Masih tentang Paris
Menyambung cerita saya minggu lalu, saya masih akan curhat tentang kesan saya akan Paris. Mumpung masih segar dalam ingatan. :)
Restoran dan budaya gastronomi
Seperti yang saya bilang, di Paris restoran dan kafe bertebaran di mana-mana. Saling bersebelahan dan berdempetan di jalanan kecil. Serunya, jenis makanan, harga, dan pelayanan yang ditawarkan sangat beraneka ragam.
Jadilah saya berwisata gastronomi kecil-kecilan.
Baru sampai langsung bersantap di restoran yakitori. Kecil, semi fast-food, dan cukup terjangkau. Yakitori itu sate-nya Jepang. Kalau di Indonesia biasanya sate hanya untuk daging sapi, kambing dan ayam, untuk yakitori bisa macam-macam. Saya akhirnya mencicipi sate jamur, sate sayap ayam, sate daging bebek, sate daging sapi dan keju, dan sate bakso ayam. Rasanya...ya mirip-mirip sate kecap. (Bumbu yakitori hanya kecap, tidak pakai bumbu kacang seperti sate kambing)
Untuk santap malam, saya mencicipi restoran Italia di Paris. Chez Alexandro. Restoran ini terletak di pusat kota, di jalan kecil yang penuh dengan berbagai restoran dan pub. Suasana di lingkungannya sangat ramai dan meriah! Manusia yang berjubel ditambah dengan hiasan luar restoran dengan lampu dan gaya macam-macam membuat saya mengerti kenapa "kehidupan malam" di Paris sangat terkenal.
Chez Alexandro benar-benar tipikal restoran Paris. Sempit, penuh dengan ornamen personal yang menua, familiar dan hangat. Kursi dan mejanya penuh dengan guratan umur, terkesan usang dan antik. Setiap sudut ruangan berusaha digunakan semaksimal mungkin, membuat meja dan kursi diatur saling berdempetan, dan sudut sempit di bawah tangga masih digunakan untuk satu meja. Tidak jarang antar konsumer bisa beradu sikut. Untuk duduk di atau keluar dari kursi dekat tembok, meja harus digeret-geret dahulu untuk memberikan ruangan gerak dan yang lain harus berdiri.
Acara makan jadi ajang latihan mengendalikan organ tubuh. Sikut harus menempel ke sisi badan, kaki harus diatur sedemikian rupa untuk tidak menendang kaki teman yang duduk di depan saya, mengambil minuman atau garam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati jangan sampai menyenggol botol anggur. Saya merasa sesak.
Dalam hati saya ngedumel, pantas saja orang Perancis senang makan malam tête-à-tête (arti literal: kepala beradu kepala, maksudnya: makan malam romantis dengan candle light dinner, dimana sang pasangan bergenggaman tangan dan memelototi si pasangan dengan lekat ketika kepala hampir beradu), wong memang mejanya kecil banget, cukup mencondongkan badan sedikit ke depan, kepala sudah beradu dengan kepala sang pacar.
Satu hal yang sangat berbeda dengan Jenewa adalah fleksibelnya waktu makan di Paris. Ada pelanggan yang datang jam 11 malam, dan masih dilayani. Kalau di Jenewa, sudah diusir dengan halus. Di Jenewa jam makan sangat teratur dan restoran yang buka setiap saat sangat jarang, paling restoran siap saji atau restoran Asia. Di Jenewa, jangan harap bisa santap siang setelah jam 2 siang dan makan malam setelah jam 10 malam di restoran. Di Paris, kita bisa makan siang sampai jam 4 sore dan makan malam sampai jam 11.30 malam. Restoran tetap akan melayani. Satu hal yang sangat saya hargai.
Wisata gastronomi saya pun berlanjut dari hari ke hari selama saya di sana. Selama 4 hari kunjungan saya di sana, selain masakan Jepang dan Italia, saya sempat mencicipi masakan Libanon, Cina, India, dan Yunani. Lucunya, tidak sekali pun kami ke restoran Perancis. Lagipula, seperti Xaf bilang, saya kemungkinan besar tidak akan suka dengan masakan Perancis yang penuh dengan saus krim.
Satu lagi, saya sempet mencicipi crêpe dengan saus Nutella. Enak banget! Crêpe itu makanan ringan yang cukup populer di Paris, semacam serabi tipis. Kalau disamakan dengan Indonesia mungkin semacam gorengan. Crêperie ada di berbagai sudut kota, dan kita bisa dengan santai menikmati crêpe sambil jalan.
