<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

another try

Saturday, May 13, 2006

Bahasa saya, bahasa kamu

Ah..seandainya ada mesin waktu doraemon, saya ingin kembali ke tahun 1996. Kembali ke bangku kayu butut salah satu ruangan di ITB dan melingkari jurusan sastra dengan pensil 2B di lembaran formulir UMPTN.

Semakin lama saya berkutat dengan dunia ilmu politik dan memandangi berbagai tulisan tentang pemerintahan dan masyarakat, saya pun semakin jatuh cinta dengan yang namanya bahasa, atau politik bahasa untuk lebih tepatnya. Kalau yang cinta akan teori kelompok, pasti cinta juga akan politik bahasa. Politik bahasa karena bahasa diciptakan oleh manusia, untuk kepentingan manusia, dan berkembang bersama dengan manusia pencipta dan penggunanya. Terlepas dari ketidakaliman saya, saya percaya yang namanya ciptaaan pasti dilandasi oleh suatu ideologi atau tujuan. Begitu juga dengan bahasa.

Bahasa yang manusiawi tidak terlepas dari kebutuhan manusia akan sosialisasi dan ambisi manusia untuk menguasai yang lain. Sayang, terlalu sering bahasa dianggap sebagai normalitas, dan penggunaannya pun dilakukan tanpa dasar pemahaman. Bahasa dianggap sebagai paket kehidupan yang memang sudah dari sononya, dan ketika suatu bahasa disisipi oleh ideologi tertentu, para penggunanya pun menelan si ideologi tanpa mengecap terlebih dahulu.

"Ahh...sok intelek loe pit. Kok cara orang ngomong aja eloe pikirin."

"Iya lah gue pikirin, wong cara orang ngomong itu sangat mencerminkan identitas orang tersebut. Baik identitas yang memang melekat, yang ingin diperlihatkan, ataupun identitas yang sedang dia bangun."

Terlalu abstrak? Saya kasih contoh.

Pasti kuping anda sekalian yang tinggal di kota besar sudah terlalu sering mendengar kalimat yang setengah ular setengah belut. Setengah Indonesia setengah Inggris. Para novel remaja ringan pun dipenuhi oleh gaya berbicara seperti ini. Fenomena apakah ini? Fenomena proses pemelukan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua? Saya pesimis.

Paling pantas disebut fenomena pembentukan suatu kelompok yang menganggap dirinya pintar dan berpengalaman dalam bertutur bahasa. Kan keren kalau menyisipkan kata-kata dalam bahasa Inggris, biar kelihatan cerdas dan lebih tahu begitu.

Ahh..ideologi pembentukan citra diri metropolitan. Muak saya.

Ilmu yang setengah-setengah lebih buruk daripada tidak tahu sama sekali. Setengah ini setengah itu, tapi tidak ada yang dikuasai sama sekali. Untuk apa? Yang ada malah kerancuan. Pembelajaran bahasa pun jadi kacau, pengucapan tidak diindahkan, dan otak pun tidak mau diajak untuk total dalam berbahasa.

Sebelum ada yang protes, kritik ini sudah saya ajukan ke diri saya sendiri. Dan saya sudah merasakan ruginya berbahasa setengah-setengah, atau kalau pakai istilahnya macchi, franco-anglais. Kemampuan bahasa Inggris saya menurun dengan drastis, dan kadang kosa kata bahasa Inggris lenyap tergantikan oleh bahasa Perancis. Malu sekali rasanya ketika saya harus berbicara dalam bahasa Inggris dan menyisipkan kosa kata dalam bahasa Perancis. Sedangkan kemampuan bahasa Perancis saya sama sekali tidak bisa dibanggakan.

Yang lebih parah lagi, sikap pembentukan kelompok menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris memberikan citra buruk bagi bahasa Inggris sendiri. Bahasa Inggris dicap sebagai bahasanya orang sok, bahasa mereka yang seperti kacang lupa sama kulitnya. Kacau sudah. Bahasa pun tercoreng oleh penggunaannya yang dilandasi ideologi tertentu.

