<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

another try

Saturday, May 20, 2006

Retreat

Another identity crisis.

I never thought that writing can be such an identity revealing (searching?) activity.

You are what you write?

Just feeling numb and disoriented.

A professor said one day, you write to an audience. Choose your audience and then you got your writing orientation. But when the audience is a frentic mind with no interest nor being an interesting one, the retrospective reinterpretation can be a painful path to take.

So, let me retrieve myself behind my so darling defensive wall.

...

Saturday, May 13, 2006

Bahasa saya, bahasa kamu

Ah..seandainya ada mesin waktu doraemon, saya ingin kembali ke tahun 1996. Kembali ke bangku kayu butut salah satu ruangan di ITB dan melingkari jurusan sastra dengan pensil 2B di lembaran formulir UMPTN.

Semakin lama saya berkutat dengan dunia ilmu politik dan memandangi berbagai tulisan tentang pemerintahan dan masyarakat, saya pun semakin jatuh cinta dengan yang namanya bahasa, atau politik bahasa untuk lebih tepatnya. Kalau yang cinta akan teori kelompok, pasti cinta juga akan politik bahasa. Politik bahasa karena bahasa diciptakan oleh manusia, untuk kepentingan manusia, dan berkembang bersama dengan manusia pencipta dan penggunanya. Terlepas dari ketidakaliman saya, saya percaya yang namanya ciptaaan pasti dilandasi oleh suatu ideologi atau tujuan. Begitu juga dengan bahasa.

Bahasa yang manusiawi tidak terlepas dari kebutuhan manusia akan sosialisasi dan ambisi manusia untuk menguasai yang lain. Sayang, terlalu sering bahasa dianggap sebagai normalitas, dan penggunaannya pun dilakukan tanpa dasar pemahaman. Bahasa dianggap sebagai paket kehidupan yang memang sudah dari sononya, dan ketika suatu bahasa disisipi oleh ideologi tertentu, para penggunanya pun menelan si ideologi tanpa mengecap terlebih dahulu.

"Ahh...sok intelek loe pit. Kok cara orang ngomong aja eloe pikirin."

"Iya lah gue pikirin, wong cara orang ngomong itu sangat mencerminkan identitas orang tersebut. Baik identitas yang memang melekat, yang ingin diperlihatkan, ataupun identitas yang sedang dia bangun."

Terlalu abstrak? Saya kasih contoh.

Pasti kuping anda sekalian yang tinggal di kota besar sudah terlalu sering mendengar kalimat yang setengah ular setengah belut. Setengah Indonesia setengah Inggris. Para novel remaja ringan pun dipenuhi oleh gaya berbicara seperti ini. Fenomena apakah ini? Fenomena proses pemelukan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua? Saya pesimis.

Paling pantas disebut fenomena pembentukan suatu kelompok yang menganggap dirinya pintar dan berpengalaman dalam bertutur bahasa. Kan keren kalau menyisipkan kata-kata dalam bahasa Inggris, biar kelihatan cerdas dan lebih tahu begitu.

Ahh..ideologi pembentukan citra diri metropolitan. Muak saya.

Ilmu yang setengah-setengah lebih buruk daripada tidak tahu sama sekali. Setengah ini setengah itu, tapi tidak ada yang dikuasai sama sekali. Untuk apa? Yang ada malah kerancuan. Pembelajaran bahasa pun jadi kacau, pengucapan tidak diindahkan, dan otak pun tidak mau diajak untuk total dalam berbahasa.

Sebelum ada yang protes, kritik ini sudah saya ajukan ke diri saya sendiri. Dan saya sudah merasakan ruginya berbahasa setengah-setengah, atau kalau pakai istilahnya macchi, franco-anglais. Kemampuan bahasa Inggris saya menurun dengan drastis, dan kadang kosa kata bahasa Inggris lenyap tergantikan oleh bahasa Perancis. Malu sekali rasanya ketika saya harus berbicara dalam bahasa Inggris dan menyisipkan kosa kata dalam bahasa Perancis. Sedangkan kemampuan bahasa Perancis saya sama sekali tidak bisa dibanggakan.

