Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya
Yang dulu pernah disuruh menghapalkan berbagai pepatah untuk ujian bahasa Indonesia pasti kenal sama pepatah ini. Kali ini saya mau cerita tentang 'bedanya' hidup di rantau dan di tanah air.
Teman-teman saya di Indonesia waktu tahun-tahun pertama saya tinggal di sini selalu semangat 45 nanyain gimana rasanya hidup di Eropa. Saya rasa mereka semua punya bayangan tentang bagaimana hidup di Eropa, serba gemerlap, serba romantis, serba tak terduga, serba trendy, serba keren, serba funky, ya pokoknya serba modern (terlepas bagaimana seseorang mau mengartikan kata ini).
Saya rasa mereka mau mendengar pengalaman saya tiba-tiba digoda oleh seorang pemuda tampan asing di sebuah kafe di tengah musik yang mendayu, dan kemudian tukeran nomor telpon atau janjian untuk makan malam romantis di sebuah restoran berkelas. Atau cerita menterengnya gedung-gedung di sini, serba canggihnya peralatan elektronik, dan bagaimana saya tercengang-cengang melihat gaya hidup masyarakat di sini yang dianggap berkelas, berbudaya, atau sophisticated. Atau mungkin mau mendengar cerita saya yang menikmati musik klasik di opera house atau berdiskusi tentang seni abad pertengahan di sebuah museum seni ternama.
Jadi ketika saya dengan entengnya menjawab kalau hidup di sini tidak ada bedanya (paling tidak menurut perasaan saya) dengan hidup saya di Indonesia, semua teman saya kecewa dan merengut. Waktu saya menerangkan kalau hidup saya dipenuhi dengan kunjungan ke perpustakaan dan membaca 10-12 jam, mereka pun langsung membalikkan badan sambil menggerutu, "yah..pit. Eloe nggak berubah, kutu buku. Payah. Sudah jauh-jauh ke Eropa malah tidak menikmati hidup."
Tapi memang benar, hidup di sini tidak ada bedanya dengan di Indonesia. Saya tetap harus ke kampus, tetap harus belanja kalau mau memasak, dan tetap harus naik angkutan umum kalau mau kemana pun. Masak sih saya harus bilang kalau saya di sini selalu menerima ajakan makan siang dari seorang pria bermata biru dan berambut pirang yang papasan di tengah jalan, atau clubbing setiap malam sampai jam 3 pagi dan kemudian diantar pulang oleh sang pangeran yang kebetulan bertubrukan di lantai dansa? Wong kenyataannya tidak seperti itu.
Tapi kemudian, setelah menilik dan banyak melamun di bangku taman, saya pun menyadari berbagai perbedaan kecil yang mungkin cukup menarik antara Jenewa dan Indonesia. Sebelum saya bertutur panjang lebar, saya harus menjelaskan kalau saya ini berasal dari sebuah kota kecil di Sumatera. Kalau untuk standar teman-teman saya yang orang Jakarta atau Bandung, saya ini termasuk kampungan. Jadi perbandingan yang saya tampilkan di sini adalah perbandingan antara kehidupan seorang pelajar di Jenewa dan kehidupan seorang pemudi kelas menengah dari sebuah kota kecil di Indonesia.
Pasar dan supermarket
Gengsi antara pergi ke pasar dan supermarket adalah satu perbedaan yang mencolok antara Jenewa dan Indonesia.
Di sini, bisa berbelanja ke pasar adalah sesuatu hal yang borjuis. Pasar di sini persis seperti halnya di kampung nenek saya, hanya seminggu sekali. Setiap kelurahan punya hari pasar masing-masing. Pada hari pasar, para petani pun datang dengan mobil box mereka untuk menjajakan produk mereka di bawah tenda-tenda berwarna-warni.