Salah satu anggota milis yang saya ikuti pernah melakukan percobaan sosiologi. Dia dan temannya bercakap-cakap dalam bahasa Inggris di dalam sebuah angkutan kota. Ternyata benar firasat dia, penumpang lain pun kemudian berkomentar sinis akan percakapan bahasa Inggris mereka. Dengan menggunakan bahasa daerah minang, penumpang lain mengutuk si anggota milis ini sebagai orang yang sok. Untungnya (?) si peneliti nekat ini bisa berbahasa minang, jadi mengertilah dia akan kutukan penumpang lainnya tersebut.

Sikap antipati seperti ini yang menarik bagi saya. Kenapa sampai berbahasa Inggris diidentikkan dengan keangkuhan? Ya jawabannya ada pada penggunaannya yang asal-asalan tadi. Pertanyaan kedua, kenapa masyarakat awam sampai antipati dengan bahasa Inggris? Jawabannya, ketidaktahuan akan berbuah ketakutan, ketakutan akan berbuah kebencian. Jadi bahasa Inggris dibenci karena masyarakat umum tidak bisa mengerti bahasa Inggris, sedangkan pengetahuan bahasa Inggris dianggap hanya bisa didapat oleh mereka yang memiliki uang dan sarana, para kaum elit.

Kondisi struktural yang membatasi penyebaran bahasa Inggris dan penggunaannya dalam proses pembentukan kelompok para orang keren, membuat bahasa Inggris dibenci tapi ingin dimiliki. Kontradiksi, yang menurut saya, patut disadari oleh mereka pembenci dan pencinta bahasa Inggris.

Jadi jangan heran ketika saya langsung melotot dan tersinggung berat ketika salah satu teman saya berkomentar,
"Ah Pit, eloe lama di Eropa kok cara ngomongnya masih sama aja sih?" (tidak kebarat-kebaratan, red)
Langsung saya semprot,
"Eloe mau gue ngomong pake bahasa Perancis apa?!"

Saya cinta bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, jadi saya pun mencoba menghargai keduanya dalam penuturan saya. Lagipula saya menolak untuk dimasukkan ke dalam golongan para gadis/wanita metropolitan, saya tetap sadar kalau saya adalah orang kampung.

Lain lagi halnya dengan mereka yang mencampuradukkan kedua bahasa karena sudah terbiasa. Ini lebih gawat lagi, apalagi kalau mereka mengidap kebiasaan ini secara tidak sadar. Sadarkah mereka kalau kebiasaan ini bisa membiasakan otak mereka untuk rancu dalam berbahasa? Kerancuan yang kadang menghambat perkembangan kemampuan berbahasa mereka. Bagaimana tidak menghambat kalau otak tidak dipaksa untuk meletakkan kosa kata dalam bahasa yang berbeda ke dalam kotak yang berbeda pula?

Saya ambil contoh diri saya sendiri saja. Pernah sekali waktu saya belajar bahasa Perancis dan Jepang secara aktif (les, red) dalam waktu yang bersamaan, dan tetap belajar bahasa Inggris secara rutin. Saya sering merasa kebingungan ketika harus mengingat kosa kata dalam setiap bahasa. Otak saya terkadang letih dan menjadi 'lupa'. Nah, kalau saya menyerah pada keletihan saya dan hanya menggunakan kosa kata yang terlintas di kepala, kosa kata yang saat itu 'terlupakan' akan benar-benar terkubur dan terlupakan.

Untuk mereka yang sadar dalam berbicara campur-campur sih masih mendingan, namanya kan pilihan. Walau pilihannya tersebut didasarkan oleh satu ideologi yang berbeda (dari keren-kerenan), tetap saja mereka akan dipandang termasuk ke dalam kelompok tersebut. Pada akhirnya kemungkinan akan ikut memperburuk citra bahasa Inggris.

Atau ada mereka yang sudah lama melanglang buana dan menggunakan bahasa Inggris sehari-hari. Kosa kata Indonesia pun sudah usang dan terlupakan. Mereka kadang lebih nyaman berbicara dalam bahasa Inggris atau campur aduk seperti gado-gado. Saya tidak patut protes dalam hal ini. Tapi sayangnya tercorengnya bahasa Inggris pun membuat mereka ikut tercoreng.

Generalisasi. Pilihan mudah dalam memahami mereka yang berbeda. Hasilnya, ya tetap saja pelabelan sebuah kelompok, terlepas apakah pelabelan itu tepat sasaran atau tidak.

