<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

another try

Friday, May 12, 2006

Kebaya vs kimono

Ada yang tahu persamaannya kebaya dan kimono? Iya, sama-sama pakaian tradisional. Tapi ada yang lebih dari itu, kedua pakaian ini sama-sama terkondisikan oleh gaya hidup tertentu.

Kok bisa?

Ide iseng ini diawali ketika saya jalan sambil keserimpet kain di trotoar arah ke kantor. Melihat cuaca yang cerah, merasakan suhu yang hangat, saya pun jadi kecentilan, ingin tampil beda. Apalagi yang bisa membuat saya tampil lebih beda dari memakai kain batik tradisional bikinan kampung halaman? Keputusan saya untuk berbatik ria kemudian membuat saya sadar bahwa gaya hidup saya di sini tidak batik-friendly.

Bagi yang pernah harus memakai kebaya dan kain batik pasti tahu kalau kain batik biasanya dililitkan memeluk tubuh dengan erat. Dan biasanya si pemakai batik hanya diberi sedikit ruang gerak untuk berjalan. Jadi, pemakaian batik akan mengharuskan gaya berjalan yang cukup khas. Langkah yang pendek-pendek dan goyang pinggul yang serasi dengan langkah pendek tersebut. Kalau enggak, pasti kelihatannya ndut-ndutan. Berjalan cepat pun tidak mustahil bagi para pemakai batik kawakan, tapi bagi yang amatir seperti saya, biasanya saya akan langsung mengangkat sarung batik yang saya pakai sampai ke dengkul untuk kemudian melangkah dengan langkah biasa yang leluasa.

Inilah yang terjadi pada diri saya di hari yang cerah itu. Terlambat seperti biasanya, saya pun terseok-seok menggeret kaki saya yang terbalut rok panjang batik. Saya pun jadinya berlari-lari kecil ndut-ndutan. Untung tidak ada orang Indonesia di sekitar, kalau tidak, lakonan saya itu pasti sudah mengundang senyum simpul. Gaya hidup saya di sini, yang mengharuskan saya untuk berjalan cepat atau malah lari-lari tidak memungkinkan bagi saya untuk tampil cantik dengan berbatik ria setiap hari. Saya pun kemudian menggerutu, pantas saja wanita jawa kalau berjalan sangat pelan dan gemulai, wong pakaiannya mengharuskan mereka untuk begitu.

Di tengah-tengah dumelan saya, tiba-tiba saya berpikir, adakah hubungan antara gaya hidup dan norma dengan pakaian? Lalu saya pun teringat akan berbagai film samurai yang saya tonton berulang-ulang. Di dalam film-film tersebut, para wanita kelas menengah ke atas (istri para samurai dan daimyo) gerakannya sangat pelan dan tidak bersuara. Para pelayan pun seakan menari dalam lenggokan langkahnya yang dibatasi oleh kimono mereka.

Sewaktu saya bertanya sama Xaf (pengagum dan pengamat budaya Jepang) kenapa para wanita tersebut sangat lamban, Xaf pun dengan sabar menerangkan bahwa di jaman tersebut, gerakan cepat dari seorang perempuan berkelas menandakan ketidak sopanan perempuan tersebut. Para wanita tersebut, dalam setiap gerakannya, memang diwajibkan untuk mempertahankan keanggunannya dengan kelembutan dan pelannya gerakan mereka.

Yang lebih menarik lagi, kimono yang mereka kenakan juga mendukung norma sosial ini. Salah satu reportase tentang kehidupan para geisha (not the Memoirs of Geisha that does not cover well the life of geisha) menerangkan bagaimana bentuk kimono dan lapisannya mengkondisikan cara berjalan wanita. Ditambah dengan selop tradisional mereka yang sangat antik. Para wanita pun terkondisikan untuk berjalan dengan kaki yang mengarah agak ke dalam, dengan langkah pendek dimana satu kaki ditempatkan di depan kaki yang lainnya.

Dalam hal ini, kimono pun sama dengan kebaya, dimana para pemakainya harus berjalan dan bergerak dengan cara tertentu.