Kenapa saya bilang borjuis? Karena di pasar, produknya sangat segar, kadang baru dipetik tadi pagi atau sehari sebelumnya. Ini berarti harganya pun menjadi jauh lebih mahal, karena produknya segar dan langsung dari ladang. Tidak seperti halnya supermarket yang produknya merupakan hasil mass-production dan kadang harus menumpuk dahulu di gudang sebelum kemudian dikemas dan diantar ke setiap cabang supermarket. Dan kadang, hanya di pasar kita menemui produk bikinan rumah (artisanat) seperti selai, keju, roti, atau kue-kue khas.
Di Indonesia yang ada malah kebalikannya. Ibu-ibu pada bangga kalau belanja sambil mendorong kereta dorong di antara jajaran rak di supermarket. Terlepas dari kenyataan kalau kangkung dan sayuran hijau lainnya tampak layu, atau kalau harga jeruknya lebih mahal daripada yang dijual di bakul para mbok tukang buah di pasar tradisional. Belanja di pasar dianggap tidak bergengsi, jadi si embok saja yang disuruh pergi.
Waktu saya bercerita tentang perjalanan saya ke pasar selama saya di Indonesia, semua teman-teman saya di sini langsung iri. Iri ingin bisa punya pasar yang sebesar pasar utama kota saya, dan iri ingin bisa punya banyak pilihan bahan makanan yang segar tapi murah. Ironis kan?
Matahari dan wanita
Perbedaan mendasar yang lain adalah cinta atau bencinya wanita akan matahari.
Di Indonesia, para perempuan dituntut untuk membenci sinar terik matahari. Kulit sawo matang dipandang sebagai sesuatu yang tidak indah, dan produk pemutih pun membanjiri pasar dan toko-toko kosmetik. Kemana-mana kalau bisa bawa payung, untuk bersembunyi dari matahari. Kalau lupa bawa payung, berjalan pun minggir-minggir, berusaha untuk terus berada di bawah bayang-bayang atap gedung di pinggir jalan.
Di sini malah kebalikannya. Matahari dipandang sebagai the beauty maker. Setiap ada sedikit sinar matahari dan kalau udara memungkinkan, para perempuan langsung menggulung lengan baju dan celana untuk kemudian duduk di tengah taman, berusaha sedapat mungkin membakar dirinya di bawah matahari.
Jadi inget temen saya orang Norwegia. Pernah suatu saat kita janjian ketemuan di sebuah taman kota siang-siang. Pas saya celingak celinguk nyariin temen saya itu, ternyata dia lagi duduk di bawah patung di bunderan jalan di samping taman. Ya amplop..ngapain dia di situ pikir saya. Bunderan jalan itu kalau di Jakarta bisa dianggap seperti bunderan HI. Bunderan yang dikelilingi oleh lalu lintas yang padat.
Pas akhirnya dia menghampiri saya yang sudah melambai-lambaikan tangan dengan semangat, dia pun menerangkan kalau dia lagi memenuhi jatah sinar mataharinya. Dia bilang, di negerinya yang kadang musim dingin sampai berbulan-bulan tidak ada matahari, setiap orang selalu berusaha mendapatkan vitamin dari matahari sebanyak mungkin ketika musim semi atau musim panas. Jadi setiap hari dia musti berusaha berjemur selama 30 menit - 1 jam, atau lebih.
Ditambah, di sini kulit sawo matang seperti kulit saya ini dipandang ideal. Semua teman saya ingin punya kulit seperti saya. Sampai berjemur-jemur dan kulit mereka pun menjadi kemerah-merahan, berharap kulitnya bisa menjadi coklat gelap. Musim panas pun penuh dengan adegan berjemurnya para perempuan di taman kota, pantai, pinggir danau, atau di balkon apartemen masing-masing. Bahkan saya pernah menyaksikan perempuan muda bertelanjang dada berjemur di balkon apartemennya sambil membaca novel dengan santainya.
Saya pun jadi lebih senang pulang kampung pada musim dingin. Sampai di Indonesia saya dibilang cantik karena kulit saya pucat kedinginan, dan sewaktu saya balik ke Jenewa teman-teman saya pun berkomentar tentang 'gelap'nya kulit saya.