Tapi jangan salah, tidak hanya bahasa Inggris yang ditempeli ideologi tertentu dalam penggunaannya. Bahasa daerah, bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Latin juga sama.

-bersambung-

25 Comments:

  • aha! ini toh yang jij refer this afternoon! well i sih tidak biasa jah berbahasa inggris. you knowlah orang-orang suka memandang sinis dipikirnya i ini sok gaya kebarat-baratan. mwihihihi..

    jadi inget seorang teman bule yang naek angkot terus beberapa orang diangkot itu ngobrolin dia pake bahasa jawa, dia diam saja tapi pas turun dia bilang gini : monggo, kethekipun mandap rumiyin bahasa jawa yang cukup harus yang artinya ini monyetnya turunb dulu hahahahahaha di angkot dia direfer sebagai monyet :D :D that friend of mine sangat SANGAT bisa berbahasa jawa dengan baik dan benar.

    nyambung ngga sih komen eke? ah eke confused nih.

    By Anonymous Anonymous, at May 13, 2006 4:16 PM  

  • Jeng nana, kometar dikau nyambung kok jangan kuatir..hihihi...

    Pasti itu yang di angkot mau mati malu rasanya. Kasihan sekali temanmu itu 'na, kok ya beda warna kulit bisa membuat seorang dihina seperti itu.

    Ahh...bahasa memang kadang dijadiin tameng lemah bagi mereka yang terlalu takut.

    By Blogger Pipit, at May 13, 2006 4:29 PM  

  • Saya berusaha sebisa mungkin menghindari pencampuradukkan bahasa, makanya kalau saya bikin lowongan selalu ada syarat: fasih bahasa Indonesia :D

    By Blogger Hedi, at May 13, 2006 4:53 PM  

  • "bahasa memang kadang dijadiin tameng lemah bagi mereka yang terlalu takut"
    Kita memang lebih mungkin takut pada sesuatu yang tidak kita ketahui daripada yang kita kuasai dengan baik :)

    Soal ngobrol di angkot pake bahasa asing, dulu aku juga pernah dapet tatapan sinis dari penghuninya. Bukan soal keren-kerenan sih, masalahnya temen yang ngajak aku ngobrol pake bahasa Inggris emang baru pulang dari melanglang dunia. Masih kagok make bahasa Indonesia setelah lama pindah-pindah negara. Bahasa Indonesia yang dia pake pun rapi jali ala EYD. Kalo dipake di angkot, sama aja diliatin juga kita. SUSAH.

    Penguasaan bahasa juga berpengaruh. Ada beberapa kata bahasa Inggris yang kita tahu betul maksudnya, tapi sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Jadilah bahasa gado-gado. Kalo udah begini, ya sebodo deh orang mau ngerumpiin apa :p

    By Anonymous Anonymous, at May 13, 2006 5:15 PM  

  • Saya bertahun-tahun di LN, tapi tidak mengalami kesulitan untuk tetap berbahasa Indonesia ketika pulang. Paling hanya kata ekspresi saja yang sering keceplosan keluar. Di dalam memilih kata bahasa Indonesia relatif saya tidak mengalami masalah.

    Menurut saya, bagi mereka yang mengalami kesulitan kembali berbahasa Indonesia tersebut, hanyalah karena faktor kemalasan saja.

    Dalam penggunaan bahasa gado-gado sehari-hari, di Jerman dokter anak kini menyarankan orang tua (bila bukan penutur asli) tidak berbicara dalam bahasa yang bercampur-campur kepada si anak. Karena hal ini akan membuat si anak lambat dan kurang bagus dalam perkembangan kemampuan bahasanya.

    By Anonymous Anonymous, at May 13, 2006 7:58 PM  

  • Mencampurkan bahasa Indonesia itu penting, karena Bahasa Indonesia itu nggak cool!

    Hihihi

    By Anonymous Anonymous, at May 13, 2006 8:04 PM  

  • ...

    ^^

    moi je parle en peu d'Englizzz and a bit of Fronse bien sur.


