Masih tentang perbedaan
Menyambung tentang berbagai perbedaan kecil tapi unik antara Jenewa dan Indonesia, saya akan kembali berceloteh tentang pengamatan kehidupan saya di sini.
Intimacy and privacy
Maaf judulnya tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Susah sekali menemukan kata terjemahannya yang cocok.
Penunjukan keintiman pasangan bercinta dan konsep privasi cukup berbeda antara masyarakat Jenewa dan Indonesia.
Di kota asal saya, paling tidak waktu jaman saya mulai pacaran, yang pacaran seperti orang musuhan. Jangankan mau berciuman seperti yang lagi dihebohkan para media tentang pergeseran budaya anak muda (saya pikir media membuat suatu generalisasi yang berdasarkan gaya hidup metropolitan), pegangan tangan di tempat umum saja kadang malunya setengah mati. Belum kalau papasan dengan tetangga, langsung deh pura-pura nggak kenal sama si kekasih.
Saya dengan Xaf pun kalau jalan bersama di Indonesia tidak gelendotan seperti koala liat pohon. Pegangan tangan pun kami jarang. Saya pikir, toh saya bisa jalan sendiri tanpa dipandu sama orang lain.
Di sini, para muda-mudi yang dimabuk cinta benar-benar serasa dunia milik berdua. Berciuman seperti perangko nempel di amplop di tempat umum bukan sesuatu yang tabu. Anehnya tidak ada yang melototi atau mengamati kegiatan tersebut. Kebanyakan mereka yang di sekitarnya hanya memalingkan wajah atau sama sekali tidak perduli akan keintiman pasangan tersebut.
Lucunya, ketika melihat sebuah pasangan yang lagi dimabuk cinta, teman saya yang orang Amerika pernah berkomentar lirih, "gee, get a room". Kata teman saya ini, masyarakat Eropa termasuk lebih liberal dalam masalah ekspresi keintiman dari Amerika, dan dia datang dari New York!
Jengah rasanya melihat pasangan umur 13 tahun berangkulan dan berciuman di halte bis dan selama perjalanan di dalam bis. Tapi ketidakperdulian orang di sekitarnya, menurut saya mungkin merupakan suatu bentuk penghormatan privasi pasangan yang dimabuk cinta tersebut.
Kalau yang pernah baca Shogun mungkin ingat ketika Mariko menjelaskan kepada Blackthorne tentang bagaimana setiap orang di Jepang terlatih untuk membangun dinding mental dimana dia akan bisa bersembunyi dari apa yang terjadi di sekitarnya. Mariko menjelaskan, rumah tradisional Jepang dimana setiap ruangan hanya dipisahkan oleh dinding kertas tipis, membuat privasi setiap individu tidak dapat mengandalkan perlindungan sebuah dinding atau pintu. Untuk itu, dengan tidak mengindahkan berbagai suara di sekitar yang berasal entah dari mereka yang berdiskusi, bertengkar atau bercinta, privasi yang lain pun akan terjaga.
Mengingat penuturan di buku ini, saya pun jadi berkesimpulan, memalingkan pandangan dari mereka yang sedang berciuman adalah suatu bentuk penghargaan privasi mereka. Jadi bukan cuek dan tidak perduli, tapi justru menghargai kebebasan pribadi yang lain.
It's their life, just look the other way around.
Mengenai privasi, ada satu lagi yang cukup unik dari masyarakat di sini. Keunikan yang bersumber dari kenyataan bahwa kebanyakan orang tinggal di apartemen, dimana kadang pembicaraan tetangga bisa terdengar sampai di rumah saya.
Tinggal di apartemen, atau rumah susun, artinya kita harus sadar bahwa privasi kita terbatas dan kita harus selalu menghargai privasi yang lain. Ini berarti kita tidak bisa berbicara terlalu keras, terutama pada saat-saat sepi (tengah malam atau dini hari), dan tidak bisa lari-lari atau melakukan kegiatan apapun yang akan menimbulkan keributan di dalam apartemen.
