Komentar: Bumi Manusia
Bumi Manusia adalah buku karangan Pramoedya Ananta Toer pertama yang saya baca. Dulu sewaktu kuliah saya paling takut sama bukunya karangan Bapak Toer ini. Takut tidak bisa menghargai karya sastra kandidat hadiah Nobel untuk sastra ini. Ternyata benar, buku fiksi ini tidaklah sesederhana seperti kelihatannya. Sekilas buku ini adalah sebuah novel cinta dengan latar belakang Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Tapi menilik lebih dalam, banyak kritik sosial dan renungan moral di balik cerita cinta Minke dan Annelies.
Dalam cerita, terdapatlah seorang Minke, lelaki Jawa berdarah biru, anak Bupati. Minke yang murid H.B.S kemudian jatuh cinta pada Annelies, seorang Indo, anak seorang gundik Nyai Ontosoroh dengan Tuan Mellema. Penuturan kisah cintanya sendiri cukup sederhana, namun penuh dengan berbagai kejanggalan yang secara tidak langsung memberikan gambaran kompleksitas setiap karakter cerita. Kompleksitas yang berkutat pada kontradiksi antara nilai timur dan barat.
Terbukanya mata Minke akan ilmu-ilmu Eropa membuat dirinya melihat ketidak-adilan dan penghinaan di balik kultur feodalisme Jawa. Minke pun mengagungkan kebebasan ala Barat dan berusaha melepaskan diri dari sifat ke - Jawa - an. Pemberontakan jiwa Minke tampak jelas di satu adegan dimana ia harus bersimpuh di depan ayahnya sambil mengutuk dalam hati:
"Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demu tahun kebelakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu....Sembah--pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini."(p. 182)
Namun, diskriminasi sistem sosial dan hukum Hindia Belanda yang dialami oleh Minke kemudian membuatnya terkadang mempertanyakan keagungan nilai-nilai Barat yang menjanjikan masa depan yang cerah untuk manusia. Dan ketika ia harus tunduk kepada hukum Belanda, yang tidak hanya menginjak harga dirinya tapi juga merampas haknya, ia pun kemudian mengutuk ketidak-adilan sang guru, Eropa.
Kontradiksi antara nilai timur dan barat pun sangat jelas digambarkan oleh karakter Nyai Ontosoroh. Seorang perempuan Jawa, dijual oleh ayahnya demi sebuah jabatan. Seorang gundik yang lebih terpelajar dari Bupati, berkat tuntunan tuannya. Nyai Ontosoroh mengutuk nasibnya, namun menolak untuk dipanggil Mevrow (nyonya) dan selalu meminta untuk dipanggil Nyai (panggilan untuk gundik). Karakter ini penuh dengan kegetiran. Penekanan akan sebutan Nyai menunjukkan sifat terpelajarnya yang membuat dirinya sadar akan kedudukan sosial, tapi menurut saya, dengan meminta untuk dipanggil Nyai, ia juga mengingatkan dirinya sendiri akan nasibnya yang sungguh mengenaskan.
Nyai Ontosoroh membenci "Jawa" yang selalu menunduk-nunduk dan menjilat untuk mendapatkan kedudukan(yang telah menjadikan dirinya seorang gundik), namun ia pun jijik pada "Belanda", gurunya, yang kemudian menjadi gila dan mentelantarkan dirinya dan keluarganya. Nyai Ontosoroh membenci "Jawa" yang mengutuk kedudukannya sebagai gundik, namun ia pun membenci "Belanda" yang tidak mau mengakui dirinya sebagai ibu sah anak-anaknya dan menghormati dirinya sebagai seorang manusia terpelajar yang fasih berbahasa Belanda hanya karena dirinya seorang gundik, seorang budak.
Novel ini memperlihatkan pergolakan batin para insan yang terjepit dua budaya, dua nilai, dan dua pemahaman. Novel yang penuh dengan kritik sosial akan kedua nilai tradisional dan modern. Ambiguitas setiap karakter membuat novel ini tidak hanya berhasil menggambarkan revolusi budaya di negara terjajah tapi juga merupakan sebuah penolakan akan pengagungan absolut sebuah nilai budaya dan sosial.