    ...

    pipit, yg ngomong/ nulis campur-campur emang kadang buat gaya, kdg males, kdg terpaksa. hehee, saya selalu usahakan bicara yg konsisten dlm bhs tersebut. prof de FR saya juga meringis kalo kami langsung adopsi terminologi ENG tanpa mau berusaha cari tau padanan FR-nya yg mungkin tersedia.

    alors
    a+

    By Blogger CIAO ITALIA!, at May 14, 2006 2:36 AM  

  • Lita: Itulah. Tapi untuk mengatasi ketakutan itu, kita harus mengakui dulu kalau kita takut. Sudah saatnya kita berhenti untuk bersembunyi di balik berbagai tameng, dan bergerak maju untuk memahami perbedaan.

    Hedi: Belum pernah lihat iklan lowongan kerja semacam itu. hihihi...Kirim contohnya dong. :)

    IMW: Saya setuju sekali. Memang kadang susah menyetel otak untuk kembali berpikir dan berbicara bahasa Indonesia, tapi kalau berusaha pasti bisa. Wong semuanya ada di tabungan memori kok.

    Di sini juga sudah sering dibahas mengenai pembelajaran bahasa bagi anak yang orang tuanya berbeda bangsa. Jenewa penuh dengan mereka yang campuran. Memang sangat dianjurkan untuk berbicara dalam kalimat yang konsisten, anak pun akan bisa tumbuh menjadi seorang yang bilingual, atau trilingual sempurna.

    Hericz: Kamu pinter banget deh...hihihi..postingannya bagus sekali. :)

    Macchi: Iya nih. Kadang gue juga suka campur aduk Inggris dan Perancis. Lagian teman-teman semuanya bilingual, jadinya nggak ada paksaan untuk konsisten dalam berbahasa. Sering banget pindah-pindah dari satu bahasa ke bahasa yang lainnya kalau ngomong.

    *malu*

    By Blogger Pipit, at May 14, 2006 9:35 AM  

  • ---->Ilmu yang setengah-setengah lebih buruk daripada tidak tahu sama sekali<-----

    gue setuju dengan totalitas berbahasa.

    Banyak orang merasa bahasa indonesia memiliki keterbatasan. gue setuju. Tapi bukannya ini kesempatan bagi kita untuk tidak sekedar menjadi konsumen bahasa, tetapi mengambil peran lebih aktif yaitu sebagai produsen? Memproduksi kosa kata baru? Metafora-metafora baru?

    (sori kalau agak oot .. soalnya masih terprovokasi postingannya herry yg dia cantumin di komennya .. :))

    By Anonymous Anonymous, at May 14, 2006 10:55 AM  


  • percaya ngga percaya, otoritas linguistic Québec lebih aktif daripada FR. Mereka proaktif mencari padanan podcasting, crashtest, etc ... menurut journal di kelas. Tapi Quebecois juga punya banyak 'mots speciaux' ^^

    By Blogger CIAO ITALIA!, at May 14, 2006 3:41 PM  

  • tapi bagaimana kalo tercampur adukkan pemakaian bahasa itu disebabkan oleh kebiasaan?

    Saya bisa 2 bahasa selain indo. Dan dua2nya pun dalam kategori basic banget.. :( tapi gitu aja udah suka gak sengaja kecampur aduk.. apakah saya "sok" dan "nggak total"?

    By Blogger Ardho, at May 14, 2006 11:48 PM  

  • tanpa bermaksud sok ngenggresh, saya sendiri selalu perlu waktu untuk bisa berbahasa indonesia secara total di hari-hari awal saya pulang kampung.

    dulu, waktu masih tinggal di new york saya tak perlu melakukan hal tsb, karena saya banyak bergaul dengan teman-teman indonesia. tapi ketika menikah dan diboyong kemane-mane, teman-teman indonesia saya bisa dihitung dengan jari. keadaannya menjadi lebih sulit ketika suami yang nggak ngerti bahasa indonesia itu menjadi satu-satunya makhluk yang bisa saya ajak ngobrol selama hidup nomaden.

    sebenarnya selama ini saya selalu berusaha konsisten untuk menulis posting dalam bahasa indonesia di blog. kalau ada kata bahasa inggris nyelip, jujur suka mangkel juga. tapi akhir-akhir ini saya sudah gak terlalu peduli sih. apa yang ada di otak ya saya tulis saja. mudah-mudahan hal tsb bisa dipandang sebagai cerminan otak saya yang kemampuan bahasanya jauh dari sempurna dan campur aduk kaya cendol, ketimbang sok-sokan. :)

    By Blogger loucee, at May 15, 2006 2:52 AM  

  • waduh, cilaka. lha saya sampe skrg msh suka mencampur-adukkan bhs indonesia, bhs jawa & sedikit2 bhs sunda (terutama makiannya, hehehe ...). bs gawat buat pendidikan anak saya dong ntar. dik pipit apa punya formula yg jitu utk bikin sembuh ini penyakit ?