Berbeda sekali dengan Indonesia. Di Indonesia, tinggal di dalam rumah yang kadang dikelilingi oleh taman, membuat penghuninya merasa terisolasi dari dunia luar. Pembicaraan keras, suara televisi yang memekakkan telinga, atau suara radio yang cuap-cuap hampir selalu memenuhi suasana. Pertengkaran pun bisa dilakukan dengan selesa.
Di lain pihak, privasi di Indonesia pun dibatasi oleh tetangga, tapi dalam bentuk lain. Bukan dalam bentuk pasif seperti halnya di Jenewa, kenyataan bahwa tetangga bisa mendengar pembicaraan kita, tapi dalam bentuk aktif di mana tetangga bisa datang dan pergi dengan cukup bebas.
Paling tidak di daerah tempat tinggal orang tua saya, para tetangga saling mengunjungi kapan saja. Pintu belakang tidak pernah terkunci dan siapa pun bisa masuk dan berkunjung. Tinggal mengucapkan salam, kemudian masuk. Entah hanya sekedar ingin ngobrol atau meminjam sesuatu.
Dulu saya tidak pernah merasa terganggu, tapi semenjak saya tinggal di sini, saya pun sadar kalau saya tidak punya 'privasi' seperti halnya di apartemen. Saya harus selalu 'siap' kalau ada tetangga yang mampir, dan kadang tidur siang saya di sofa kesayangan di depan TV pun terusik oleh kunjungan mereka.
Kalau di apartemen, kami benar-benar sendiri. Pintu apartemen adalah suatu perlindungan privasi akan gangguan 'aktif' atas privasi kami. Hampir tidak ada kunjungan dadakan, saya pun bisa dengan santai membiarkan rumah apa adanya.
Percakapan dan batas personal
Sering tidak merasa kalau kadang dalam percakapan santai dengan seseorang yang tidak kita kenal atau tidak begitu dekat, kadang muncul berbagai pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi?
Di Indonesia, sering sekali saya merasa seperti itu. Menanyakan status, agama, sudah punya anak atau belum, umur, menikah kapan, nama orang tua, alat kontrasepsi yang saya pakai, dsb, adalah pertanyaan yang bagi saya adalah suatu yang personal. Tapi entah kenapa, masyarakat di Indonesia merasa berhak tahu dan merasa pertanyaan tersebut wajar saja.
Menurut saya, kewajaran mempertanyakan hal-hal yang bersifat pribadi seperti ini sebenarnya adalah bentuk kontrol sosial. Bagaimana bukan kontrol sosial, ketika semua tahu saya pergi dengan siapa, kemana, siapa keluarga pacar/suami saya, siapa orang tua saya, dsb?
Di sini, banyak pertanyaan 'biasa' di Indonesia menjadi pertanyaan yang tabu. Jangan sekali-sekali menanyakan apa agama teman ngobrol di bis atau kenapa pasangan asing di depan anda belum menikah. Yang ada anda akan menerima pandangan tajam menusuk dan komentar singkat, it's none of your business.
Bahkan dengan teman pun kadang ada berbagai pertanyaan yang tetap tidak pantas untuk diutarakan, kecuali bila teman tersebut yang memberi tahu dan kemudian mengajak berdiskusi. Terlepas dari pandangan kita bahwa teman tersebut ada masalah, kita tetap tidak bisa buka mulut kecuali kalau ditanya pendapatnya.
Satu lagi, di sini tempat umum diartikan sebagai tempat dimana banyak orang asing di sekitar yang bisa secara sadar maupun tidak sadar menguping pembicaraan kita. Jadi berbicara pun hati-hati, tidak main bergosip panjang lebar dengan semangat seperti ibu-ibu di dalam angkot yang menceritakan skandal tetangganya. Bukan berarti gosip tidak ada ya, masih banyak kok mereka yang suka menggosip, tapi paling tidak frekuensinya jauh lebih sedikit dan tipenya berbeda.