Saya pun jadi berpikir kembali, kalau kimono mendukung norma sosial dimana kelambatan gerak seorang wanita dianggap sebagai bentuk keanggunan, apakah bentuk khas kebaya dan kain batik juga mendukung suatu norma?

Kalau mengingat satu sifat perempuan Indonesia yang sangat didambakan, lemah-gemulai, tidak mustahil rasanya kalau kebaya mencerminkan suatu norma. Paling tidak norma tentang bagaimana seorang perempuan harus bersikap dan bertindak, dan bagaimana keanggunan dan sensualitas seorang perempuan dapat ditampilkan.

Saya bukan orang Jawa, dan saya bukan seorang antropolog yang meneliti hal ini, tapi dari pengamatan saya sehari-hari saya menemukan berbagai norma dan arti yang tersembunyi dari sehelai kebaya dan kain batik. Gerakan lemah gemulai teratur dalam tarian bedoyo menunjukkan bagaimana subtlety (Merci macchi pour la correction) dalam bergerak dipandang penting dan indah bagi mereka yang mampu menghargai seni kewanitaan ini (para kaum terpelajar atau aristokrat). Pemakaian kebaya dan batik yang menghargai dan memperindah lekuk tubuh seorang perempuan memperlihatkan suatu bentuk penghargaan akan sensualitas perempuan. Kebaya dan batik seakan berseru, I am a woman and I am proud of it.

Kebaya dan kimono pun tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tapi juga sebagai pembentuk identitas seorang perempuan dengan mengkondisikan bagaimana seorang perempuan patut melangkah dan bergerak.

Ada satu lagi persamaan antara kebaya dan kimono, sama-sama hemat.

Menurut Susan B. Hanley dalam bukunya yang berjudul Everyday Things in Premodern Japan: The Hidden Legacy of Material Culture, kosode atau yang lebih dikenal dengan kimono, sangat hemat karena tidak ada satu cm pun kain yang terbuang. Kimono terbuat dari kain panjang segi empat yang dipotong dalam 8 bagian segi empat. Berhubung kimono tidak memerlukan kancing dan bentuknya yang sangat sederhana dan loose, kimono bisa disesuaikan dengan badan si pemakai. Jadi kimono pun bisa dipakai bergantian oleh beberapa orang, tinggal menyesuaikan eratnya obi, ikatan pinggang. Hal ini tidak sama dengan pakaian a la Eropa yang dijahit untuk dan disesuaikan dengan satu orang saja.

Kimono pun bisa dihibahkan dengan gampang, karena tidak ada jahitan yang perlu dibongkar. Walau panjang kimono biasanya disesuaikan dengan tinggi si pemilik, biasanya kimono menyisakan panjang kain yang bisa dilipat di balik obi untuk memberikan panjang yang pas bagi si pemakainya. Ini artinya, orang yang tingginya tidak sama bisa memakai kimono yang sama, cukup menyesuaikan lipatan kainnya saja.

Sama dong dengan kain batik.

Kain batik bisa dihibahkan dari generasi ke generasi. Ukurannya yang standar sangat user-friendly, yang penting tinggal bagaimana melipat dan mengencangkan stagen. Kebaya tradisional pun jauh lebih gampang untuk dipermak daripada jas. Tinggal menambah lipitan pinggang atau memotong lengan kebaya.

Sayang tidak kalau budaya berpakaian yang cerdas ini dilarang oleh suatu undang-undang yang tidak bisa membedakan antara feminitas (sensualitas) dan vulgaritas? Menurut saya, tidak adil bila sensualitas perempuan dikambing hitamkan, ketika masyarakat sendirilah yang menuntut dan membentuk sensualitas tersebut.

8 Comments:

  • «Gerakan lemah gemulai teratur dalam tarian bedoyo menunjukkan bagaimana subtility dalam bergerak dipandang penting »

    subtilité = subtlety

    salut pipit ma pote

    le vrai printempt t'est arrivé ???

    a+

    By Blogger CIAO ITALIA!, at May 13, 2006 12:56 AM  

  • jangan-jangan alasan kenapa salah satu suku mengkondisikan para wanitanya berkaki kecil demi itu juga jah? kecantikan dan yang karenanya juga bakalan ngga leluasa bergerak dengan cepat karena kondisi kakinya? keanggunan hanya dibatasi gaya yang pelan-pelan?

