<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

another try

Thursday, March 30, 2006

Cerita sebuah perjalanan singkat

Saya harap ada yang bertanya-tanya, kemanakah si empunya blog selama beberapa hari terakhir? (Terima kasih Ollie, saya terharu jiwa ngedenger ada yang kangen sama saya...hihihi :))

Jawabannya: saya akhirnya harus terpaksa pergi ke negara Paman Sam, selama seminggu, karena menghadiri sebuah konferensi untuk para geek.

Kok terpaksa? Terpaksa, karena dari dulu saya memang tidak ingin menginjakkan kaki di negara yang pemerintahnya memiliki kebijakan luar negeri yang sungguh bertentangan dengan idealisme saya. Juga karena saya banyak mendengar cerita diskriminasi berkaitan dengan imigrasi. Tapi, mau bagaimana juga Amerika memang negara penting, termasuk dalam bidang akademik. Jadi, mau tidak mau, saya harus pergi.

Sungguh banyak pengalaman yang saya dapat gara-gara pergi ke Amerika. Dari yang menunggu di luar gerbang kedutaan selama 2 jam lebih untuk interview visa, terlepas dari kenyataan bahwa saya sudah punya janji yang ditetapkan oleh pihak kedutaan sendiri, sampai harus mendengarkan 3 orang Amerika yang tidak capek-capeknya berbicara di kursi belakang saya di pesawat. Membuat saya sama sekali tidak bisa tidur selama perjalanan dari Amsterdam ke Minneappolis!

Saya harus akui, perjalanan kali ini penuh kesan. Sebal, letih, was-was, dan heran. Dari kunjungan singkat saya selama seminggu, saya akhirnya bisa lebih mengerti para orang Amerika yang saya temui di sini. Saya juga jadi lebih mengerti teman-teman saya yang 'terpukau' akan Amerika, walaupun saya sendiri tidak terpesona akan megahnya negara ini.

Kesan pertama, orang-orang di sana senang sekali berbicara. Seperti yang saya bilang di atas, dalam perjalanan Amsterdam-Minneapolis, tiga orang di belakang saya berbicara non-stop. Selama 8 jam! Ingin rasanya menengok ke belakang dan membentak, can you please shut up! Benar-benar pengalaman total the American small talk.

Banyak yang bilang ini menandakan orang Amerika lebih ramah daripada orang Eropa yang sangat jarang mau berbicara dengan orang yang tidak mereka kenal. Tapi entah kenapa, saya merasa 'keramahan' ini agak agresif dan sangat artifical.

Masuk toko atau restoran, setiap orang langsung dibombardir dengan sapaan (yang kadang memekakkan telinga), Hi, how are you today? Did you have a nice evening? So what can I do to help you? Disambut dengan sapaan bertubi-tubi seperti ini jam 7 pagi dengan jet lag, membuat saya terkaget-kaget!

Nada bicara si penyapa selalu ramah dan cool, tapi menurut saya mengurangi kesopanan yang biasa saya temukan di sini. Belum lagi ketika transaksi diakhiri dengan Thank you honey. Glad to serve you. Walaupun yang ngomong ibu-ibu, saya kok rada risih. Atau ketika yang melayani seorang pemuda, dia akan melontarkan, There you go, thanks a lot, dengan nada yang sungguh santai dan akrab.

Apakah saya sudah terlalu tua dan kaku? Tapi sikap cool dan akrab tidak bisa memberikan justifikasi atas keteledoran dalam memberikan pelayanan. Lebih baik rasanya bersikap formal dan sopan, tapi pelayanan sempurna, daripada cool tapi teledor.

Lucunya, satu kali, ketika saya selesai menyantap hidangan, dan berusaha untuk mengucapkan terima kasih kepada pelayan dalam perjalanan keluar restoran, si pelayan yang super duper ramah dalam menyambut, jadi cuek berat dan tidak mendengarkan sama sekali pernyataan terima kasih saya. Hmmm...jadi ramahnya tadi itu hanya palsu belaka toh?

Percakapan di dalam restoran pun kadang seperti di pasar ayam. Rusuh! Pagi-pagi, di sini, biasanya orang akan menikmati croissant dan kopi hangat sambil membaca koran, di sana satu restoran sahut menyahut seakan saingan dalam berbicara. Di Jenewa, berbicara di tempat umum pun tidak jerit-jerit, karena pembicaraan antara dua orang harusnya hanya perlu didengar oleh kedua orang tersebut, bukan seluruh ruangan. Saya rasa masyarakatnya memiliki konsep privasi yang sungguh berbeda dengan masyarakat yang saya temui di Jenewa.