Pemaparan akan peranan ilmu pengetahuan dalam mengobrak-abrik tata sosial sebuah masyarakat tradisional membuat saya teringat akan murkanya seorang pendeta akan kemajuan teknologi yang dipandang mempertipis kepercayaan manusia akan Tuhan dan mukjijatnya di Angels and Demons karya Dan Brown. Sedangkan tokoh Nyai Ontosoroh, gundik terpelajar seperti halnya permata dari kubangan lumpur, mengingatkan saya akan tokoh utama pelacur di Supernova 1 karya Dee. Sungguh menarik ketika satu buku mengingatkan kita akan buku yang lain, seakan ada benang merah yang menghubungkan para pengarang yang berada di tempat dan waktu yang berbeda.
Dalam cerita, terdapatlah seorang Minke, lelaki Jawa berdarah biru, anak Bupati. Minke yang murid H.B.S kemudian jatuh cinta pada Annelies, seorang Indo, anak seorang gundik Nyai Ontosoroh dengan Tuan Mellema. Penuturan kisah cintanya sendiri cukup sederhana, namun penuh dengan berbagai kejanggalan yang secara tidak langsung memberikan gambaran kompleksitas setiap karakter cerita. Kompleksitas yang berkutat pada kontradiksi antara nilai timur dan barat.
Terbukanya mata Minke akan ilmu-ilmu Eropa membuat dirinya melihat ketidak-adilan dan penghinaan di balik kultur feodalisme Jawa. Minke pun mengagungkan kebebasan ala Barat dan berusaha melepaskan diri dari sifat ke - Jawa - an. Pemberontakan jiwa Minke tampak jelas di satu adegan dimana ia harus bersimpuh di depan ayahnya sambil mengutuk dalam hati:
"Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demu tahun kebelakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu....Sembah--pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini."(p. 182)
Namun, diskriminasi sistem sosial dan hukum Hindia Belanda yang dialami oleh Minke kemudian membuatnya terkadang mempertanyakan keagungan nilai-nilai Barat yang menjanjikan masa depan yang cerah untuk manusia. Dan ketika ia harus tunduk kepada hukum Belanda, yang tidak hanya menginjak harga dirinya tapi juga merampas haknya, ia pun kemudian mengutuk ketidak-adilan sang guru, Eropa.
Kontradiksi antara nilai timur dan barat pun sangat jelas digambarkan oleh karakter Nyai Ontosoroh. Seorang perempuan Jawa, dijual oleh ayahnya demi sebuah jabatan. Seorang gundik yang lebih terpelajar dari Bupati, berkat tuntunan tuannya. Nyai Ontosoroh mengutuk nasibnya, namun menolak untuk dipanggil Mevrow (nyonya) dan selalu meminta untuk dipanggil Nyai (panggilan untuk gundik). Karakter ini penuh dengan kegetiran. Penekanan akan sebutan Nyai menunjukkan sifat terpelajarnya yang membuat dirinya sadar akan kedudukan sosial, tapi menurut saya, dengan meminta untuk dipanggil Nyai, ia juga mengingatkan dirinya sendiri akan nasibnya yang sungguh mengenaskan.
Nyai Ontosoroh membenci "Jawa" yang selalu menunduk-nunduk dan menjilat untuk mendapatkan kedudukan(yang telah menjadikan dirinya seorang gundik), namun ia pun jijik pada "Belanda", gurunya, yang kemudian menjadi gila dan mentelantarkan dirinya dan keluarganya. Nyai Ontosoroh membenci "Jawa" yang mengutuk kedudukannya sebagai gundik, namun ia pun membenci "Belanda" yang tidak mau mengakui dirinya sebagai ibu sah anak-anaknya dan menghormati dirinya sebagai seorang manusia terpelajar yang fasih berbahasa Belanda hanya karena dirinya seorang gundik, seorang budak.
Novel ini memperlihatkan pergolakan batin para insan yang terjepit dua budaya, dua nilai, dan dua pemahaman. Novel yang penuh dengan kritik sosial akan kedua nilai tradisional dan modern. Ambiguitas setiap karakter membuat novel ini tidak hanya berhasil menggambarkan revolusi budaya di negara terjajah tapi juga merupakan sebuah penolakan akan pengagungan absolut sebuah nilai budaya dan sosial.
