<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

another try

Tuesday, January 24, 2006

Niatnya baik, jadinya...

Setiap saya harus pulang ke Indonesia, saya selalu merasa 'kikuk' dan bersalah ketika membandingkan pendapatan saya dengan berapa banyak uang bulanan saya bisa memberi makan orang di sekitar saya. Perbedaan relatif biaya hidup di sini dan di rumah sana membuat saya enggan untuk menawar harga, untuk menghemat seribu atau dua ribu rupiah. Mama saya yang pentolan tawar-menawar kadang suka sewot melihat saya yang langsung mengalah ketika berbelanja di pasar tradisional. Sepertinya dia kecewa melihat ilmu menawar saya yang dibangun dengan susah payah olehnya lenyap begitu saja. Atau kadang dia merasa 'dirampok' sama tukang buah ketika saya dengan halus menolak tawaran mama saya untuk menawar harga jeruk satu kilo. Sewaktu dia ngomel-ngomel membodoh-bodohi saya yang mau saja dikibulin tukang buah, saya biasanya langsung bilang, "Ma, uang segitu satu franc pun nggak sampai. Lagian ibu itu lebih butuh uang itu daripada pipit."

Suatu hari saya dan teman saya harus pergi ke rumah seorang teman lainnya yang baru saja melahirkan. Rumah mungilnya bisa dicapai dengan angkot (yang muter-muter bikin mabok) atau becak. Berhubung saya tidak kenal daerahnya dan hobi naik becak, saya pun dengan semangat mendatangi pangkalan becak di pinggir jalan. Entah kenapa saya secara otomatis mulai menawar. Ternyata kebiasaan lama memang susah untuk dihilangkan. Lagipula saya tidak tahu berapa jauh rumah teman saya itu dari pangkalan. Akhirnya, setelah tawar-menawar kami pun setuju dengan harga Rp. 7000, turun dari Rp. 10000.

Ternyata rumah teman saya lumayan jauh. Sudah udara panas terik dan jalanannya menanjak, ditambah berat saya dan teman saya pasti tidak ringan seperti kapas. Hati saya langsung kasihan setengah mati dan merasa berdosa telah tega memotong 3 ribu rejekinya si abang becak. Tangan saya pun sibuk membongkar-bongkar dompet, berharap cemas bisa menemukan uang pecahan sepuluh ribu-an. Sampai di depan rumah teman saya, langsung saya sodorkan uang sepuluh ribu, dan ketika si abang hendak mengaruk kocek memberikan kembalian, saya pun menolak. Muka si abang langsung cerah seperti bulan purnama, dan dia malah menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke pangkalan tadi. Tapi berhubung saya tidak tahu sampai kapan saya akan ngalor ngidul sama teman saya, tawarannya pun saya tolak dengan senyum manis.

Keesokan harinya saya hendak kembali menjenguk teman saya tersebut. Kali ini saya pergi sendirian. Setiba di pangkalan saya sudah siap memberikan alamat, tapi entah kenapa saya masih juga iseng nanya harga jasa becak dan mencoba menawar. Tiba-tiba semua tukang becak menjawab, "Sepuluh ribu nggak boleh kurang neng!" Haaahhh..saya langsung kaget. Lho kok, kemaren tujuh ribu masih bisa, kenapa sekarang semua ngotot minta sepuluh ribu?

Saya pun langsung ngedumel dalam hati, ternyata si abang kemaren mungkin curhat sama temen-temennya dan mereka berkesimpulan kalau tarif mereka perlu dinaikkan ke sepuluh ribu. Toh ada yang mau membayar segitu.

Hati ini langsung dongkol. Kok niat baik malah disalahgunakan. Untuk saya uang sepuluh ribu mungkin tidak seberapa, tapi bagaimana dengan pelanggan lainnya yang cuma punya uang pas-pasan. Kalau sampai para pengguna jasa becak harus membayar lebih mahal, ini kan jadi salah saya. Aduh...ini bagaimana ini..

Akhirnya demi memprotes saya pun menolak naik becak. Saya memilih naik angkot, walaupun sambil deg-degan takut nggak sampai. Kecewa rasanya melihat niat baik saya malah mungkin menyusahkan orang lain.

2 Comments:

  • Don't rock the boat, mereka bilang. Emang mending jgn mengusik tatanan hidup sosial yang telah terbentuk.

    Di resto2 tertentu di sini, yg sering dapet turis Amerika Utara yg tentu aja nge-tips gede minimum 15%, akhirnya serveurs/euses jadi jutek dg para locals (tipping optional buat kami).

    By Anonymous Anonymous, at January 25, 2006 1:42 AM  

  • woah...gimana ya?
    tp kalo emang org2 sekitar sanggupnya 7000 rup, entar paling mereka juga nurunin harga lagi. Kan ga setiap hari org jenewa naik becak he he he...:P
    Kalo pulang kmren, gua ada urusan buru2, estafet taxi dan ojek. Ojek lumayan juga, udah punya tarif fix dari lebak bulus - sampe rumah gua...

    By Anonymous Anonymous, at January 25, 2006 11:41 AM  

Post a Comment

<< Home