Untuk yang ingin mencicipi coklat panas, harus mampir ke Angelina. Saya sudah sering mencicipi segelas coklat panas di Swiss, dan saya menurut saya segelas coklat panas di Angelina benar-benar jauh lebih nikmat! Coklat panas yang sangat kental, dibuat dari coklat yang dilelehkan, disajikan dengan krim natural. Nikmat! Tapi sangat mengenyangkan. Saya bahkan tidak bisa menghabiskan satu gelas. Apalagi ketika si coklat panas ditemani dengan kue coklat tiga lapis... :)
Paris, seni, dan museum
Saya ini tidak mengerti seni sama sekali, tapi dari dulu kepengen banget bisa masuk ke Musée Louvre. Gara-gara si Da Vinci Code sebenarnya. :)
Sampai di Louvre, saya tercengang. Besar banget!
Gedungnya sendiri bisa dibilang sebagai karya seni. Piramida pintu masuk sungguh menakjubkan, apalagi di malam hari. Masuk ke dalam, pengunjung dikumpulkan ke ruangan penerimaan, Napoleon Hall, pas di bawah piramida. Dari situ, kita bisa milih mau ke ruangan galeri yang mana.
Galeri dibagi ke dalam tiga bagian besar:
1. Sayap Richelieu, dengan koleksinya:
Lukisan perancis abad 14-17
Lukisan Jerman, Flemish dan Belanda serta Northern Schools
Abad Pertengahan, Renaissance, dan Seni dekoratif abada 17 dan 19
Apartemen Napoleon III
Patung karya seniman Perancis
Mesopotami dan Iran kuno
Seni Islam
2. Sayap Sully, dengan koleksinya:
Lukisan perancis abad 17, 18 dan 19
Gambar dan sketsa pastel abad 17, 18 dan 19
Seni dekoratif abad 17 dan 18
Yunani, Etruscan, dan Romawi kuno
Mesir kuno (Pharao)
Iran, Arabia dan Levant kuno
Sejarah Louvre dan jaman pertengahan Louvre
3. Sayap Denon, dengan koleksinya:
Lukisan seniman Itali dan Spanyol
Lukisan seniman perancis abad 19
Galery Apollo dan perhiasan kerajaan
Patung karya seniman Itali, Spanyol dan Eropa Utara
Yunani, Etruscan, dan Romawi kuno
Roman Egypt, Coptic Egypt
Seni Afrika, Asia, Oceania dan Amerika
Kebayang dong banyaknya karya seni yang harus dikagumi. Sialnya, kami datang agak terlambat dan hanya punya waktu sekitar 4 jam untuk mengunjungi Louvre. Paling tidak saya bisa mengunjungi bagian mesir kuno, Mesopotamia, seni Islam, dan tentunya bagian lukisan seniman Itali dimana terdapat lukisan tenar Monalisa.
Tapi memang tidak akan bisa mengunjungi Louvre hanya dalam satu hari. Paling tidak diperlukan waktu berbulan-bulan untuk benar-benar bisa menghayati karya seni yang terkumpul di salah satu museum terbesar di dunia itu.
Selain indah dan uniknya karya seni yang terpampang di hampir setiap sudut ruangan, saya juga sangat tertarik akan pengorganisasian museum tersebut.
Louvre sangat ramai! Dari yang turis biasa, kelompok turis, kelompok pelajar dengan guru sejarahnya masing-masing, dan pelajar seni yang membuat sketsa di pojokan museum. Seperti yang saya bilang ke Xaf, Louvre adalah museum yang paling bising yang pernah saya kunjungi.
Yang paling menarik bagi saya adalah kelompok pelajar yang sedang dalam kunjungan museum. Lucu sekali melihat kelompok anak TK dengan gurunya masing-masing mencoba untuk menghargai karya seni dan mendengarkan penjelasan gurunya. Sistem pintar yang diciptakan oleh museum adalah sebuah buku penuh dengan gambar objek penting atau menarik untuk anak-anak kecil tersebut yang dikalungkan ke leher setiap anak. Berhubung mereka mungkin tidak akan tertarik akan unik dan antiknya suatu karya seni, mereka dipancing untuk konsentrasi dengan tugas menemukan obyek-obyek tertentu. Jadi di setiap ruangan, setiap anak harus berusaha untuk menemukan obyek tertentu, entah patung, lukisan, atau obyek peralatan rumah tangga. Kemudian sang guru akan menjelaskan pentingnya obyek tersebut.