    By Anonymous Anonymous, at May 13, 2006 2:32 AM  

  • mm..kira2 seruan mana yak kalo nikahan pake kimono atau kebaya?

    =)

    By Anonymous Anonymous, at May 13, 2006 5:29 AM  


  • je m'acoutumerai bientôt à la pizza italienne, tout autentique! C'est cool quoi. Et toi, quand raconterai-tu de la cuisine savoyarde car ca m'interesse bien, moi. et aussi à tt le monde je crois bien! Commence pt-être par quelques repas celébrès, eg. la raclette ou même la fondue dont j'ai gouté jamais tous les deux. Pfff...

    By Blogger CIAO ITALIA!, at May 13, 2006 10:40 AM  

  • Macchi: Tu veux que j'ecris a propos fondue et raclette? C'est just des fromage...mais je vais essayer une fois.

    Et merci beaucoup pour la corection. Tu vois comment mes langues devient franco-anglais. Arghhh...

    Nana: Kalau yang kaki kecil itu ada kasusnya di Cina. Itu sih gara-gara ada raja yang senengnya sama perempuan berkaki mungil. Makanya kaki mungil pun jadi standar kecantikan.

    Beni: Wah nggak tahu deh. Belum pernah nyoba dua-duanya. Saya waktu menikah pakai adat Minang. :)

    Tapi kalau lihat prosesi pernikahan tradisional Jepang saya selalu kagum. Anggun sekali.

    Teman saya yang orang Jepang pernah cerita kalau kimono untuk pernikahan dan pertunangan itu khusus. Kalau untuk pertunangan, bagian di bawah lengannya panjang sekali, sampai menyentuh tanah. Kalau pernikahan, biasa, tapi tetap saja putih dan mewah.

    By Blogger Pipit, at May 14, 2006 9:41 AM  

  • Adik-adik perempuan saya biasa berkebaya (saya juga biasa mengenakan kain), dan bagi kami tidak masalah harus berjalan cepat, naik motor, naik sepeda. Saya sering melihat cewek cewek pemakai kebaya "amatiran" mengalami kesulitan berjalan karena teknik berjalannya salah (bukan karena kebayanya).

    Jadi kembali lagi, semuanya perlu latihan dan teknis tertentu. Hanya memang sebagai anak muda jarang mengenakan kebaya, kain. Paling hanya pas acara kawinan.

    Beda dengan di Bali mengenakan baju adat adalah kegiatan sehari-hari, jadi walau anak muda rata-rata mahir dalam mengenakan baju adat dan tetap harus bergerak cepat.

    By Anonymous Anonymous, at May 14, 2006 1:57 PM  

  • IMW: Itu dia. Saya memang tidak menyalahkan si kebaya, tapi menyalahkan minimnya pendidikan saya dalam berkebaya.

    Mungkin suatu saat saya mau les menari lagi. Jadi bisa tampil lebih luwes dalam berkebaya. :)

    By Blogger Pipit, at May 15, 2006 11:48 AM  

  • tul, emang masyarakatlah yang membentuk opini tentang femininitas itu. terutama masyarakat perempuan. kenapa yaa kaum feminim ingin terlihat sensual n tdk vulgar tapi udel bodongnya menyebar kesana kemari, ingin disamakan haknya dengan lelaki tapi disuruh naek genteng rumah, malah mencak2 bilang itu urusan kaum adam. kok jadi ngelantur neh ??
    Hhm.. gue ngebayangin kalo ada tradisi pake kebaya yang disamakan dengan pake pakaian ihram untuk berangkat ke makkah yang tanpa dijahit, tetapi tetap tertutup tanpa udel bodong, bokong megal megol dan dada berbulu yang kelihatan mungkin ngga perlu RUU APP kalee ya

    By Anonymous Anonymous, at June 14, 2006 6:11 AM  

Post a Comment

<< Home