Yang lebih parah lagi, sikap pembentukan kelompok menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris memberikan citra buruk bagi bahasa Inggris sendiri. Bahasa Inggris dicap sebagai bahasanya orang sok, bahasa mereka yang seperti kacang lupa sama kulitnya. Kacau sudah. Bahasa pun tercoreng oleh penggunaannya yang dilandasi ideologi tertentu.

Salah satu anggota milis yang saya ikuti pernah melakukan percobaan sosiologi. Dia dan temannya bercakap-cakap dalam bahasa Inggris di dalam sebuah angkutan kota. Ternyata benar firasat dia, penumpang lain pun kemudian berkomentar sinis akan percakapan bahasa Inggris mereka. Dengan menggunakan bahasa daerah minang, penumpang lain mengutuk si anggota milis ini sebagai orang yang sok. Untungnya (?) si peneliti nekat ini bisa berbahasa minang, jadi mengertilah dia akan kutukan penumpang lainnya tersebut.

Sikap antipati seperti ini yang menarik bagi saya. Kenapa sampai berbahasa Inggris diidentikkan dengan keangkuhan? Ya jawabannya ada pada penggunaannya yang asal-asalan tadi. Pertanyaan kedua, kenapa masyarakat awam sampai antipati dengan bahasa Inggris? Jawabannya, ketidaktahuan akan berbuah ketakutan, ketakutan akan berbuah kebencian. Jadi bahasa Inggris dibenci karena masyarakat umum tidak bisa mengerti bahasa Inggris, sedangkan pengetahuan bahasa Inggris dianggap hanya bisa didapat oleh mereka yang memiliki uang dan sarana, para kaum elit.

Kondisi struktural yang membatasi penyebaran bahasa Inggris dan penggunaannya dalam proses pembentukan kelompok para orang keren, membuat bahasa Inggris dibenci tapi ingin dimiliki. Kontradiksi, yang menurut saya, patut disadari oleh mereka pembenci dan pencinta bahasa Inggris.

Jadi jangan heran ketika saya langsung melotot dan tersinggung berat ketika salah satu teman saya berkomentar,
"Ah Pit, eloe lama di Eropa kok cara ngomongnya masih sama aja sih?" (tidak kebarat-kebaratan, red)
Langsung saya semprot,
"Eloe mau gue ngomong pake bahasa Perancis apa?!"

Saya cinta bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, jadi saya pun mencoba menghargai keduanya dalam penuturan saya. Lagipula saya menolak untuk dimasukkan ke dalam golongan para gadis/wanita metropolitan, saya tetap sadar kalau saya adalah orang kampung.

Lain lagi halnya dengan mereka yang mencampuradukkan kedua bahasa karena sudah terbiasa. Ini lebih gawat lagi, apalagi kalau mereka mengidap kebiasaan ini secara tidak sadar. Sadarkah mereka kalau kebiasaan ini bisa membiasakan otak mereka untuk rancu dalam berbahasa? Kerancuan yang kadang menghambat perkembangan kemampuan berbahasa mereka. Bagaimana tidak menghambat kalau otak tidak dipaksa untuk meletakkan kosa kata dalam bahasa yang berbeda ke dalam kotak yang berbeda pula?

Saya ambil contoh diri saya sendiri saja. Pernah sekali waktu saya belajar bahasa Perancis dan Jepang secara aktif (les, red) dalam waktu yang bersamaan, dan tetap belajar bahasa Inggris secara rutin. Saya sering merasa kebingungan ketika harus mengingat kosa kata dalam setiap bahasa. Otak saya terkadang letih dan menjadi 'lupa'. Nah, kalau saya menyerah pada keletihan saya dan hanya menggunakan kosa kata yang terlintas di kepala, kosa kata yang saat itu 'terlupakan' akan benar-benar terkubur dan terlupakan.

Untuk mereka yang sadar dalam berbicara campur-campur sih masih mendingan, namanya kan pilihan. Walau pilihannya tersebut didasarkan oleh satu ideologi yang berbeda (dari keren-kerenan), tetap saja mereka akan dipandang termasuk ke dalam kelompok tersebut. Pada akhirnya kemungkinan akan ikut memperburuk citra bahasa Inggris.

Atau ada mereka yang sudah lama melanglang buana dan menggunakan bahasa Inggris sehari-hari. Kosa kata Indonesia pun sudah usang dan terlupakan. Mereka kadang lebih nyaman berbicara dalam bahasa Inggris atau campur aduk seperti gado-gado. Saya tidak patut protes dalam hal ini. Tapi sayangnya tercorengnya bahasa Inggris pun membuat mereka ikut tercoreng.