Kesan kedua: dibandingkan dengan Jenewa, San Diego kurang 'berjiwa'. Kota San Diego jauh lebih besar, jalan, bangunan dan berbagai infrastruktur jauh lebih besar dan luas, tapi kurang berkesan.

Bangunan selalu besar dan megah, imposing but not impressive. Gaya arsitektur bangunan yang saya temui tidak mempesona, layaknya kota tua Jenewa atau Roma. Memang tidak bisa dibandingkan, yang satu modern yang lain abad pertengahan. Tapi tetap saja, bangunan modern pun kalau memang arsitekturnya indah tetap bisa membuat para pengunjung terpana.

Paling tidak, tata kota cukup menarik dengan berbagai deretan pohon palem di pinggir jalan.

Sewaktu jalan-jalan menyusuri pelabuhan, saya melihat iklan dimana satu restoran sangat bangga dengan kenyataan bahwa ia sudah berdiri semenjak 1945. Saya langsung tersenyum, dan kemudian sadar akan 'muda'nya negara tersebut dibandingkan dengan Eropa. Di sini, iklan yang menampilkan tahun berdiri biasanya diawali dengan 18...atau bahkan 17.. Abad 20 tidak dianggap kuno atau tua.

I think a modern and urban city is really not for me.

Kesan ketiga: kota San Diego penuh dengan mobil tapi tidak mobile. Kenapa? Karena transportasi umum benar-benar terbatas.

Trolley (tram) hanya melayani sebagian kecil daerah, dan jadwalnya sungguh membuat saya nelangsa. 15-25 menit sekali! Dalam hati, di Indonesia saja saya tidak perlu menunggu segini lamanya. Lha di sini, yang katanya negara terkaya di dunia, kok harus seperti ini?

Salah satu teman Amerika saya pun menjelaskan kalau California memiliki budaya bermobil. Mobil merupakan ukuran kesuksesan seseorang, dan setiap orang dianggap punya mobil. Jadi, transportasi umum tidak perlu dikembangkan. Bahkan perusahaan General Mobil (tahunnya dikasih tahu, tapi saya lupa), membeli perusahaan trolley dan menghancurkan sebagian besar trolley untuk 'membujuk' masyarakat membeli dan tergantung akan mobil.

Pantas saja Amerika tidak mau menandatangani Kyoto Protocol. Wong, masyarakatnya saja sangat tergantung akan mobil. Kemana-mana harus menyetir mobil, dan terlebih lagi saya lihat mereka gemar sekali akan mobil besar yang tentunya boros energi. Mobil-mobil di kota ini ukurannya jauh lebih besar dari mobil-mobil yang saya temui di Jenewa. Wajar...mobil ukuran Dodge mana bisa dipakai di jalan kota Jenewa yang jauh lebih sempit.

Satu tanda bahwa orang-orang di San Diego tergantung sama mobil mereka: hampir tidak ada orang yang berjalan kaki. Saya dan Xaf tetep bersikukuh naik transportasi umum dan kemudian berjalan 30 menit ke kebun binatang dari stopan bis. Selama perjalanan tersebut, hampir tidak ada pejalan kaki, kecuali pengemis dan gelandangan!

Berbeda sekali dengan Jenewa, dimana ketika cuaca cerah, trotoar dan taman selalu dipenuhi dengan pejalan kaki yang menikmati pemandangan kota. Saya pun berpikir jahat, pantas saja masyarakat Amerika memiliki masalah obesitas. Jalan kaki saja malas.

Ini membuat saya beralih ke kesan keempat: saya menemui jauh lebih banyak kasus obesitas daripada di Jenewa atau Indonesia. Melihat gaya konsumsi makanan yang tidak sehat dan berlebih-lebihan, saya pun tidak heran lagi.

Porsi makanan sungguh besar dan kurang sehat. Di menu disebut, burger with salad, onion, tomato slices and french fries. Di piring, daging burger sebesar telapak tangan dan setebal 3 cm diapit oleh 2 potong roti, ditemani oleh satu lembar selada, satu iris tomat dan satu iris bawang yang terletak di samping si burger raksasa, ditambah setumpuk besar kentang goreng, yang panjangnya membuat saya bertanya-tanya sebesar apakah kentangnya.

Saya pun berkomentar, pantas saja banyak masalah berat badan. Daging 100 gram ditemani satu lembar salad kan tidak seimbang. Lagian, perut normal mana bisa memasukkan semua makanan sebanyak ini?

