. Para LSM yang idealis tersebut tidak akan mati karena kehabisan dana, dan mungkin suatu saat idealismenya akan tercapai.
Keberadaan LSM juga kemudian bisa membangun suatu pondasi dana untuk proyek kemanusiaan. Jalur sumbangan bagi yang membutuhkan pun semakin kuat dan beragam. Jadi sumbangan tidak hanya akan mengucur ketika ada musibah besar, dan menghilang ketika musibah tersebut tidak lagi menjadi topik yang mengisi halaman pertama koran.
Satu yang sering dilupakan, salah satu musibah kemanusiaan yang paling besar adalah kemiskinan.
Dan di sini, sumbangan sudah menjadi bagian dari hidup bernegara. Program sosial di sini eksis, walaupun tidak sempurna. Tapi bukan itu yang mau saya tekankan, tapi bagaimana kebijakan pemerintah berhasil "merayu" rakyatnya untuk menjadi lebih dermawan dan membantunya (secara tidak langsung) dalam memelihara rakyatnya.
Salah satu kebijakan pemerintah di sini adalah memperhitungkan sumbangan dalam matematika pajak penghasilan. Setiap sumbangan selalu dipertimbangkan untuk mendapatkan keringanan atau potongan pajak. Dengan tingginya pajak di negara ini (sekitar 20% dari penghasilan), potongan pajak sangat dicintai. Suatu bentuk penghargaan yang sederhana, tapi efektif.
Untuk ini, kembali, institusi berperan penting. LSM, yang sangat teroganisir, wajib memberikan kesaksian tertulis akan jumlah sumbangan yang diterima dari setiap individu. Dengan begitu, kemungkinan penggelapan pajak pun dapat diminimalisasi.
Terlebih lagi, dengan banyaknya sumbangan publik untuk masalah sosial, beban pemerintah pun harusnya menjadi lebih ringan. Pengalihan dana pembangunan tidak berarti mengurangi dana secara konkrit untuk program sosial bagi mereka yang membutuhkan. Jadi ketika pemerintah tidak mampu mengucurkan dana yang sama dengan tahun sebelumnya untuk penelitian penyakit kanker, tidak berarti penelitian terhenti.
Aktifitas menyumbang memberikan hasil ganda. Tidak hanya kita mampu melakukan sesuatu untuk yang lain, kita pun diberi penghargaan dan pengakuan. Tidak perlu award ini atau itu, setiap sumbangan berarti dan saya pun merasa dihargai, terlepas dari kecilnya uang yang mampu saya sisihkan.
Terserah yang lain mau bilang apa, saya tidak puas hanya turut prihatin dan menangis. Sumbangan sudah seharusnya menjadi suatu tradisi, sebuah bentuk solidaritas, bukan hanya karena kasihan.
8 Comments:
"para anak terlantar tersebut tidak akan menjadi kurang terlantar."
ada yg kurang berarti ada yg lebih?.. agak aneh :p
By Anonymous, at March 06, 2006 1:11 AM
kemarin aku ke pameran buku 'world book days' dan melihat ada yayasan yang keren banget bernama 'sanggar melati'.
sumbangan ke sana kayaknya lebih transparan dan kena sasaran.
Aku selalu bermimpi bahwa 10 tahun lagi aku akan mendirikan yayasan seperti itu.
By Anonymous, at March 06, 2006 3:05 AM
Di internet ini banyak sekali sumbangwan/wati, beberapa blogger yang mau menularkan ilmu dengan cuma-cuma termasuk teh Pit dengan postingan Kesalahan umum dalam latihan menulis bahasa Inggris beda loh kalau belajar dari text book kesannya serius banget. Ilmu yang disampaikan para bloger biasanya dengan bahasa enak yang mudah dicerna, kembali dengan lebih baik memberi kail dari pada ikan, ya kalau bisa memberi kail berilah dengan kail kalau tidak bisa, ya dengan ikan, kalau tidak bisa keduanya ya dengan do'a.
Sekarang pengemis juga ada yang mengelola diBos-si, di drop dari kampung pake truk lalu sore dijemput lagi.
Ketika kita menyumbang iringilah dengan prasangka yang baik, dengan menyumbang sebenarnya diri kitalah yang ditolong, kebaikan dan keluhuran budi akan mengangkat derajat orang yang mau menolong sesamanya, bukankah itu adalah harta yang tak ternilai? kebaikan yang ada dalam dirinya memberikan ketenangan (kedamaian) diantara sesama.
By Anonymous, at March 06, 2006 10:16 AM
Mungkin karena di Indonesia, sudah ada oknum-oknum yang menyalahgunakan belas kasih dan kerelaan orang-orang (yang juga masih tergolong kelas bawah), sehingga apalagi sekarang ini, orang-orang makin ragu mau menyumbang, kecuali pas ada bencana besar. Di sinilah susahnya,terlalu banyak peminta2 yg pura2 butuh, ditambah lagi pengamen2 amatir di bis2 dan terminal2...ya loe tau sendiri, di Indo kalo kite pergi ke mane2 musti siap deh tu..uang recehan..yg paling kasihan anak2 kecil yg dipaksa ngemis. Waktu itu keluar fotonya di koran sini, aduh..malu juga. Ada anak kecil lagi bersihin mobil di lampu merah..walah...
Saya juga waktu di sana melihat sendiri, ada banyak anak2 terlantar.
Kalau saya sendiri, yg penting nyumbang org2 yg kita kenal, sanak keluarga, keponakan2 yg kurang uang pendidikan, saya kirim biar setahun sekali. Dan saya pikir, itu juga belum cukup...ada jutaan anak2 yg tak kita kenal dan terdata..wah jadi panjang jwbnnya..
By Anonymous, at March 06, 2006 7:48 PM
Pit, aku termasuk yang ogah ngasih 'sumbangan ikan' ke anak jalanan. Mungkin kurang punya empati ya.. Udah terlalu banyak cerita miring yang aku dengar tentang mereka. Padahal menyumbang dalam bentuk 'kail' lewat LSM atau Lembaga Amil Zakat, ya segitu2nya aja.
Ga tau lah.. tapi postmu cukup menyentil gue :D
By Anonymous, at March 07, 2006 9:44 AM
ah yah sama di sini pun, sumbangan juga "tax deductible" baik pribadi dan korporasi.
ada juga di sini, freedom of information act, informasi instansi publik bisa diminta oleh media. dan diaudit untuk umum.
macchi
By Anonymous, at March 09, 2006 7:15 AM
kenapa harus takut nyumbang? sepanjang yg disumbang jelas dan peruntukkanya pun jelas mestinya tak ada alasan utk tdk menyumbang yak. dan, tentu aja jg sampe jadi ketergantungan juga yak... permisi saya sudah menyumbangkan komentar :d
By danu doank, at March 09, 2006 10:55 AM
ben ca fait longtemps que tu te caches ... ca va bien ?
macchiato
By Anonymous, at March 17, 2006 12:31 PM
Post a Comment
<< Home