Genjot, potret, dan merenung (2)
Pertengahan kedua dari rute Slow Up ternyata melewati daerah pertanian dan peternakan. Walaupun sama-sama hijau, ladang di sini berbeda sekali dengan di Indonesia. Tidak cuma jenis tanamannya yang berbeda, tapi juga organisasi ladang. Di sini ladangnya benar-benar rapi jali, selalu berbentuk segi empat dan entah kenapa terlihat jauh lebih bersih dari ladang nenek di kampung. Yang namanya lumpur tetap ada, tapi tidak ada sampah non-biologis yang bertebaran di sana sini. Bahkan tumpukan jerami yang sudah dilewati mesin dan menjadi gelondongan jerami pun tersusun dengan rapi.
Saya pun dimanjakan oleh pemandangan kebun anggur yang berbaris rapi, kebun bunga matahari, dan pohon-pohon tua yang berderet dengan anggun di pinggir jalan desa.
Para petani yang ladangnya dilewati rute Slow Up pun ikutan memeriahkan suasana dengan mendirikan berbagai stand makanan atau membuka pintunya untuk para pengunjung. Mereka yang sudi mampir pun dimanjakan oleh hasil ladang yang segar dan jauh lebih nikmat dari yang biasa disajikan oleh supermarket. Penghuni ladang seperti ayam, sapi, kambing, domba, bebek, babi, kuda, dan keledai pun ikut memeriahkan suasana, menjadi hiburan buat para anak-anak yang sudah dengan sangat perkasa menggenjot sepeda mereka.
Suasana dimeriahkan oleh celotehan dan pertanyaan anak-anak kecil yang sangat antusias melihat binatang yang termasuk langka di perkotaan. Orang tua dengan sabar memberikan keterangan setiap nama binatang, kenapa si binatang berjalan seperti itu, kenapa tidak boleh terlalu dekat-dekat ke binatang, kenapa tidak boleh mengganggu para sapi yang sedang sibuk merumput, atau cara mengelus kepala keledai yang menonjol dari balik pagar. Bagi si anak, sepertinya lelah menggenjot sepeda berjam-jam terhapus setelah berhasil memberikan wortel ke keledai.
Di sini renungan saya muncul. Coba kalau banyak acara sambilan yang bisa dinikmati anak-anak, pasti tidak perlu itu gembar gembor heboh tentang TV.
Kok jadi ke TV?
Bersepeda, membaca, jalan-jalan di pinggir danau, piknik di taman kota, berkunjung ke museum, berkunjung ke peternakan, dan menonton TV sama-sama jenis hiburan. Sama-sama kegiatan yang dimaksudkan untuk terlepas dari rutinitas keseharian.
Masalahnya di Indonesia, alternatif hiburan murah yang bisa dinikmati seluruh keluarga itu terbatas sekali. Semakin terbatas kalau tidak punya uang banyak. Mau ke taman hiburan atau pantai pasti tempatnya kurang bisa terjangkau oleh angkutan umum. Harus punya mobil, dan sampai di sana masih harus banyar uang masuk. Mau jalan-jalan di kota, taman kota hampir dibilang tidak ada, sudah begitu trotoar sudah disulap menjadi tempat jualan pedagang asongan, atau terlalu panas karena pohon-pohon kota sudah ditebang karena 'mengganggu' pejalan kaki. Lahan kosong tempat anak-anak bisa bermain sudah diisi dengan berbagai bangunan.
Tidak seperti di sini, dimana setiap taman kota selalu mempunyai sudut khusus untuk anak-anak. Tidak punya uang, kalau hari cerah cukup jalan-jalan ke taman dan anak-anak pun bisa riang gembira main pasir atau ayunan. Perjalanan ke taman pun kadang penuh dengan pendidikan. Orang tua bisa memberikan pengetahuan tentang pohon yang dilihat, burung yang lagi terbang, atau bebek yang lagi sibuk mandi di kolam kecil taman.
Tak jarang saya melihat group anak pra-TK atau TK yang lagi kunjungan turis. Paling heboh, karena bis pun jadi penuh dengan celotehan mereka. Sewaktu saya tanya ke teman saya yang bekerja di salah satu play group, dia cerita memang dua kali seminggu ada jalan-jalan bersama ke taman atau tujuan lainnya di dalam kota.
Saya pun jadi merenung, kalau banyak alternatif kegiatan seperti di sini, mungkin tidak akan terlalu parah ketergantungan keluarga dan anak-anak akan TV. Kalau tidak ada alternatif, koar-koar anti TV pun tidak akan merubah banyak. Bagi mereka yang hidupnya pas-pasan, menonton TV jauh lebih murah daripada pergi ke mall.
Lagipula saya rasa ada yang kurang dalam kampanye anti TV. Harusnya ada juga kampanye penonton kritis. Menonton TV bisa jadi ajang pendidikan yang sangat dashyat kalau tahu bagaimana menggunakannya. Acara TV yang penuh dengan pembodohan bangsa bisa jadi alat untuk mendidik dan membuka mata akan kenyataan sosial yang memang nyata atau yang sedang lagi dibentuk.
Jadi kalau ada adegan sinetron yang penuh kemewahan dan pergeseran nilai, adegan ini didiskusikan. Pasti seru dan sangat mendidik. Kalau ada indoktrinasi gaya konsumsi yang terselubung maupun terang-terangan, acara minum teh pun bisa jadi ajang diskusi yang bisa menghasilkan skripsi sosiologi.
Kalau saya yang disuruh kampanye, saya akan teriak: Matikan TV, ciptakan taman kota, dirikan perpustakaan kota, rimbunkan jalanan kota, dan cintailah diskusi dan membaca.