Tidak ada pembicaraan seperti si bapak A nyeleweng dengan perempuan B, atau si ibu A punya masalah kista dan lagi dioperasi agar bisa punya anak, atau anak si ibu C tidak naik kelas dan dicurigai terlibat narkoba di angkot!
Pakaian tidur dan kesopanan
Di sini, pergi ke luar dan bertemu dengan orang lain dengan masih berpakaian pijama atau daster adalah sesuatu yang tidak sopan dan vulgar.
Sewaktu Xaf berkunjung ke Indonesia dan melihat banyak mereka yang sudah berpakaian pijama atau daster masih kular-kilir di jalan, dia langsung kaget dan merah padam menahan malu. Saya pun menjelaskan kalau di Indonesia, kita dibiasakan untuk memakai 'pakaian tidur' sehabis mandi sore. Tidak seperti di Jenewa, dimana pakaian tidur hanya digunakan sewaktu mau tidur. Sehabis bangun tidur pun, walaupun belum mandi, mereka di sini dibiasakan untuk memakai pakaian luar. Tidak langsung keluar kamar dengan hanya berlapiskan pijama. Makanya kita sering melihat di tipi-tipi para aktor memakai jubah mandi atau kamar ketika harus mengangkat telpon tengah malam. :)
Mahalnya barang impor
Yang namanya barang impor memang dimana-mana harganya mahal. Tapi kadang suka mengelus dada ketika melihat berbagai bahan makanan yang dulu bisa saya beli dengan ringan sekarang menjadi bahan mewah.
Kalau di Indonesia harga apel atau anggur impor membuat kita hanya bisa memakan buah-buah bergengsi tersebut satu kali sebulan, di sini harga mangga golek jauh lebih mahal dari apel atau anggur sekalipun. Lebih nelangsa lagi ketika saya melihat label harga buah pete. Satu baris (atau kalau memakai istilah mama saya, satu papan) pete harganya sampai Rp 30.000! Daun pisang yang kalau di Indonesia kadang bisa main tebas pakai golok, gratis, di sini dihargai Rp 70.000 untuk 3-4 lembarnya! Bayangkan, bayangkan.
Mama saya yang otak bisnisnya langsung jalan sampai komentar, "Wah pit, kalau begitu mama pindah ke Jenewa aja ya. Mama tinggal jualan pete, daun pisang sama mangga, pasti jadi kaya kan?"
*gubrak*
Intimacy and privacy
Maaf judulnya tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Susah sekali menemukan kata terjemahannya yang cocok.
Penunjukan keintiman pasangan bercinta dan konsep privasi cukup berbeda antara masyarakat Jenewa dan Indonesia.
Di kota asal saya, paling tidak waktu jaman saya mulai pacaran, yang pacaran seperti orang musuhan. Jangankan mau berciuman seperti yang lagi dihebohkan para media tentang pergeseran budaya anak muda (saya pikir media membuat suatu generalisasi yang berdasarkan gaya hidup metropolitan), pegangan tangan di tempat umum saja kadang malunya setengah mati. Belum kalau papasan dengan tetangga, langsung deh pura-pura nggak kenal sama si kekasih.
Saya dengan Xaf pun kalau jalan bersama di Indonesia tidak gelendotan seperti koala liat pohon. Pegangan tangan pun kami jarang. Saya pikir, toh saya bisa jalan sendiri tanpa dipandu sama orang lain.
Di sini, para muda-mudi yang dimabuk cinta benar-benar serasa dunia milik berdua. Berciuman seperti perangko nempel di amplop di tempat umum bukan sesuatu yang tabu. Anehnya tidak ada yang melototi atau mengamati kegiatan tersebut. Kebanyakan mereka yang di sekitarnya hanya memalingkan wajah atau sama sekali tidak perduli akan keintiman pasangan tersebut.