Keakraban dan homoseksualitas
Jangan berpikir aneh-aneh dulu ya. Yang saya maksudkan adalah perbedaan persepi tentang friendly gestures.
Begini-begini, kalau di Indonesia wajar kan kalau sepasang sahabat perempuan berjalan bergandengan tangan atau sepasang pemuda berjalan berpelukan bahu. Kalau di sini hal-hal seperti itu tidak wajar. Keakraban antara sesama jenis seperti itu bisa disalah artikan sebagai homoseksualitas.
Satu teman Amerika saya pernah tiba-tiba ngajak saya ngomong serius. Dia ada ganjalan mengenai teman Korea kami yang kamarnya di sebelah kamar saya waktu saya masih tinggal di asrama. Dia memperingatkan saya kalau dia curiga teman kami itu lesbian. Waktu saya tanya kenapa dia bisa berpikir seperti itu dia bilang karena teman kami itu touchy sekali. Senang sekali merangkul lengan teman perempuannya termasuk dia dan saya. Jadi saya musti hati-hati begitu.
Saya yang denger langsung ngakak guling-guling. Saya pun menjelaskan kalau di Asia merangkul lengan teman perempuan termasuk hal yang wajar. Berjalan bergandengan tangan pun sesuatu hal yang sangat wajar di Indonesia, jadi bukan tanda-tanda homoseksualitas. Dia baru manggut-manggut dan mengerti, dan berhenti khawatir kalau harus jalan bareng sama teman kami itu.
Xaf juga pernah komentar sewaktu melihat pasangan pemuda di Indonesia berjalan beriringan bahu, dengan tangan merangkul bahu yang lain. Dia bilang, wah kalau di Eropa itu sudah langsung dicap homoseksual.
Di Eropa antara sesama jenis tidak ada bahasa tubuh yang akrab seperti halnya di Indonesia. Bahasa tubuh antara teman berbeda sekali dengan di Indonesia. Tidak ada yang namanya gelendotan sambil cekikikan dengan teman-teman perempuan saya di sini. Cekikikan sih masih, tapi sewaktu main bersama kami berjalan sendiri-sendiri dengan jarak sedikit antara satu dan yang lain.
Lain halnya dengan pasangan berbeda jenis. Keakraban pasangan yang dimabuk cinta tidak ditutup-tutupi, kadang cukup membuat saya jengah.
Untuk hal yang satu ini akan saya bahas di posting berikutnya saja. Siapa tahu bakal ada yang penasaran dan jadi akan berkunjung kembali. Kesannya seperti sandiwara radio bersambung, hihihi...:)
bersambung...
Teman-teman saya di Indonesia waktu tahun-tahun pertama saya tinggal di sini selalu semangat 45 nanyain gimana rasanya hidup di Eropa. Saya rasa mereka semua punya bayangan tentang bagaimana hidup di Eropa, serba gemerlap, serba romantis, serba tak terduga, serba trendy, serba keren, serba funky, ya pokoknya serba modern (terlepas bagaimana seseorang mau mengartikan kata ini).
Saya rasa mereka mau mendengar pengalaman saya tiba-tiba digoda oleh seorang pemuda tampan asing di sebuah kafe di tengah musik yang mendayu, dan kemudian tukeran nomor telpon atau janjian untuk makan malam romantis di sebuah restoran berkelas. Atau cerita menterengnya gedung-gedung di sini, serba canggihnya peralatan elektronik, dan bagaimana saya tercengang-cengang melihat gaya hidup masyarakat di sini yang dianggap berkelas, berbudaya, atau sophisticated. Atau mungkin mau mendengar cerita saya yang menikmati musik klasik di opera house atau berdiskusi tentang seni abad pertengahan di sebuah museum seni ternama.