    By Blogger Unknown, at May 15, 2006 4:24 AM  

  • Pipiet, saya dulu tinggal di Jakarta 10 tahun lebih tapi tidak pernah bergeming untuk mencapur bhs Indonesia dan bhs Betawi..bahasa gaul teman2 saya menyebutnya.Sampai sekarangpun saya masih berbahasa jawa kalau pulang dan krama inggil ( bhs jawa yg sopan) kepada orang tua dan yg lebih tua) dan berbahasa Indonesia kepada orang lain yg tidak mengerti bhs jawa tentunya.

    Meskipun keseharian saya berbicara dalam 2 bahasa, Inggris & Italy ( tidak sebagus macchi...), saya tetap mengingat bhs Indonesia dan Jawa.

    Postingan yang bagus..seperti biasanya. Saya tunggu kedatangannya di jalan2 sempit di Italia....

    By Blogger tari, at May 15, 2006 10:26 AM  

  • Ardho dan Loucee: Tulisan saya tidak bermaksud mengkategorikan mereka yang kadang suka mencampur kosa kata ke dalam group keren-kerenan. Saya hanya berusaha menggambarkan realitas masyarakat saja.

    Memang benar, tidak semua mereka yang mencampuradukkan bahasa itu karena mereka sok dalam berbahasa. Tapi karena ada praktek penggunaan bahasa dengan ideologi seperti ini membuat masyarakat melakukan generalisasi. Jadi seperti karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Bahasa Inggris pun jadi terhina.

    Saya rasa berbahasa itu bebas-bebas saja. Kan namanya hak manusia. Yang ingin saya tekankan, kadang kita tidak berusaha memahami akibat atau sebab dari gaya berbahasa kita tersebut. Itu saja.

    Johan: Saya setuju sekali. Bahasa itu ciptakan dan rekayasa sosial, dan kita sebagai bagian dari masyarakat sosial itu bisa berperan aktif. Lagipula, saya rasa bahasa Indonesia itu sudah sangat kaya. Saya sendiri yakin masih banyak ribuan kosa kata dalam bahasa Indonesia yang tidak saya ketahui. :)

    Macchi: Karena mereka sadar akan pentingnya politik bahasa. Sebagai minoritas mereka tidak mau bahasa Perancis, yang adalah bagian dari identitas mereka, tertelan oleh bahasa Inggris.

    Kata-kata aneh, emang banget. Saya pernah ngikik waktu mendengar mereka menjawab 'bienvenu' sebagai balasan untuk 'merci'. Terjemahan literal dari 'you are welcome'. hihihi.. :)

    Mas Adi: Wah...saya bukan dokter yang bisa kasih resep Mas. :)

    Tapi menurut saya mengontrol totalitas berbahasa itu tidaklah terlalu susah. Cukup berhati-hati saja.

    Setiap saya pulang kampung, biasanya saya jadi agak lambat dalam berbicara. Karena setiap kata saya cerna atau terjemahkan dulu dalam otak, tapi tidak ada masalah kok.

    Bukannya lebih baik lambat asal selamat? :)

    Tari: Kagum deh saya. Ya memang bagusnya seperti itu. Berbahasa sambil memperhatikan konteks pendengar.

    Saya rasa, kemampuan untuk berganti bahasa secara total dalam konteks yang berbeda adalah salah satu ciri sempurna atau mahirnya kemampuan berbahasa seseorang. :)

    By Blogger Pipit, at May 15, 2006 11:46 AM  

  • Berbicaralah dengan bahasa yang bisa dimengerti audiencenya.

    Fleksibel saja. Tapi tetep konsisten.