Pemaparan akan peranan ilmu pengetahuan dalam mengobrak-abrik tata sosial sebuah masyarakat tradisional membuat saya teringat akan murkanya seorang pendeta akan kemajuan teknologi yang dipandang mempertipis kepercayaan manusia akan Tuhan dan mukjijatnya di Angels and Demons karya Dan Brown. Sedangkan tokoh Nyai Ontosoroh, gundik terpelajar seperti halnya permata dari kubangan lumpur, mengingatkan saya akan tokoh utama pelacur di Supernova 1 karya Dee. Sungguh menarik ketika satu buku mengingatkan kita akan buku yang lain, seakan ada benang merah yang menghubungkan para pengarang yang berada di tempat dan waktu yang berbeda.
13 Comments:
Whoaaa .. aku udah punya bukunya for quite a while but keep procrastinate in reading it ... Your review makes it easier for me to swallow the content of the book. Thanks, Pit ! How's Switzerland ? Been raining like cats and dogs here in Jakarta ..
By Anonymous, at January 17, 2006 3:32 AM
i gather this is an asian language right? Philipino? Indonesian?
By ASAM, at January 17, 2006 10:01 AM
Allô Sil. Glad that this short comment encourage you to finally read the book. :)
I cannot say it's a real review though, it's more like my reading of the book. I guess my training makes me always cautious on social context of every book that I read, but it also makes me able to read this book easier.
It's snowing here, cold and wet. I hope that there won't be any flood in Jakarta this year.
By Pipit, at January 17, 2006 10:16 AM
Hi Ams,
It's Indonesian. :) Thank you for your visit.
By Pipit, at January 17, 2006 10:19 AM
Oh well, some part of Jakarta has already experienced flood within the last two weeks though and they said that the weather is going to get worse, hopefully not.
But speaking about Pram's books ..it is such a relief that finally his masterpiece(s) are allowed to be distributed freely in Indonesia, isn't it ?
By Anonymous, at January 18, 2006 5:48 AM
Waah yang bumi manusia ini aku blm beli Pit (ketinggalan zaman deh aku;). Disini aku baru ada "perburuan", "bukan pasar malam" dan "gadis pantai"! Waktu mudik kemarin di gramed gk keliat, atau udah habis, gk tau deh! Makasih ya udah di review :)
By Anonymous, at January 18, 2006 2:08 PM
Silverlines: Gee..I wonder when Jakarta will be a flood-free city. :(
I totally agree with you, it's great to finally able to buy Toer's books in every book stores. I was always ashamed whenever people here asked me if I ever read his piece. Even my husband read this book before I could.
Sikrit: Kayaknya Bumi Manusia ini baru mulai beredar akhir tahun kemaren deh. Jadi pas dikau mudik, bukunya belum dicetak mungkin..hihi. Gue malah kagak punya judul yang lain. Pinjem dong 'krit. :)
By Pipit, at January 18, 2006 2:13 PM
good review...hope to see more posting about books and films from you...
kalo buku2 indonesia musti beli/dapetin dari sana sih ya? apa mungkin di belanda ada toko buku indonesia????
By Anonymous, at January 19, 2006 10:55 AM
Hehehhe..Pit..pipit, jadi kapan mo kesini, minjem bukunya ;)
By Anonymous, at January 19, 2006 1:08 PM
Naga: Naga terlalu baik nih, seperti Pak Tino Sidin yang selalu bilang..yak bagus...hihihi. Thanks naga. :) Buku berbahasa Indonesia, kayaknya memang harus beli pas pulang deh. Tapi jadinya terbatas, wong jatah 20 kg nya udah diambil sama mie, kerupuk dan teman-temannya..hihi.
Sikrit: Dikau dong yang berkunjung ke sini. Kalau gue kan musti pake visa segala..Jenewa nggak kalah cantik dari Paris lho..;)
By Pipit, at January 19, 2006 4:01 PM
Dan kapan kami akan melihat foto Vieux-Genève di blog ini?
ciao
macchiato
By Anonymous, at January 20, 2006 12:37 AM
Macchiato: Sebenernya poto2 vieille-ville sudah banyak. Tapi kebanyakan ada saya yang lagi mejeng dimana gitu. Merusak pemandangan...hihi
Harus dipilah dan discan dulu ya. Atau musti motret dulu. Bakal ditampilkan, jangan kuatir. :)
By Pipit, at January 22, 2006 12:12 PM
wah, bumi manusia buku top banget menurut gw.
the best part bagi gue, ketika minke mendapat surat dari sahabatnya, dan mengatakan bahwa negeri ini akan tetap terjajah kalau mesiah belum juga datang. dan semua isi surat itu, begitu menggetarkan hati
By Julia_falls, at March 25, 2007 4:47 PM
Post a Comment
<< Home