Lucunya, ketika melihat sebuah pasangan yang lagi dimabuk cinta, teman saya yang orang Amerika pernah berkomentar lirih, "gee, get a room". Kata teman saya ini, masyarakat Eropa termasuk lebih liberal dalam masalah ekspresi keintiman dari Amerika, dan dia datang dari New York!
Jengah rasanya melihat pasangan umur 13 tahun berangkulan dan berciuman di halte bis dan selama perjalanan di dalam bis. Tapi ketidakperdulian orang di sekitarnya, menurut saya mungkin merupakan suatu bentuk penghormatan privasi pasangan yang dimabuk cinta tersebut.
Kalau yang pernah baca Shogun mungkin ingat ketika Mariko menjelaskan kepada Blackthorne tentang bagaimana setiap orang di Jepang terlatih untuk membangun dinding mental dimana dia akan bisa bersembunyi dari apa yang terjadi di sekitarnya. Mariko menjelaskan, rumah tradisional Jepang dimana setiap ruangan hanya dipisahkan oleh dinding kertas tipis, membuat privasi setiap individu tidak dapat mengandalkan perlindungan sebuah dinding atau pintu. Untuk itu, dengan tidak mengindahkan berbagai suara di sekitar yang berasal entah dari mereka yang berdiskusi, bertengkar atau bercinta, privasi yang lain pun akan terjaga.
Mengingat penuturan di buku ini, saya pun jadi berkesimpulan, memalingkan pandangan dari mereka yang sedang berciuman adalah suatu bentuk penghargaan privasi mereka. Jadi bukan cuek dan tidak perduli, tapi justru menghargai kebebasan pribadi yang lain.
It's their life, just look the other way around.
Mengenai privasi, ada satu lagi yang cukup unik dari masyarakat di sini. Keunikan yang bersumber dari kenyataan bahwa kebanyakan orang tinggal di apartemen, dimana kadang pembicaraan tetangga bisa terdengar sampai di rumah saya.
Tinggal di apartemen, atau rumah susun, artinya kita harus sadar bahwa privasi kita terbatas dan kita harus selalu menghargai privasi yang lain. Ini berarti kita tidak bisa berbicara terlalu keras, terutama pada saat-saat sepi (tengah malam atau dini hari), dan tidak bisa lari-lari atau melakukan kegiatan apapun yang akan menimbulkan keributan di dalam apartemen.
Berbeda sekali dengan Indonesia. Di Indonesia, tinggal di dalam rumah yang kadang dikelilingi oleh taman, membuat penghuninya merasa terisolasi dari dunia luar. Pembicaraan keras, suara televisi yang memekakkan telinga, atau suara radio yang cuap-cuap hampir selalu memenuhi suasana. Pertengkaran pun bisa dilakukan dengan selesa.
Di lain pihak, privasi di Indonesia pun dibatasi oleh tetangga, tapi dalam bentuk lain. Bukan dalam bentuk pasif seperti halnya di Jenewa, kenyataan bahwa tetangga bisa mendengar pembicaraan kita, tapi dalam bentuk aktif di mana tetangga bisa datang dan pergi dengan cukup bebas.
Paling tidak di daerah tempat tinggal orang tua saya, para tetangga saling mengunjungi kapan saja. Pintu belakang tidak pernah terkunci dan siapa pun bisa masuk dan berkunjung. Tinggal mengucapkan salam, kemudian masuk. Entah hanya sekedar ingin ngobrol atau meminjam sesuatu.
Dulu saya tidak pernah merasa terganggu, tapi semenjak saya tinggal di sini, saya pun sadar kalau saya tidak punya 'privasi' seperti halnya di apartemen. Saya harus selalu 'siap' kalau ada tetangga yang mampir, dan kadang tidur siang saya di sofa kesayangan di depan TV pun terusik oleh kunjungan mereka.
Kalau di apartemen, kami benar-benar sendiri. Pintu apartemen adalah suatu perlindungan privasi akan gangguan 'aktif' atas privasi kami. Hampir tidak ada kunjungan dadakan, saya pun bisa dengan santai membiarkan rumah apa adanya.