Jadi ketika saya dengan entengnya menjawab kalau hidup di sini tidak ada bedanya (paling tidak menurut perasaan saya) dengan hidup saya di Indonesia, semua teman saya kecewa dan merengut. Waktu saya menerangkan kalau hidup saya dipenuhi dengan kunjungan ke perpustakaan dan membaca 10-12 jam, mereka pun langsung membalikkan badan sambil menggerutu, "yah..pit. Eloe nggak berubah, kutu buku. Payah. Sudah jauh-jauh ke Eropa malah tidak menikmati hidup."
Tapi memang benar, hidup di sini tidak ada bedanya dengan di Indonesia. Saya tetap harus ke kampus, tetap harus belanja kalau mau memasak, dan tetap harus naik angkutan umum kalau mau kemana pun. Masak sih saya harus bilang kalau saya di sini selalu menerima ajakan makan siang dari seorang pria bermata biru dan berambut pirang yang papasan di tengah jalan, atau clubbing setiap malam sampai jam 3 pagi dan kemudian diantar pulang oleh sang pangeran yang kebetulan bertubrukan di lantai dansa? Wong kenyataannya tidak seperti itu.
Tapi kemudian, setelah menilik dan banyak melamun di bangku taman, saya pun menyadari berbagai perbedaan kecil yang mungkin cukup menarik antara Jenewa dan Indonesia. Sebelum saya bertutur panjang lebar, saya harus menjelaskan kalau saya ini berasal dari sebuah kota kecil di Sumatera. Kalau untuk standar teman-teman saya yang orang Jakarta atau Bandung, saya ini termasuk kampungan. Jadi perbandingan yang saya tampilkan di sini adalah perbandingan antara kehidupan seorang pelajar di Jenewa dan kehidupan seorang pemudi kelas menengah dari sebuah kota kecil di Indonesia.
Pasar dan supermarket
Gengsi antara pergi ke pasar dan supermarket adalah satu perbedaan yang mencolok antara Jenewa dan Indonesia.
Di sini, bisa berbelanja ke pasar adalah sesuatu hal yang borjuis. Pasar di sini persis seperti halnya di kampung nenek saya, hanya seminggu sekali. Setiap kelurahan punya hari pasar masing-masing. Pada hari pasar, para petani pun datang dengan mobil box mereka untuk menjajakan produk mereka di bawah tenda-tenda berwarna-warni.
Kenapa saya bilang borjuis? Karena di pasar, produknya sangat segar, kadang baru dipetik tadi pagi atau sehari sebelumnya. Ini berarti harganya pun menjadi jauh lebih mahal, karena produknya segar dan langsung dari ladang. Tidak seperti halnya supermarket yang produknya merupakan hasil mass-production dan kadang harus menumpuk dahulu di gudang sebelum kemudian dikemas dan diantar ke setiap cabang supermarket. Dan kadang, hanya di pasar kita menemui produk bikinan rumah (artisanat) seperti selai, keju, roti, atau kue-kue khas.
Di Indonesia yang ada malah kebalikannya. Ibu-ibu pada bangga kalau belanja sambil mendorong kereta dorong di antara jajaran rak di supermarket. Terlepas dari kenyataan kalau kangkung dan sayuran hijau lainnya tampak layu, atau kalau harga jeruknya lebih mahal daripada yang dijual di bakul para mbok tukang buah di pasar tradisional. Belanja di pasar dianggap tidak bergengsi, jadi si embok saja yang disuruh pergi.
Waktu saya bercerita tentang perjalanan saya ke pasar selama saya di Indonesia, semua teman-teman saya di sini langsung iri. Iri ingin bisa punya pasar yang sebesar pasar utama kota saya, dan iri ingin bisa punya banyak pilihan bahan makanan yang segar tapi murah. Ironis kan?
Matahari dan wanita
Perbedaan mendasar yang lain adalah cinta atau bencinya wanita akan matahari.
Di Indonesia, para perempuan dituntut untuk membenci sinar terik matahari. Kulit sawo matang dipandang sebagai sesuatu yang tidak indah, dan produk pemutih pun membanjiri pasar dan toko-toko kosmetik. Kemana-mana kalau bisa bawa payung, untuk bersembunyi dari matahari. Kalau lupa bawa payung, berjalan pun minggir-minggir, berusaha untuk terus berada di bawah bayang-bayang atap gedung di pinggir jalan.
