<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

another try

Monday, November 28, 2005

My first thanks giving dinner

Sabtu kemaren saya diundang untuk makan malam di rumah teman Aikido untuk merayakan thanks giving (ini nulisnya bener nggak ya?). Sebenarnya di Eropa tidak ada tradisi thanks giving, tradisi ini adalah tradisi orang Amerika. Berhubung teman saya itu orang Amerika, dia pun keukeuh mau melaksanakan tradisinya, walaupun dia sudah tinggal cukup lama di Perancis. Untung visa saya masih berlaku, jadi saya pun bisa mencicipi masakan khas thanks giving, ayam kalkun.

Dengan mata terkantuk dan badan pegal akibat dari pesta malam sebelumnya, saya pun berangkat. Nggak perlu pakai kereta api atau pesawat, cukup dengan transportasi umum. Saya sudah cerita kan kalau Jenewa itu deket banget sama Perancis. Duduk di tram no 12, sambil tiap 10 menit meriksa paspor dan ijin tinggal, sampai ke perbehentian terakhir: Moillesulaz. Sebentar banget, cuma 20 menit dari tengah kota Jenewa.

Sampai di stopan, saya pun celingak-celinguk. Instruksi arah dari teman siap di tangan, tapi mana pos pemeriksaan paspor? Saya berpikir, berhubung perbatasan negara pasti ada pemeriksaan seperti di bandara, dimana setiap orang harus antri satu-satu untuk diperiksa paspornya. Ternyata tidak teman-teman. Di balik dinding stopan tram, ada semacam jalur untuk mobil, mirip seperti pintu tol. Dan para penumpang tram dengan cuek dan santainya menyebrang jalur ini. Nggak ada antri untuk check paspor, yang ada hanya dua petugas imigrasi, berdiri santai sambil melihat-lihat para pejalan kaki yang menyebrangi perbatasan (yang sama sekali nggak ada ciri-ciri perbatasan). Saya yang sudah siap-siap memamerkan visa, nggak dikasih kesempatan sama sekali untuk nunjukin paspor ke petugas imigrasi. Saya yang mengikuti arus manusia akhirnya menapakkan kaki di negara sebelah tanpa diperiksa sama sekali!

Sadar-sadar saya sudah di Perancis, 15 langkah dari stopan bis. Panik..waduh, apa saya harus balik lagi buat nunjukin paspor ya? Tapi kok orang pada santai aja. Gimana ini? Cepet-cepet telpon Xaf, "Xavier, they did not check my passport. What should I do?". Xaf langsung ngakak, kata dia memang nggak ada pemeriksaan paspor rutin. Wong arus manusia dan mobil dari Jenewa dan Annemass (kota Perancis tetangga) itu setiap menit, jadi repot dong kalau setiap orang harus diperiksa. Biasanya petugas imigrasi hanya memeriksa secara random atau apabila mencurigai sesuatu. Waktu saya menoleh kebelakang ternyata petugas imigrasi sedang memberhentikan seorang gadis berkulit hitam, dan memeriksa dokumen gadis tersebut. Xaf pun berkomentar, memang mereka yang 'berwarna' akan cenderung untuk diperiksa daripada mereka yang berkulit putih. Ah, diskriminasi memang susah untuk dicabut sampai akar-akarnya.

Singkat cerita saya pun akhirnya sampai di rumah teman saya. Jennifer benar-benar mau mengikuti tradisi, dan sudah menyiapkan semua masakan khas thanks giving. Ayam kalkun yang besarnya sering bikin saya ragu kalau mereka itu termasuk spesies ayam; mantang (sweet potatoes) dimasak dengan kayu manis dan rempah, upper topping (corn bread crumbles), cranberries sauce, dan red cabbage and marron. Dari pihak saya, bakmi goreng. Praktis dan murah, walaupun mungkin tidak senada dengan hidangan lainnya. Kan judulnya menyumbang, jadi terserah saya dong..hihi.

Makan malam dihadiri oleh beberapa teman aikido lainnya (pacar Jennifer itu anak guru aikido dan temen saya di aikido juga), dan dua orang lainnya yang tidak saya kenal. Seorang ibu en certain âge, Ellen, dan seorang petani, Stephan. Stephan juga aktif di aikido, tapi latihan di dojo yang berbeda, jadi saya belum pernah ketemu. Dan kalau dipikir-pikir, baru kali ini saya bertemu dengan petani Eropa. Benar-benar makan malam yang menyenangkan. Bisa meluangkan waktu bersama teman-teman dan bertemu dengan orang baru yang baik hati.

Stephan was so sweet. Waktu saya kebingungan bagaimana harus pulang karena saya nggak tega kalau Jennifer harus mengantar saya all the way to Geneva tengah-tengah malam, Stephan spontan menawarkan diri mengantarkan saya pulang. Tapi nggak enak rasanya kalau saya merepotkan orang yang baru saya kenal, tapi teman-teman saya malah ngotot minta direpotkan. Jalan tengahnya Stephan mengantarkan saya sampai ke perbatasan, dan saya bisa naik tram sampai rumah.

Selama di perjalanan, Stephan masih ngotot mau nganterin saya pulang, kayaknya dia khawatir ngeliat saya yang mungil ini harus naik transportasi umum sendirian jam satu malam. Berhubung dia nggak begitu kenal dengan jalan di Jenewa dan saya nggak tahu arah dari perbatasan sampai rumah selain jalur tram, akhirnya saya pun bisa tetap mandiri.

Dari obrolan kami, saya pun akhirnya tahu kalau keluarga dia itu petani sapi perah dan mereka biasanya mulai kerja jam 5 pagi. Saya dalam hati langsung tersipu malu, karena saya biasanya bangun tidur jam 9 pagi. Petani memang profesi yang berat. Saya merasa bahwa kehidupan petani berbeda sekali dengan pelajar atau pekerja kantoran. Hidup mereka penuh dengan kerja keras dan kesederhanaan. Stephan sendiri seorang yang sederhana, namun baik hati. Sangking baiknya dia mengabulkan impian saya untuk bisa mencoba memerah susu sapi (I know..I know, I am weird). Dia bilang kapan saja saya mau, saya bisa dateng ke peternakannya dan dia bakal mengajarkan bagaimana memerah susu sapi. Yuppii!! Siapa tahu impian saya yang lain juga bisa kesampaian, mencium hidung sapi.

3 Comments:

  • Hi hi..aku juga suka sama sapi, matanya lebar dan cantik...kadang aku suka panggil anjingku: anak sapi...

    pernah pulang dari belanda, paspor saya juga ga diperiksa...tp ada org2 peru/equador sepesawat sama saya malah dicegat polisi dan dimintain paspornya. Padahal saya kan juga org asing (non eropa). jadi kita juga heran sendiri dan merasa itu tidak adil...

    By Anonymous Anonymous, at November 28, 2005 4:12 PM  

  • Sapi memang makhluk cantik, udah gitu mukanya damai banget. Bikin si sapi lugu-lugu imut.

    Saya ini termasuk maniak sama yang namanya sapi. Udah jadi kolektor kecil-kecilan berbagai barang yang berbagu-bau sapi. Dari piring sampai sandal.

    Pengen banget punya sapi sendiri, tapi mau ditaruh dimana ya? Namanya udah siap. Mungkin nanti mau nyogok-nyogok nenek di kampung buat meliharain pochi-kun (si sapi impian) hihii.

    By Blogger Pipit, at November 28, 2005 6:33 PM  

  • So... I can tell S.T. made an impression on you. :)

    By Anonymous Anonymous, at January 27, 2006 1:52 PM  

Post a Comment

<< Home