Yang lebih parah lagi, semua makanan Amerika yang saya cicipi benar-benar tidak ada rasa. Kentang goreng tidak ada rasa kentang, telur dadar hambar, kejunya lebih hambar dari mozarella, bahkan kopinya pun hambar. Ternyata kuantitas memang lebih diutamakan daripada kualitas.

Sewaktu profesor saya komentar kalau saya harusnya pergi ke restoran asing, yang menurut dia menyuguhkan makanan yang kadang lebih enak daripada di negara asalnya, saya pun membatin, tidak semua orang punya dompet setebal seorang profesor.

Inilah intinya. Untuk bisa hidup enak dan nyaman di Amerika harus punya uang banyak. Kalau punya uang banyak, bisa makan enak dan bergizi, dan bisa pergi kemana pun kapan pun, tanpa terbatasi oleh jarak. Punya uang sedikit artinya tidak bisa hidup layak. Beda dengan Jenewa. Di sini, punya uang banyak pasti lebih nyaman, tapi tidak punya uang banyak tidak berarti tidak bisa hidup layak.

Makanan sehat dan enak terjangkau oleh kocek pelajar. Mau rekreasi dengan teman dan keluarga tidak perlu membobok tabungan, cukup naik bis atau jalan kaki ke taman kota. Tidak punya mobil pun tidak membatasi seseorang untuk bepergian. Bis menjangkau hampir seluruh pelosok kota. Mau hiking ke gunung tinggal naik kereta 15 menit, langsung sampai.

Seminggu di San Diego membuat saya sadar akan miripnya kota tersebut dengan kota besar di Indonesia. Uang menentukan segalanya, dan kesenjangan antara golongan cukup menyolok mata. Miris rasanya melihat para gelandangan dan pengemis di jalan yang memohon uang kecil untuk makan siang, sedangkan di dalam restoran makanan dihidangkan dengan porsi besar-besaran yang sisanya banyak kemudian berakhir di tong sampah.

17 Comments:

  • lah ceritanya konferensinya mana? menyusul?? :)
    welcome back home!

    By Anonymous Anonymous, at March 30, 2006 9:33 PM  

  • Welcome back, Pit. Interesting. Tp mungkin San Diego tdk tepat dikatakan 'mewakili' kesan Amerika ya. Di NYC misalnya,they have to walk a lot,that's why the girls have nice and firm .. errr .. butt. Anyway,it's a nice reading, as always.

    *Silverlines*

    By Anonymous Anonymous, at March 30, 2006 11:33 PM  



  • Bon, bienvenue au pays des Yankees !

    LOL - merci ma pote d'avoir raconté un 'tit travelogue si amusant ... au fait tu bosses dans le domaine academique ? heheeee, konferensi para geek euy.

    Mais c'est pas ta premiere fois d'y venir? C'est un choc aussi pour moi ya 5 ans.

    J'écris en indonesien:

    +++

    Pipit, setau saya, interview US visa berlaku untuk pemohon pria -wanita dikecualikan- perasaan begitu deh, entahlah, ternyata sekarang udah berubah/ makin ribet (???)

    «harus mendengarkan 3 orang Amerika yang tidak capek-capeknya berbicara di kursi belakang saya di pesawat... Kesan pertama, orang-orang di sana senang sekali berbicara. Seperti yang saya bilang di atas, dalam perjalanan Amsterdam-Minneapolis, tiga orang di belakang saya berbicara non-stop. Selama 8 jam! »
    Pastinya Pipit pingin bilang, the Yanks and their MASSIVE BIG mouth, kan. LOL

    «Masuk toko atau restoran, setiap orang langsung dibombardir dengan sapaan (yang kadang memekakkan telinga), Hi, how are you today? Did you have a nice evening? So what can I do to help you? Disambut dengan sapaan bertubi-tubi seperti ini jam 7 pagi dengan jet lag, membuat saya terkaget-kaget! »
    Heheee, hospitality à la anglosakson kok itu. Tapi di sini, kami ngga separah itu kok. Di UK juga kayanya lebih kalem. Entahlah dg sepupu Amrik mereka, bawaannya agresif kali.

    «Belum lagi ketika transaksi diakhiri dengan Thank you honey. Glad to serve you. Walaupun yang ngomong ibu-ibu, saya kok rada risih. Atau ketika yang melayani seorang pemuda, dia akan melontarkan. There you go, thanks a lot, dengan nada yang sungguh santai dan akrab. »
    LOL, dan di terra australis, seringkali ibu-ibu kasir bilang, Thanks Darl, atau Thanks Darling. Ke semua orang ! Oooh, the horror ...