    Maksudnya kalo memang harus berbicara dengan bahasa Inggris, ya gunakan bahasa inggris yang baik. Demikian pula bahasa manapun.. bahkan, sampai bahasa bayi dan bahasa computer (pemrograman pada hakekatnya adalah bahasa).

    Oh iya, saya ngeblog pake bahasa Inggris bukan karena ingin belajar bahasa Inggris atau karena ingin dianggap "wah, pinter". Bukan itu.

    Pak Karno belajar bahasa Belanda dengan satu tujuan kan? :)

    By Anonymous Anonymous, at May 15, 2006 3:05 PM  

  • Seperti biasa, media punya faktor besar. Contohnya, Iklan Master Card versi Indonesia.

    By Blogger Cee~, at May 15, 2006 10:19 PM  

  • artikel yang hebat!

    1. sejujurnya saya masih terus belajar berbahasa indonesia

    2. bagi saya bahasa adalah alat kesadaran dan bagian dari pengorganisasian benak

    3. kadang saya kerepotan jika menjawab pertanyaan orang asing mengapa tuturan lisan/tulis bahasa indonesia orang tertentu kadang "membingungkan", terutama dalam struktur kalimat yang bisa menimbulkan tafsiran ganda

    4. bahasa memang menyangkut "ideologi" (walah!). ada aspek psikolinguistik dan sosiolinguistik di dalam berbahasa. kita bisa menebak mengapa majalah & koran tempo menggunakan "bekas" dan bukan "mantan", bahkan dalam tajuk rencananya pernah memakai (maaf) "lonte" dan bukan "pelacur" atau "psk".

    5. jaklish atau janglish (jakarta english, hehehe) maupun indlish (indonesian english haha!) saya terima sebagai bagian dari ragam percakapan. "damned! hubby gue punya affair!" kata seorang teman. :D

    By Anonymous Anonymous, at May 16, 2006 10:06 AM  

  • Andry: Itu dia! Harus dilihat pemirsanya. Fleksibel dan konsisten memang intinya.

    Kalau harus ngomong bahasa Inggris, ya bisa cas cis cus dengan fasih. Tidak hanya sepotong-potong.

    Hemmm...Soekarno's analogy. Using English to present one's ideal to the English speaker. Right on! :)

    Cecil: Senangnya kalau semakin banyak orang yang kritis seperti kamu. Salam kenal. :)

    Kere Kemplu: Harus mulai dari mana ya Om. Komentar Om patut untuk dijadikan posting tersendiri. :)

    Itulah Om. Pentingnya bahasa sayangnya jarang diindahkan oleh pemakainya sendiri. Pengorganisasian benak; penuturan ide dan prinsip; pernyataan sikap dan ideologi; pemujaan, penghujatan dan penghakiman beberapa kelompok manusia tertentu; ini semua hanya sebagian fungsi bahasa.

    Kalau masalah jaklish, saya setuju dengan Om. Itu adalah ragam percakapan. Tapi yang saya sesalkan kalau ragam percakapan ini malah menghancurkan kemampuan berbahasa seseorang.

    Kalau di jalan-jalan kumpul-kumpul bisa pakai kata-kata bahasa Inggris campur aduk dengan bahasa Indonesia, ketika harus ngomong bahasa Inggris dengan baik dan benar, gagap. Dan ketika harus bisa berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar juga bingung. Kasihan bukan?

    Belum lagi kalau jaklish jadi standar sosial. Kalau tidak pakai jaklish berarti kampungan, dan tidak patut masuk ke golongan 'mereka', para metropolis.

    Nah lho? Apakah sikap dan mentalitas seperti ini patut dibanggakan dan dilestarikan? Masih kurangkah berbagai ragam VIP, sampai harus menciptakan kelompok VIP dalam berbahasa?