Saya pun dimanjakan oleh pemandangan kebun anggur yang berbaris rapi, kebun bunga matahari, dan pohon-pohon tua yang berderet dengan anggun di pinggir jalan desa.
Para petani yang ladangnya dilewati rute Slow Up pun ikutan memeriahkan suasana dengan mendirikan berbagai stand makanan atau membuka pintunya untuk para pengunjung. Mereka yang sudi mampir pun dimanjakan oleh hasil ladang yang segar dan jauh lebih nikmat dari yang biasa disajikan oleh supermarket. Penghuni ladang seperti ayam, sapi, kambing, domba, bebek, babi, kuda, dan keledai pun ikut memeriahkan suasana, menjadi hiburan buat para anak-anak yang sudah dengan sangat perkasa menggenjot sepeda mereka.
Suasana dimeriahkan oleh celotehan dan pertanyaan anak-anak kecil yang sangat antusias melihat binatang yang termasuk langka di perkotaan. Orang tua dengan sabar memberikan keterangan setiap nama binatang, kenapa si binatang berjalan seperti itu, kenapa tidak boleh terlalu dekat-dekat ke binatang, kenapa tidak boleh mengganggu para sapi yang sedang sibuk merumput, atau cara mengelus kepala keledai yang menonjol dari balik pagar. Bagi si anak, sepertinya lelah menggenjot sepeda berjam-jam terhapus setelah berhasil memberikan wortel ke keledai.
Di sini renungan saya muncul. Coba kalau banyak acara sambilan yang bisa dinikmati anak-anak, pasti tidak perlu itu gembar gembor heboh tentang TV.
Kok jadi ke TV?
Bersepeda, membaca, jalan-jalan di pinggir danau, piknik di taman kota, berkunjung ke museum, berkunjung ke peternakan, dan menonton TV sama-sama jenis hiburan. Sama-sama kegiatan yang dimaksudkan untuk terlepas dari rutinitas keseharian.
Masalahnya di Indonesia, alternatif hiburan murah yang bisa dinikmati seluruh keluarga itu terbatas sekali. Semakin terbatas kalau tidak punya uang banyak. Mau ke taman hiburan atau pantai pasti tempatnya kurang bisa terjangkau oleh angkutan umum. Harus punya mobil, dan sampai di sana masih harus banyar uang masuk. Mau jalan-jalan di kota, taman kota hampir dibilang tidak ada, sudah begitu trotoar sudah disulap menjadi tempat jualan pedagang asongan, atau terlalu panas karena pohon-pohon kota sudah ditebang karena 'mengganggu' pejalan kaki. Lahan kosong tempat anak-anak bisa bermain sudah diisi dengan berbagai bangunan.
Tidak seperti di sini, dimana setiap taman kota selalu mempunyai sudut khusus untuk anak-anak. Tidak punya uang, kalau hari cerah cukup jalan-jalan ke taman dan anak-anak pun bisa riang gembira main pasir atau ayunan. Perjalanan ke taman pun kadang penuh dengan pendidikan. Orang tua bisa memberikan pengetahuan tentang pohon yang dilihat, burung yang lagi terbang, atau bebek yang lagi sibuk mandi di kolam kecil taman.
Tak jarang saya melihat group anak pra-TK atau TK yang lagi kunjungan turis. Paling heboh, karena bis pun jadi penuh dengan celotehan mereka. Sewaktu saya tanya ke teman saya yang bekerja di salah satu play group, dia cerita memang dua kali seminggu ada jalan-jalan bersama ke taman atau tujuan lainnya di dalam kota.
Saya pun jadi merenung, kalau banyak alternatif kegiatan seperti di sini, mungkin tidak akan terlalu parah ketergantungan keluarga dan anak-anak akan TV. Kalau tidak ada alternatif, koar-koar anti TV pun tidak akan merubah banyak. Bagi mereka yang hidupnya pas-pasan, menonton TV jauh lebih murah daripada pergi ke mall.
Lagipula saya rasa ada yang kurang dalam kampanye anti TV. Harusnya ada juga kampanye penonton kritis. Menonton TV bisa jadi ajang pendidikan yang sangat dashyat kalau tahu bagaimana menggunakannya. Acara TV yang penuh dengan pembodohan bangsa bisa jadi alat untuk mendidik dan membuka mata akan kenyataan sosial yang memang nyata atau yang sedang lagi dibentuk.
Jadi kalau ada adegan sinetron yang penuh kemewahan dan pergeseran nilai, adegan ini didiskusikan. Pasti seru dan sangat mendidik. Kalau ada indoktrinasi gaya konsumsi yang terselubung maupun terang-terangan, acara minum teh pun bisa jadi ajang diskusi yang bisa menghasilkan skripsi sosiologi.
Kalau saya yang disuruh kampanye, saya akan teriak: Matikan TV, ciptakan taman kota, dirikan perpustakaan kota, rimbunkan jalanan kota, dan cintailah diskusi dan membaca.
2 Comments:
update buat sampeyan, mbak... soal rimbunkan jalanan kota : di jkt malah sedang gemar ditebang :(
By Anonymous, at August 22, 2006 2:07 PM
Hedi: Hadooh...bagaimana mau mendorong masyarakat untuk mengurangi acara melototi TV. Mau jalan keluar aja kurang nyaman.
Ahh...pemda kayaknya perlu ikut kuliah perancangan dan tata kota, dan psikologis masyarakat.
By Pipit, at August 23, 2006 11:47 AM
Post a Comment
<< Home