Di sini malah kebalikannya. Matahari dipandang sebagai the beauty maker. Setiap ada sedikit sinar matahari dan kalau udara memungkinkan, para perempuan langsung menggulung lengan baju dan celana untuk kemudian duduk di tengah taman, berusaha sedapat mungkin membakar dirinya di bawah matahari.
Jadi inget temen saya orang Norwegia. Pernah suatu saat kita janjian ketemuan di sebuah taman kota siang-siang. Pas saya celingak celinguk nyariin temen saya itu, ternyata dia lagi duduk di bawah patung di bunderan jalan di samping taman. Ya amplop..ngapain dia di situ pikir saya. Bunderan jalan itu kalau di Jakarta bisa dianggap seperti bunderan HI. Bunderan yang dikelilingi oleh lalu lintas yang padat.
Pas akhirnya dia menghampiri saya yang sudah melambai-lambaikan tangan dengan semangat, dia pun menerangkan kalau dia lagi memenuhi jatah sinar mataharinya. Dia bilang, di negerinya yang kadang musim dingin sampai berbulan-bulan tidak ada matahari, setiap orang selalu berusaha mendapatkan vitamin dari matahari sebanyak mungkin ketika musim semi atau musim panas. Jadi setiap hari dia musti berusaha berjemur selama 30 menit - 1 jam, atau lebih.
Ditambah, di sini kulit sawo matang seperti kulit saya ini dipandang ideal. Semua teman saya ingin punya kulit seperti saya. Sampai berjemur-jemur dan kulit mereka pun menjadi kemerah-merahan, berharap kulitnya bisa menjadi coklat gelap. Musim panas pun penuh dengan adegan berjemurnya para perempuan di taman kota, pantai, pinggir danau, atau di balkon apartemen masing-masing. Bahkan saya pernah menyaksikan perempuan muda bertelanjang dada berjemur di balkon apartemennya sambil membaca novel dengan santainya.
Saya pun jadi lebih senang pulang kampung pada musim dingin. Sampai di Indonesia saya dibilang cantik karena kulit saya pucat kedinginan, dan sewaktu saya balik ke Jenewa teman-teman saya pun berkomentar tentang 'gelap'nya kulit saya.
Keakraban dan homoseksualitas
Jangan berpikir aneh-aneh dulu ya. Yang saya maksudkan adalah perbedaan persepi tentang friendly gestures.
Begini-begini, kalau di Indonesia wajar kan kalau sepasang sahabat perempuan berjalan bergandengan tangan atau sepasang pemuda berjalan berpelukan bahu. Kalau di sini hal-hal seperti itu tidak wajar. Keakraban antara sesama jenis seperti itu bisa disalah artikan sebagai homoseksualitas.
Satu teman Amerika saya pernah tiba-tiba ngajak saya ngomong serius. Dia ada ganjalan mengenai teman Korea kami yang kamarnya di sebelah kamar saya waktu saya masih tinggal di asrama. Dia memperingatkan saya kalau dia curiga teman kami itu lesbian. Waktu saya tanya kenapa dia bisa berpikir seperti itu dia bilang karena teman kami itu touchy sekali. Senang sekali merangkul lengan teman perempuannya termasuk dia dan saya. Jadi saya musti hati-hati begitu.
Saya yang denger langsung ngakak guling-guling. Saya pun menjelaskan kalau di Asia merangkul lengan teman perempuan termasuk hal yang wajar. Berjalan bergandengan tangan pun sesuatu hal yang sangat wajar di Indonesia, jadi bukan tanda-tanda homoseksualitas. Dia baru manggut-manggut dan mengerti, dan berhenti khawatir kalau harus jalan bareng sama teman kami itu.
Xaf juga pernah komentar sewaktu melihat pasangan pemuda di Indonesia berjalan beriringan bahu, dengan tangan merangkul bahu yang lain. Dia bilang, wah kalau di Eropa itu sudah langsung dicap homoseksual.
