<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

another try

Monday, January 02, 2006

Masih tentang bandara

Cerita tentang pulang kampungnya dilanjutkan lagi.

Perjalanan ke Indonesia kali ini ternyata berbeda dengan sebelumnya. Biasanya kalau saya naik KLM Geneva-Jakarta, rutenya Geneva-Amsterdam, Amsterdam-Singapore, Singapore-Jakarta. Tapi kali ini transit di Asia bukan di Changi Singapore, melainkan Kuala Lumpur Malaysia.

Seneng, karena dapet kesempatan untuk menapakkan kaki di Malaysia, walaupun cuma di bandara. Lumayan. Lagian saya pengen lihat kayak apa sih bandara Kuala Lumpur. Sambil mengantuk saya pun keluar pesawat yang mau dibersihin ke bandara untuk melemaskan kaki selama 30 menit. Sampai di pintu gerbang bandara saya dikagetkan oleh perintah dalam bahasa melayu campur Inggris atau Inggris campur melayu. Buset dah..ini Mbak ngomong apaan sih? Pas dia lihat saya terbengong bingung dia pun mengulang perintahnya dalam bahasa melayu. Bukannya tambah mubeng malah tambah bingung. Saya musti balik ke gate nomor berapa sih?

Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia katanya serumpun, tapi kalau saya harus mencoba mengerti orang Malaysia, saya angkat tangan langsung tiarap. Kayaknya mereka orang yang sibuk sekali ya, sampai waktu bicara pun disingkat-singkat. Banyak kata yang dipotong dan langsung dirangkai dengan kata berikutnya, rapper musti belajar sama orang Malaysia nih. Bahasa Inggris mereka pun ajaib untuk telinga saya. Udah logatnya kental, ngomongnya cepet banget lagi.

Langsung inget obrolan dengan orang Malaysia yang ketemu di sini. Waktu dia ngeliat saya terpana jiwa ngedengerin dia ngoceh dalam bahasa Melayu, dia langsung ketawa dan mengulang dengan lebih lambat. Terus dia komentar, "Awak, Orang Indonesia, kalau ngomong patah-patah ya..aneh." Kalau ada temen Indonesia saya di situ pasti langsung pingsan. Wong saya ini sering dinobatkan jadi rapper gagal, sangking kalo ngomong cepet banget.

Balik ke pemantauan bandara, bandara Kuala Lumpur designnya cukup futuristik. Lapang, terang, dan minimalis. Lantainya marmer yang mengkilat, bersih dan mungkin juga karena efek lampu. Saya langsung ngacir ke kamar kecil. Saya memang paling hobi meriksa kamar kecil di setiap bandara, mau komentar tentang standar kebersihan tentunya.

Pertama ngikik dulu sebentar, karena kamar kecil bahasa Melayunya 'tandas'. Waktu saya masuk si 'tandas', saya cukup kuciwa. Waduh..ternyata lantainya nggak semengkilat yang di depan. Wangi karbol yang selalu menyelubungi kamar kecil Changi diganti sama 'wangi' yang lain. Lantainya pun tidak kering, dan tombol flushnya mana ini? Ini otomatis kayak di Schiphol apa enggak sih? Nemu-nemu ternyata si flush adalah tombol kecil (sumpah kecil banget) di samping radar wanna-be. Masalah WC, Changi masih yang paling top se-Asia (tapi saya memang belum pernah ke HongKong atau Jepang sih). Kalau Eropa, persaingan antara Oslo airport sama Zurich airport cukup ketat. Schiphol sih kalah jauh, cuma menang di otomatic flush (yang sebenernya cukup merepotkan dalam segi timing) aja.

Jadi punya proyek masa depan nih. Mau motret interior design tiap bandara yang saya kunjungi dan bikin studi banding tentang kebersihan kamar kecil di bandara-bandara internasional.

Ada yang mau berbagi pengalaman tentang bandara? Akan diterima dengan bahagia dan diberi senyum tulus. Kalau ada yang punya poto boleh dituker ama penjepit kertas Swiss. Ayo...cepat kirim untuk menangkan penjepit kertas mungil dan cantik. Kirim 10 bisa dituker dengan gelas...serius.