Untuk kelompok pelajar remaja, biasanya para guru akan memilih obyek penting dan kemudian menerangkan dengan detil. Di mana-mana akan terlihat segerombolan pelajar duduk di lantai mendengarkan penjelasan guru masing-masing akan obyek di depan mereka. Ramai sekali.
Satu hal penting, berhubung karya seni itu tidak ternilai dan umurnya sudah berabad-abad, ada beberapa peraturan yang harus ditaati oleh para pengunjung. Pertama, tidak boleh menyentuh karya seni, termasuk patung dan obyek seni yang terbuat dari batu sekalipun.
Di samping berbagai obyek ada tulisan
"do not touch works of art" yang di beberapa bagian terhapus.
Penjelasan pihak museum:
"Works of art are unique and fragile. They have survived centuries and must be preserved for future generations. Touching, even lightly, a painting, object, sculpture or piece of furniture causes damage. Especially when this gesture is repeated thousands of times. Help us protect our common heritage."
Kedua, sangat tidak dianjurkan untuk memotret dengan flash. Di beberapa galeri lukisan, memotret bahkan dilarang sama sekali. Jadi sewaktu seorang turis meminta saya untuk memotret dia dan temannya di salah satu galeri lukisan saya pun dengan agak ketus menolak:
"It is forbidden to take pictures here"
Si turis kaget dan menjawab, "I think we just cannot use the flash."
Saya masih keukeuh, "Nope, everything is forbidden!" Dan ngeloyor meninggalkan si turis terbengong-bengong.
Ironisnya, lima langkah dari tempat si turis mejeng sama temannya, ada banner besar yang memperingatkan kalau photo dan video dilarang di galeri.
Xaf cuma senyum-senyum simpul melihat sikap tanpa kompromi saya akan peraturan, dan komentar, "Are you from the police?"
Jadi, kalau saya boleh menyarankan, ketika masuk museum atau gedung-gedung penting lainnya, perhatikan peraturan. Flash kamera bisa merusak karya seni yang sudah sangat tua. Lagipula dengan pengaturan cahaya di galeri, poto yang dihasilkan tidak akan memuaskan! Lebih baik membeli buku khusus yang menampilkan koleksi tersebut. Kita pun bisa menikmati keindahan karya seni tersebut tanpa harus ikut andil merusak warisan bersama baik dengan sengaja atau tidak.
Restoran dan budaya gastronomi
Seperti yang saya bilang, di Paris restoran dan kafe bertebaran di mana-mana. Saling bersebelahan dan berdempetan di jalanan kecil. Serunya, jenis makanan, harga, dan pelayanan yang ditawarkan sangat beraneka ragam.
Jadilah saya berwisata gastronomi kecil-kecilan.
Baru sampai langsung bersantap di restoran yakitori. Kecil, semi fast-food, dan cukup terjangkau. Yakitori itu sate-nya Jepang. Kalau di Indonesia biasanya sate hanya untuk daging sapi, kambing dan ayam, untuk yakitori bisa macam-macam. Saya akhirnya mencicipi sate jamur, sate sayap ayam, sate daging bebek, sate daging sapi dan keju, dan sate bakso ayam. Rasanya...ya mirip-mirip sate kecap. (Bumbu yakitori hanya kecap, tidak pakai bumbu kacang seperti sate kambing)
Untuk santap malam, saya mencicipi restoran Italia di Paris. Chez Alexandro. Restoran ini terletak di pusat kota, di jalan kecil yang penuh dengan berbagai restoran dan pub. Suasana di lingkungannya sangat ramai dan meriah! Manusia yang berjubel ditambah dengan hiasan luar restoran dengan lampu dan gaya macam-macam membuat saya mengerti kenapa "kehidupan malam" di Paris sangat terkenal.
Chez Alexandro benar-benar tipikal restoran Paris. Sempit, penuh dengan ornamen personal yang menua, familiar dan hangat. Kursi dan mejanya penuh dengan guratan umur, terkesan usang dan antik. Setiap sudut ruangan berusaha digunakan semaksimal mungkin, membuat meja dan kursi diatur saling berdempetan, dan sudut sempit di bawah tangga masih digunakan untuk satu meja. Tidak jarang antar konsumer bisa beradu sikut. Untuk duduk di atau keluar dari kursi dekat tembok, meja harus digeret-geret dahulu untuk memberikan ruangan gerak dan yang lain harus berdiri.