Di Eropa antara sesama jenis tidak ada bahasa tubuh yang akrab seperti halnya di Indonesia. Bahasa tubuh antara teman berbeda sekali dengan di Indonesia. Tidak ada yang namanya gelendotan sambil cekikikan dengan teman-teman perempuan saya di sini. Cekikikan sih masih, tapi sewaktu main bersama kami berjalan sendiri-sendiri dengan jarak sedikit antara satu dan yang lain.
Lain halnya dengan pasangan berbeda jenis. Keakraban pasangan yang dimabuk cinta tidak ditutup-tutupi, kadang cukup membuat saya jengah.
Untuk hal yang satu ini akan saya bahas di posting berikutnya saja. Siapa tahu bakal ada yang penasaran dan jadi akan berkunjung kembali. Kesannya seperti sandiwara radio bersambung, hihihi...:)
bersambung...
8 Comments:
Dan seperti publik umum, saya bersikeras berpendapat hidup di Genève pastilah sangat super funky.
lol
C'est cool ca ce posting.
By Anonymous, at April 16, 2006 1:25 AM
Kalau yang aku tahu, pemasokan sayuran di Indo sini tuh mendahulukan supermarket untuk kualitas terbaik, sisanya baru 'dilempar' ke pasar (pernah lihat acara profil usaha di TV). Jadi ya kebalikan dari di sana. Dan harga buah atau sayuran di pasar tradisional ngga selalu lebih murah, kadang lebih mahal padahal kualitasnya pada level 'cukup' aja, makanya sebagian ibu-ibu lebih suka ke sana. Tentu pagi-pagi supaya masih fresh :)
Err, a little correction: sinar matahari tidak memberikan vitamin, tapi mengaktifkan pro-vitamin D (menjadi vitamin) yang ada di kulit.
By Anonymous, at April 16, 2006 4:55 AM
Macchi: Kalau cool dalam arti clubbing dan trendy, gue nggak tahu. Gaya hidup gue terus terang tidak termasuk 'cool'. Tapi kalau funky dalam arti banyak acara kebudayaan, kesenian, pameran, konser musik yang kadang gratis untuk publik, itu iya. :)
Lita: Heemm, saya baru denger tuh. Di kota asal saya, seingat saya sayur kangkung di supermarket selalu layu dan hitam-hitam. Tidak ada produk bahan mentah yang lebih segar daripada di pasar tradisional.
Masalah harga, di pasar jauh lebih murah. Yang penting, pintar menawar dan punya tempat belanja langganan.
Untuk mutu juga begitu, kalau punya langganan mutu terjamin. Kadang mbok tukang sayur langganan suka menyisihkan cabe merah yang mutunya paling bagus untuk saya. Tukang daging pun selalu tahu daging seperti apa yang mama saya mau. :)
Terimakasih koreksinya ibu pengamat kesehatan. :)
By Pipit, at April 16, 2006 9:42 AM
ttg pasar: kl di NZ, yg namanya Sunday market biasanya menawarkan sayuran segar yang biasanya harganya lebih murah ketimbang pasar swalayan...
By Anonymous, at April 16, 2006 12:53 PM
Mahli: Terima kasih infonya Mahli. Saya baru tahu. Tuh kan...inilah manfaatnya blog, jadi saling berbagi. :)
By Pipit, at April 16, 2006 2:46 PM
ayo lagi...
tulisan ini bagus...
aku jadi pengen tau banyak tentang eropa. kali aja bisa mampir kesana.. hihihi
By Anonymous, at April 17, 2006 10:13 AM
Bener ya dats, mampir ke sini ya? Nanti saya temenin jalan-jalan. Jenewa bagus banget lho. :)
By Pipit, at April 25, 2006 9:08 AM
hehehehe gak pp mo sayurannya jelek2 ato bagus2 teteup pngen maen ke jek nek wak....
By Anonymous, at May 09, 2006 11:02 AM
Post a Comment
<< Home