    «Porsi makanan sungguh besar dan kurang sehat. Di menu disebut, burger with salad, onion, tomato slices and french fries. Di piring, daging burger sebesar telapak tangan dan setebal 3 cm diapit oleh 2 potong roti, ditemani oleh satu lembar selada, satu iris tomat dan satu iris bawang yang terletak di samping si burger raksasa, ditambah setumpuk besar kentang goreng, yang panjangnya membuat saya bertanya-tanya sebesar apakah kentangnya. »

    Would you like fries with that, Mam? LOL

    ya uis ciao ma pote.

    By Anonymous Anonymous, at March 31, 2006 1:17 AM  

  • Naga: Sabar..satu-satu. Cerita konferensinya lagi dikarang..hihihi. Makasih, saya senang sekali bisa kembali ke rumah. Bisa makan pizza Itali beneran. :)

    Andry: Lha, bukannya sudah dikasih tahu kalau si upik abu bakal bepergian? :)

    Silverlines: Thanks Sil. It's so nice to be home. Croissant, chocolat chaud, pasta, etc.

    Iya sih, tidak mungkin rasanya membuat generalisasi berdasarkan pengalaman satu minggu di satu kota. Tapi menurut saya, Amerika berbeda sekali dengan Eropa, dalam berbagai hal. Saya geger budaya selama di San Diego.

    Macchi: LOL, mon ami, je dois etre diplomatique. Mais tu lis très bien mes penses. :)

    Yup, itu pertama kali saya ke Amerika. Halah..kagak ngebet balik lagi tuh. Masih mending ke Roma lagi deh. Orangnya rame, tapi kok tidak ada kesan agresif sama sekali. Atau mungkin kuping ini sudah terlalu terbiasa dengan kalimat Perancis yang merdu? hehehehe...

    By Blogger Pipit, at March 31, 2006 8:17 AM  

  • For me the most unattractive part of going to the that country is the Immigration section. Going through a rather "harassing" moment in our neighbour country managed to put me in a little traumatic experience going through the officers. But of course, Europe has its own attraction when we're talking about the people. But Switzerland,aren't they a little bit "cold" don't you think ? I have my own heaven and hell according to Europe.

    By Anonymous Anonymous, at March 31, 2006 8:37 AM  

  • Komen atas komen Silverlines: Kalau Swiss dianggap "dingin" heheee, gmn dg German dan Skandivanians ? Apakah mereka "beku"?

    LOL

    mchto

    By Anonymous Anonymous, at April 02, 2006 12:20 AM  

  • Buat Macchi: Errrr .. I have my own (public) impression on the two mentioned ;-)
    BTW, when I mentioned "cold" surely you didn't interpret it as the temperature, no ? As Skandinavian countries are literally frozen most of the time.

    By Anonymous Anonymous, at April 03, 2006 3:31 AM  

  • But then Sil, what is Swiss? What is 'warm'? But hey, let's not go into identity debate, shall we. I am not an expert. :)

    If you define 'warm' as chatty and loud like Americans, than Swiss are definetely not 'warm'. If you define 'warm' as expressive passionate like the Latins, Swiss are not 'warm'. But if you define 'warm' as compassionate, tolerate, care about others, as far as I can tell, Swiss are very warm. Red Cross itself is a Swiss institution. What can be a better example of their compassion toward humanity? :)

    I think 'cold' is not the correct term to describe Swiss. They are reserve and humble. Indeed, one of my Swiss-German friends told me that Swiss people don't like to attract attention, and they should not put themselves forward.

    But then, even among Swiss there are differences. Suisse-Romand is closer to French than to Suisse-Allemand (Swiss German). And it is quite difficult to differentiate Suisse-Italian from Italian if you happen to meet one and listen to them talking.

    Beside, I prefer serious 'cold' Swiss, as I think they are less fake. If a Swiss talks to me, it means, most of the time, he or she is really interested on what I am saying, not because they just want to kill time by talking. :)

    By Blogger Pipit, at April 03, 2006 3:25 PM  

  • Pipit, no I wasn't referring to the compassion, tolerance and other hearty feelings as we were "talking" about general appearance of people, right ? Unless I catch the wrong impression from your post. Of course, being reserved doesn't mean their heart is as cold (and I did date a Swiss once and surely his heart wasn't cold at all, as most European men are). What I learnt from what they said (well, at least people from my office many come from there) is that they are less expressive when it comes to talk and chit chat. Quite difficult for a newcomer, like me, for instance, who needs a compassionate welcome words when entering a new community.
    And please, no offense inteded my dear.

    As for the humanity, that is also why most of the humanitarian organization are based there, no ? And even private companies now.

    Their compassion. That is.