Acara makan jadi ajang latihan mengendalikan organ tubuh. Sikut harus menempel ke sisi badan, kaki harus diatur sedemikian rupa untuk tidak menendang kaki teman yang duduk di depan saya, mengambil minuman atau garam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati jangan sampai menyenggol botol anggur. Saya merasa sesak.
Dalam hati saya ngedumel, pantas saja orang Perancis senang makan malam tête-à-tête (arti literal: kepala beradu kepala, maksudnya: makan malam romantis dengan candle light dinner, dimana sang pasangan bergenggaman tangan dan memelototi si pasangan dengan lekat ketika kepala hampir beradu), wong memang mejanya kecil banget, cukup mencondongkan badan sedikit ke depan, kepala sudah beradu dengan kepala sang pacar.
Satu hal yang sangat berbeda dengan Jenewa adalah fleksibelnya waktu makan di Paris. Ada pelanggan yang datang jam 11 malam, dan masih dilayani. Kalau di Jenewa, sudah diusir dengan halus. Di Jenewa jam makan sangat teratur dan restoran yang buka setiap saat sangat jarang, paling restoran siap saji atau restoran Asia. Di Jenewa, jangan harap bisa santap siang setelah jam 2 siang dan makan malam setelah jam 10 malam di restoran. Di Paris, kita bisa makan siang sampai jam 4 sore dan makan malam sampai jam 11.30 malam. Restoran tetap akan melayani. Satu hal yang sangat saya hargai.
Wisata gastronomi saya pun berlanjut dari hari ke hari selama saya di sana. Selama 4 hari kunjungan saya di sana, selain masakan Jepang dan Italia, saya sempat mencicipi masakan Libanon, Cina, India, dan Yunani. Lucunya, tidak sekali pun kami ke restoran Perancis. Lagipula, seperti Xaf bilang, saya kemungkinan besar tidak akan suka dengan masakan Perancis yang penuh dengan saus krim.
Satu lagi, saya sempet mencicipi crêpe dengan saus Nutella. Enak banget! Crêpe itu makanan ringan yang cukup populer di Paris, semacam serabi tipis. Kalau disamakan dengan Indonesia mungkin semacam gorengan. Crêperie ada di berbagai sudut kota, dan kita bisa dengan santai menikmati crêpe sambil jalan.
Untuk yang ingin mencicipi coklat panas, harus mampir ke Angelina. Saya sudah sering mencicipi segelas coklat panas di Swiss, dan saya menurut saya segelas coklat panas di Angelina benar-benar jauh lebih nikmat! Coklat panas yang sangat kental, dibuat dari coklat yang dilelehkan, disajikan dengan krim natural. Nikmat! Tapi sangat mengenyangkan. Saya bahkan tidak bisa menghabiskan satu gelas. Apalagi ketika si coklat panas ditemani dengan kue coklat tiga lapis... :)
Paris, seni, dan museum
Saya ini tidak mengerti seni sama sekali, tapi dari dulu kepengen banget bisa masuk ke Musée Louvre. Gara-gara si Da Vinci Code sebenarnya. :)
Sampai di Louvre, saya tercengang. Besar banget!
Gedungnya sendiri bisa dibilang sebagai karya seni. Piramida pintu masuk sungguh menakjubkan, apalagi di malam hari. Masuk ke dalam, pengunjung dikumpulkan ke ruangan penerimaan, Napoleon Hall, pas di bawah piramida. Dari situ, kita bisa milih mau ke ruangan galeri yang mana.
Galeri dibagi ke dalam tiga bagian besar:
1. Sayap Richelieu, dengan koleksinya:
Lukisan perancis abad 14-17
Lukisan Jerman, Flemish dan Belanda serta Northern Schools
Abad Pertengahan, Renaissance, dan Seni dekoratif abada 17 dan 19
Apartemen Napoleon III
Patung karya seniman Perancis
Mesopotami dan Iran kuno
Seni Islam
2. Sayap Sully, dengan koleksinya:
Lukisan perancis abad 17, 18 dan 19
Gambar dan sketsa pastel abad 17, 18 dan 19
Seni dekoratif abad 17 dan 18
Yunani, Etruscan, dan Romawi kuno
Mesir kuno (Pharao)
Iran, Arabia dan Levant kuno
Sejarah Louvre dan jaman pertengahan Louvre
3. Sayap Denon, dengan koleksinya:
Lukisan seniman Itali dan Spanyol
Lukisan seniman perancis abad 19
Galery Apollo dan perhiasan kerajaan
Patung karya seniman Itali, Spanyol dan Eropa Utara
Yunani, Etruscan, dan Romawi kuno
Roman Egypt, Coptic Egypt
Seni Afrika, Asia, Oceania dan Amerika
Kebayang dong banyaknya karya seni yang harus dikagumi. Sialnya, kami datang agak terlambat dan hanya punya waktu sekitar 4 jam untuk mengunjungi Louvre. Paling tidak saya bisa mengunjungi bagian mesir kuno, Mesopotamia, seni Islam, dan tentunya bagian lukisan seniman Itali dimana terdapat lukisan tenar Monalisa.