Percakapan dan batas personal
Sering tidak merasa kalau kadang dalam percakapan santai dengan seseorang yang tidak kita kenal atau tidak begitu dekat, kadang muncul berbagai pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi?
Di Indonesia, sering sekali saya merasa seperti itu. Menanyakan status, agama, sudah punya anak atau belum, umur, menikah kapan, nama orang tua, alat kontrasepsi yang saya pakai, dsb, adalah pertanyaan yang bagi saya adalah suatu yang personal. Tapi entah kenapa, masyarakat di Indonesia merasa berhak tahu dan merasa pertanyaan tersebut wajar saja.
Menurut saya, kewajaran mempertanyakan hal-hal yang bersifat pribadi seperti ini sebenarnya adalah bentuk kontrol sosial. Bagaimana bukan kontrol sosial, ketika semua tahu saya pergi dengan siapa, kemana, siapa keluarga pacar/suami saya, siapa orang tua saya, dsb?
Di sini, banyak pertanyaan 'biasa' di Indonesia menjadi pertanyaan yang tabu. Jangan sekali-sekali menanyakan apa agama teman ngobrol di bis atau kenapa pasangan asing di depan anda belum menikah. Yang ada anda akan menerima pandangan tajam menusuk dan komentar singkat, it's none of your business.
Bahkan dengan teman pun kadang ada berbagai pertanyaan yang tetap tidak pantas untuk diutarakan, kecuali bila teman tersebut yang memberi tahu dan kemudian mengajak berdiskusi. Terlepas dari pandangan kita bahwa teman tersebut ada masalah, kita tetap tidak bisa buka mulut kecuali kalau ditanya pendapatnya.
Satu lagi, di sini tempat umum diartikan sebagai tempat dimana banyak orang asing di sekitar yang bisa secara sadar maupun tidak sadar menguping pembicaraan kita. Jadi berbicara pun hati-hati, tidak main bergosip panjang lebar dengan semangat seperti ibu-ibu di dalam angkot yang menceritakan skandal tetangganya. Bukan berarti gosip tidak ada ya, masih banyak kok mereka yang suka menggosip, tapi paling tidak frekuensinya jauh lebih sedikit dan tipenya berbeda.
Tidak ada pembicaraan seperti si bapak A nyeleweng dengan perempuan B, atau si ibu A punya masalah kista dan lagi dioperasi agar bisa punya anak, atau anak si ibu C tidak naik kelas dan dicurigai terlibat narkoba di angkot!
Pakaian tidur dan kesopanan
Di sini, pergi ke luar dan bertemu dengan orang lain dengan masih berpakaian pijama atau daster adalah sesuatu yang tidak sopan dan vulgar.
Sewaktu Xaf berkunjung ke Indonesia dan melihat banyak mereka yang sudah berpakaian pijama atau daster masih kular-kilir di jalan, dia langsung kaget dan merah padam menahan malu. Saya pun menjelaskan kalau di Indonesia, kita dibiasakan untuk memakai 'pakaian tidur' sehabis mandi sore. Tidak seperti di Jenewa, dimana pakaian tidur hanya digunakan sewaktu mau tidur. Sehabis bangun tidur pun, walaupun belum mandi, mereka di sini dibiasakan untuk memakai pakaian luar. Tidak langsung keluar kamar dengan hanya berlapiskan pijama. Makanya kita sering melihat di tipi-tipi para aktor memakai jubah mandi atau kamar ketika harus mengangkat telpon tengah malam. :)
Mahalnya barang impor
Yang namanya barang impor memang dimana-mana harganya mahal. Tapi kadang suka mengelus dada ketika melihat berbagai bahan makanan yang dulu bisa saya beli dengan ringan sekarang menjadi bahan mewah.