6 Comments:

  • Hi hi hi....lucu juga nih.
    Ya changi emang paling canggih se asia. KL akhir2 ini mampir krn KLM kayaknya dari eropa udah ga mampir di changi.
    Tapi menurutku Schiphol udah terhebat, krn belum liat Oslo dan Zurich.
    Saya cuma pernah mampir di Stockholm, airportnya biasa2 aja, jauh lebih kecil dari soekarno hatta dan lebih sederhana banget (di negara itu kayaknya ada banyak airport yah) .
    Kalo Gatwick, ngga sempet merhatiin, soalnya begitu dateng, langsung dijemput bis, maklum rombongan. Kalo airport madrid, biasa2 aja, wc bersih kok, lumayan.
    Bagi saya schiphol dan changi, da best...

    By Anonymous Anonymous, at January 02, 2006 12:49 PM  

  • Schiphol emang interior designnya bagus banget, mewah dan mall abis. Tapi WC-nya cukup mengecewakan.

    WC di Oslo airport beneran bagus banget, interior designnya kayak di majalah-majalah, dinding panel kayu, dan minimalis abis. Interior design bandara sih nordic abis (nyesel nggak moto) tapi kok loketnya kurang teratur, jadinya rame dan rusuh kayak terminal bis.

    WC Zurich airport bersih banget, standar Swiss-Jerman (yang lebih tinggi dari Swiss-Perancis). Bikin betah...interior design airport sih biasa aja, standar, dan nggak sebesar Schiphol.

    Kapan ya bisa ngejenguk Madrid, dan pengen banget liat Charles de Gaule airport sama Roma. Katanya banyak karya seni.

    By Blogger Pipit, at January 02, 2006 1:51 PM  

  • Biasa nih si pipit, cerewet banget kalau soal kebersihan terutama WC. Cuma sayangnya ada ya, bagus sih bagus, tapi kalau nggak ada air yang properly untuk *maaf* BAB.. bagi gua bersih nya jadi kurang bermakna deh, hehehe.. beneran.

    By Anonymous Anonymous, at January 03, 2006 7:41 AM  



  • hihihi, ngomongin toilet airport pula kau.

    saya pernah menginjakkan kaki di airport sydney, melbourne, brisbane, perth - kesemuanya standar tapi jauh lebih efisien, bersih, dan tidak berbau dibanding CGK (di mana puntung rokok dan lantai becek hampir bak de rigueur).

    di Changi dan KL, sempat transit dan toiletnya terasa standar. Hongkong setali tiga uang. Narita, hmm tidak buruk, urinalnya masih jaman 70-an, tapi jambannya dengan flush-otomatis+built-in-bidet yeeahh (chouette)

    Schipol, Frankfurt juga tampak standar; sayangnya blm pernah terbang via CDG atau Fiumicino atau negara Skandinavia. Sedangkan JFK dan LAX sudah lupa tapi tidak ada yang spesial tertanam di benak.

    ciao
    espresso.over-blog.com
    ...

    By Anonymous Anonymous, at January 05, 2006 11:21 PM  

  • Macchiato, iya nih kok ide kita deket-deket, deket toilet..hihihi.

    Thanks banget udah bagi-bagi cerita. Wah dikau udah melanglang buana kemana aja pak?

    Kalau dari cerita eloe kayaknya semua toilet standar. Tapi mungkin nggak sih toilet pria dan wanita beda, dalam arti toilet wanita kurang 'standar' dari toilet pria. Atau memang guenya aja yang maniak, kurang kerjaan merhatiin toilet...hahahaha.

    By Blogger Pipit, at January 07, 2006 9:50 AM  

  • Dibandingkan Soekarno Hatta, toilet Bandara Kualalumpur lebih bersih dan nyaman. Tapi, saya lebih 'ngeh' dengan milik 'kita' karena masih menyisipkan 'aksesori' tradisi nusantara. Tapi, lagi-lagi saya kecewa karena dibandingkan bandara lokal Malaysia, Soekarno-Hatta yang bertaraf internasional masih kalah karena tak ubahnya seperti terminal: semrawut dan tidak nyaman. Atau, inikah wujud dari ideologi kita bahwa semua adalah milik rakyat? Ups, udah mulai ngaco'. Sorry!

    By Blogger Ahmad Sahidah, at May 13, 2006 8:51 AM  

Post a Comment

<< Home