    By Blogger Pipit, at May 20, 2006 11:03 AM  

  • wah, salut deh sama semangat nulisnya... panjang juga, tapi (jujur) bagus banget sampai tergoda bwt ngasih komen (comment; nah lho?!?)mo crita; Suatu hari minggu saya makan siang di resto fesfut dan duduklah dua orang remaja putri di depan saya yang mengeluh karena besok mereka ada ulangan B.inggris sambil terus mendumel pun berlanjut dengan (maaf) menjelek2kan gurunya (lho???) jadi benar adanya omongan kamu kalo nggak tau = takut = benci. Dan soal menggunakan b.inggris dibilang sombong dan dari kalangan elit (menurut saya nggak juga). Saya mengambil contoh bapak saya, dia adalah seorang pelaut jadi mampu menggunakan banyak bahasa is a must dan beliau pun menginginkan saya untuk dapat menguasai (minimal) beberapa. tapi kalo bisa kebanyakan (saya teringat saat jalan bersama bapak ke suatu tempat) kadang2 bisa aneh juga... beliau meminta saya untuk mengembilkan sesuatu dari mobil, tapi nama benda yang diinginkan tidak keluar dari bibirnya (?!?!?!) beliau pun terdiam dan kembali duduk leaving me standing there with the what-the-f**k look. oh ya, pesan dari si bapak, tahun 70an mampu berbahasa inggris adalah sesuatu yang Luaaaaar Biasaaaaaaaaa tapi sekarang zaman sudah berubah, mampu menggunakan bahasa inggris (saja) serasa belum cukup due persaingan yang semakin ketat dan makhluk hina ini pun masih belajar, belajar, dan belajar lagi.

    By Blogger JC, at May 24, 2006 1:21 PM  

  • Saya selalu menanamkan pada murid-murid kecilku di SD, bahwasannya belajar bahasa Inggris itu, supaya kamu bisa bercerita pada mereka bahwa saya itu orang Indonesia dan tunjukan pada mereka budi pekerti yang luhur dengan bahasa mereka.

    By Anonymous Anonymous, at May 28, 2006 3:47 PM  

  • Wah ga nyangka juga gue, masalah bahasa aja bisa rame juga.......Menurut gue sih sebetulnya tinggal sesuai kebutuhan aja. Contoh, bahasa novel menurut gue sih sah2 aja tuh campursari indo-inggris, yg jelas kan tulisan itu kan ekspresi diri jadi ya harus bebas! Free gitu loh! Simple kan!(tuh udah mulai campursari lagi dech!)

    By Anonymous Anonymous, at June 27, 2006 12:22 PM  

  • Menarik sekali postingannya dan komentarnya,kebetulan saya dapat link ini dari google yang sedang mencari tentang pengaruh bahasa untuk anak saya. Kebetulan saya tinggal di LN,suami saya hanya bisa bahasa inggris dan denmark,sedang saya inggris STD dan bahasa Indo. Jadi saya berkomunikasi campur aduk dengan anak saya memakai bahasa indo EYD dan bahasa inggris STD.
    Yang jadi pertanyaan,kuping saya merasa aneh mendengar saya berbicara dengan anak saya dengan EYD, selama ini saya mungkin bahasa indo yang agak betawi :
    Menarik,TFS...
    salam hangat

    -Vera-

    By Blogger Ummu Aisyah, at February 26, 2007 9:35 PM  

  • Hi Pipit!

    Ini Santi di Illinois. Postinganya baguuuuus banget.

    Memang kalau penggunaan bahasa inggris di antara orang kita adalah untuk gaya2an, bikin bhs inggris jadi dimusuhin gitu ya. Trus itu setuju banget .. kalu nyampur2 bahasa dalam 1 kalimat, yg ada malah makin rusak kemampuan bahasa kita. Dan kalau kita ngajarin anak kita dgn bahasa campur2 begitu, yg ada anak kita jadi mentah kemampuan dalam bahasa2 tsb.

    Anak2 gw trilingual Ind, French, Engl. Gw dan suami cuman ngomong bahasa kita ke anak2, dan inggris dari lingkungan. Yg sulung udah hampir 4 tahun umurnya, dan bisa 3-3 bahasa dgn baik.

    Makasih atas postingannya ya, Pit

    By Anonymous Anonymous, at July 28, 2007 7:51 PM  

  • Wah beneran tuh, Bahasa Indonesia memang perlu kita perjuangkan eksistensinya, sebagaimana semangat sumpah pemuda. Berharap kepada siapa kalau bukan kita sendiri. OK thanks sharingnya.

    By Anonymous Kang Bull, at November 28, 2010 3:27 PM  

Post a Comment

<< Home