Kalau di Indonesia harga apel atau anggur impor membuat kita hanya bisa memakan buah-buah bergengsi tersebut satu kali sebulan, di sini harga mangga golek jauh lebih mahal dari apel atau anggur sekalipun. Lebih nelangsa lagi ketika saya melihat label harga buah pete. Satu baris (atau kalau memakai istilah mama saya, satu papan) pete harganya sampai Rp 30.000! Daun pisang yang kalau di Indonesia kadang bisa main tebas pakai golok, gratis, di sini dihargai Rp 70.000 untuk 3-4 lembarnya! Bayangkan, bayangkan.
Mama saya yang otak bisnisnya langsung jalan sampai komentar, "Wah pit, kalau begitu mama pindah ke Jenewa aja ya. Mama tinggal jualan pete, daun pisang sama mangga, pasti jadi kaya kan?"
*gubrak*
7 Comments:
sperti koala liat puun! bwahahahaha lutu sekali metaforanya! hmmm harus dipraktekkan nih! :p
speaking of private questions. huhuhu di bis pas ke solo dari jogja kemaren saya discrutinize kenapa belum merit. i was like WHAAAAATTT???? emangnya mau nyariin? bwihihihi..
By Anonymous, at April 16, 2006 12:15 PM
bener tuh, bisa dagang :P
Dari indonesia bawa pete satu koper. Sampe diimigrasi langsung diinterogasi, karena dicurigai mo meracuni lingkungan sekitar dengan pete :P
By Anonymous, at April 16, 2006 12:51 PM
Nana: Lho betul kok 'na. Koala kan kalau liat puun bawaannya gelendotan, kagak mau lepas. Aye liat di kebun binatang di San Diego, si koala-koala yang imut itu cuek aja mantatin para pengunjung. Asik gelendotan. :)
Postingan dikau termasuk sumber ide sebenernya..hihihi. Gue juga sering diselidiki seperti itu, kesannya kayak lagi diinterogasi ama polisi. Yang parah malah dulu pernah, lagi berkunjung ke rumah temen, tiba-tiba temen nyokapnya yang juga lagi namu main komentar, "sudah punya calon belum? Tante lagi tengok-tengok nih buat anak tante." *gubrak*
Mahli: Iya..nyokap emang ada-ada aja. Sampe gue pernah mau dipaksa dagang. Bawa bumbu macem-macem buat dijual di sini...hayyah..untung ada batas koper 20 kg. Kalau enggak, malu berat pas disuruh buka koper isinya aneh-aneh.
By Pipit, at April 16, 2006 2:51 PM
Koala sebenernya bawaanya demen tidur loh.
Mendingan possum lah, satwa nokturnal yang rajin cari makanan gelap-gelapan.
By CIAO ITALIA!, at April 17, 2006 10:08 AM
hehehe....
kebudayaan beda, jadi semua beda...
petani disana bisa kaya dong ya? :D
By Anonymous, at April 17, 2006 10:21 AM
wah,
kangen deh dengan genef...
dengan bau mawarnya.
dengan suasana sepi di celigny.
dan suasana hangat di place de cornavain.
mimpiku,
pengen lagi ke situ!
By Anonymous, at April 25, 2006 7:07 AM
Macchi: Ngomongin possum jadi inget Ice Age 2. Udah nonton belom?
Didats: Iya dats. Di sini petani kadang bermobil mewah lho. Apalagi petani anggur, wah...keren deh. Kadang mereka tinggal di rumah semi-kastil, warisan turun menurun. Terus punya tanah yang luas banget. Punya tanah di sini, artinya kaya..abisnya termasuk investasi yang paling mahal.
Anto: Ahh..mampir atuh. Sekarang Jenewa sedang cantik-cantiknya. Musim semi. Pepohonan mulai berdaun hijau kecil-kecil dan berbunga, dimana-mana ada bunga berwarna-warni. Baik di taman maupun di pinggir jalan.
Jet d'eau juga selalu dengan gagahnya menyiramkan air setinggi langit. Matahari juga sudah nggak nyumput di balik awan lagi, hangat tapi adem dengan angin semilir. :)
By Pipit, at April 25, 2006 9:13 AM
Post a Comment
<< Home