Tapi memang tidak akan bisa mengunjungi Louvre hanya dalam satu hari. Paling tidak diperlukan waktu berbulan-bulan untuk benar-benar bisa menghayati karya seni yang terkumpul di salah satu museum terbesar di dunia itu.
Selain indah dan uniknya karya seni yang terpampang di hampir setiap sudut ruangan, saya juga sangat tertarik akan pengorganisasian museum tersebut.
Louvre sangat ramai! Dari yang turis biasa, kelompok turis, kelompok pelajar dengan guru sejarahnya masing-masing, dan pelajar seni yang membuat sketsa di pojokan museum. Seperti yang saya bilang ke Xaf, Louvre adalah museum yang paling bising yang pernah saya kunjungi.
Yang paling menarik bagi saya adalah kelompok pelajar yang sedang dalam kunjungan museum. Lucu sekali melihat kelompok anak TK dengan gurunya masing-masing mencoba untuk menghargai karya seni dan mendengarkan penjelasan gurunya. Sistem pintar yang diciptakan oleh museum adalah sebuah buku penuh dengan gambar objek penting atau menarik untuk anak-anak kecil tersebut yang dikalungkan ke leher setiap anak. Berhubung mereka mungkin tidak akan tertarik akan unik dan antiknya suatu karya seni, mereka dipancing untuk konsentrasi dengan tugas menemukan obyek-obyek tertentu. Jadi di setiap ruangan, setiap anak harus berusaha untuk menemukan obyek tertentu, entah patung, lukisan, atau obyek peralatan rumah tangga. Kemudian sang guru akan menjelaskan pentingnya obyek tersebut.
Untuk kelompok pelajar remaja, biasanya para guru akan memilih obyek penting dan kemudian menerangkan dengan detil. Di mana-mana akan terlihat segerombolan pelajar duduk di lantai mendengarkan penjelasan guru masing-masing akan obyek di depan mereka. Ramai sekali.
Satu hal penting, berhubung karya seni itu tidak ternilai dan umurnya sudah berabad-abad, ada beberapa peraturan yang harus ditaati oleh para pengunjung. Pertama, tidak boleh menyentuh karya seni, termasuk patung dan obyek seni yang terbuat dari batu sekalipun.
Di samping berbagai obyek ada tulisan
"do not touch works of art" yang di beberapa bagian terhapus.
Penjelasan pihak museum:
"Works of art are unique and fragile. They have survived centuries and must be preserved for future generations. Touching, even lightly, a painting, object, sculpture or piece of furniture causes damage. Especially when this gesture is repeated thousands of times. Help us protect our common heritage."
Kedua, sangat tidak dianjurkan untuk memotret dengan flash. Di beberapa galeri lukisan, memotret bahkan dilarang sama sekali. Jadi sewaktu seorang turis meminta saya untuk memotret dia dan temannya di salah satu galeri lukisan saya pun dengan agak ketus menolak:
"It is forbidden to take pictures here"
Si turis kaget dan menjawab, "I think we just cannot use the flash."
Saya masih keukeuh, "Nope, everything is forbidden!" Dan ngeloyor meninggalkan si turis terbengong-bengong.
Ironisnya, lima langkah dari tempat si turis mejeng sama temannya, ada banner besar yang memperingatkan kalau photo dan video dilarang di galeri.
Xaf cuma senyum-senyum simpul melihat sikap tanpa kompromi saya akan peraturan, dan komentar, "Are you from the police?"
Jadi, kalau saya boleh menyarankan, ketika masuk museum atau gedung-gedung penting lainnya, perhatikan peraturan. Flash kamera bisa merusak karya seni yang sudah sangat tua. Lagipula dengan pengaturan cahaya di galeri, poto yang dihasilkan tidak akan memuaskan! Lebih baik membeli buku khusus yang menampilkan koleksi tersebut. Kita pun bisa menikmati keindahan karya seni tersebut tanpa harus ikut andil merusak warisan bersama baik dengan sengaja atau tidak.