    By Anonymous Anonymous, at April 04, 2006 11:51 AM  

  • PS: when I mentioned (and I did date a Swiss once and surely his heart wasn't cold at all, as most European men are), I mean most European men do have warm hearts, not the opposite ;-)

    This intention versus interpretation does kill me, eh ?

    By Anonymous Anonymous, at April 04, 2006 12:02 PM  

  • Sil, no offense taken my dear. It's just a clarification on Swiss stereo-type. You're far from the only one who perceived them as 'cold'. :)

    Some of my friends were actually wondering how come I don't feel depressed in this 'cold' society. The answer is because I don't feel it that way. The society I live in and people I meet here are kind, warm hearted, honest, and sincere. It is true that sometimes it is difficult to be in an environment where people don't smile as often as people back home, or engaging in friendly daily chit chat. But then I learn to appreciate a different kind of warmth. A more genuine one. :)

    Besides, as I said, try to talk to Swiss-Italian. You'll be surprised on how Latin they can be. They talk very lively, and have charming accent whenever they talk in French or English. They even kiss cheeks differently. :)

    Btw, sorry for all the typos in my previous comment and this one (I am sure there are some). Shame on me :(

    By Blogger Pipit, at April 04, 2006 12:10 PM  

  • Am not sure if I ever talked to any Swiss-Italian but surely even the Suisse-Allemande could be a warm hearted one ;-)

    Oh dear, now I am caught in old-time reminiscence of someone in Lucerne ;-)

    By Anonymous Anonymous, at April 04, 2006 12:45 PM  

  • haduh. nggak seramah dan semenarik yang di oprah winfrey show atau sex and the city dan laen2 ya... haha.. salam kenal mbak pipit. dari saya yang juga pipit.

    By Blogger Pipit, at April 05, 2006 10:09 AM  

  • Interesting postings. Tapi bukankah Pipit udah made up your mind about US even before you step on the country ? Don't you think it might affect your total perception about US ? BTW .. Pipit pergi makan di resto mana (kok resto nya segitu loud) ? However, ada beberapa observasi yang menurut saya tepat. Misalnya tentang public transportation. Most cities in the US don't have good public transportation. Also about bangunan dan infrastruktur yang jauh lebih 'dingin' dan not artistic compare to Europe. About the taste of the food and the price of the good food, I guess you just need to stay a little bit longer in the city to know where to find it. Anyway ... salam kenal dari Texas.

    By Anonymous Anonymous, at April 06, 2006 6:21 AM  

  • Anonymous, you are right. I came to the US with some stereotypes in mind. I thought I would be surprised, but I was not.

    I made my mind about the government and not the people. I am trained not to mixed the two and not to generalize. I actually hoped that my trip would 'correct' some stereotypes about the US. Beside, I also heard many story about the 'grandeur' of the US, and hoped to experience them myself. Well...I guess I was not in the right place, with the right crowd, or with the right type of wallet. :)

    Totally agree about food and good restaurant. Being a tourist never allows you to enjoy 'the real thing'.

    But again, I learned a lot from my one week stay. It is shocking to see poverty in the street of San Diego and to see the biggest burger in my life.

    Salam kenal dari Geneva. Care to visit Europe? :)

    By Blogger Pipit, at April 06, 2006 7:56 AM  

  • Pipit: Halah...sudah terhipnotis soap opera toh dikau. Hihihi...

    Mungkin ada kali tempat yang menarik seperti yang di tipi-tipi. Saya yakin nggak semua kota di US sama. Sama halnya dengan Indonesia. Kadang suka sebal kalau ditanya asalnya darimana, terus langsung dituduh kalau saya tinggal di tepi pantai, latihan nari atau main gamelan, dsb. Sering banget dianggap kalau seluruh Indonesia itu seperti Bali atau Yogya (kota pariwisata kebanggan kita bersama). Pas saya jelaskan kalau kota asal saya cuma kota kecil yang sangat sederhana tanpa obyek wisata, yang diajak ngomong bingung.

    Tapi susahnya jadi turis merangkap pelajar ilmu sosial, mata tidak mau hanya terbuai oleh megahnya suatu kota, tapi juga senang mengamati masyarakat yang tinggal di sana.

    By Blogger Pipit, at April 06, 2006 8:03 AM  

  • Alouw Pipit ... this is anonymous again from Texas. Yeah ... burger di US is huge compare to other countries. Once again ... observasi yang tepat ... you will always find homeless people in downtown area in (probably) all big cities in the US. I don't know why.

    By Anonymous Anonymous, at April 10, 2006 12:41 AM  

Post a Comment

<< Home