Generalisasi. Pilihan mudah dalam memahami mereka yang berbeda. Hasilnya, ya tetap saja pelabelan sebuah kelompok, terlepas apakah pelabelan itu tepat sasaran atau tidak.

Tapi jangan salah, tidak hanya bahasa Inggris yang ditempeli ideologi tertentu dalam penggunaannya. Bahasa daerah, bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Latin juga sama.

-bersambung-

Friday, May 12, 2006

Kebaya vs kimono

Ada yang tahu persamaannya kebaya dan kimono? Iya, sama-sama pakaian tradisional. Tapi ada yang lebih dari itu, kedua pakaian ini sama-sama terkondisikan oleh gaya hidup tertentu.

Kok bisa?

Ide iseng ini diawali ketika saya jalan sambil keserimpet kain di trotoar arah ke kantor. Melihat cuaca yang cerah, merasakan suhu yang hangat, saya pun jadi kecentilan, ingin tampil beda. Apalagi yang bisa membuat saya tampil lebih beda dari memakai kain batik tradisional bikinan kampung halaman? Keputusan saya untuk berbatik ria kemudian membuat saya sadar bahwa gaya hidup saya di sini tidak batik-friendly.

Bagi yang pernah harus memakai kebaya dan kain batik pasti tahu kalau kain batik biasanya dililitkan memeluk tubuh dengan erat. Dan biasanya si pemakai batik hanya diberi sedikit ruang gerak untuk berjalan. Jadi, pemakaian batik akan mengharuskan gaya berjalan yang cukup khas. Langkah yang pendek-pendek dan goyang pinggul yang serasi dengan langkah pendek tersebut. Kalau enggak, pasti kelihatannya ndut-ndutan. Berjalan cepat pun tidak mustahil bagi para pemakai batik kawakan, tapi bagi yang amatir seperti saya, biasanya saya akan langsung mengangkat sarung batik yang saya pakai sampai ke dengkul untuk kemudian melangkah dengan langkah biasa yang leluasa.

Inilah yang terjadi pada diri saya di hari yang cerah itu. Terlambat seperti biasanya, saya pun terseok-seok menggeret kaki saya yang terbalut rok panjang batik. Saya pun jadinya berlari-lari kecil ndut-ndutan. Untung tidak ada orang Indonesia di sekitar, kalau tidak, lakonan saya itu pasti sudah mengundang senyum simpul. Gaya hidup saya di sini, yang mengharuskan saya untuk berjalan cepat atau malah lari-lari tidak memungkinkan bagi saya untuk tampil cantik dengan berbatik ria setiap hari. Saya pun kemudian menggerutu, pantas saja wanita jawa kalau berjalan sangat pelan dan gemulai, wong pakaiannya mengharuskan mereka untuk begitu.

Di tengah-tengah dumelan saya, tiba-tiba saya berpikir, adakah hubungan antara gaya hidup dan norma dengan pakaian? Lalu saya pun teringat akan berbagai film samurai yang saya tonton berulang-ulang. Di dalam film-film tersebut, para wanita kelas menengah ke atas (istri para samurai dan daimyo) gerakannya sangat pelan dan tidak bersuara. Para pelayan pun seakan menari dalam lenggokan langkahnya yang dibatasi oleh kimono mereka.

Sewaktu saya bertanya sama Xaf (pengagum dan pengamat budaya Jepang) kenapa para wanita tersebut sangat lamban, Xaf pun dengan sabar menerangkan bahwa di jaman tersebut, gerakan cepat dari seorang perempuan berkelas menandakan ketidak sopanan perempuan tersebut. Para wanita tersebut, dalam setiap gerakannya, memang diwajibkan untuk mempertahankan keanggunannya dengan kelembutan dan pelannya gerakan mereka.

Yang lebih menarik lagi, kimono yang mereka kenakan juga mendukung norma sosial ini. Salah satu reportase tentang kehidupan para geisha (not the Memoirs of Geisha that does not cover well the life of geisha) menerangkan bagaimana bentuk kimono dan lapisannya mengkondisikan cara berjalan wanita. Ditambah dengan selop tradisional mereka yang sangat antik. Para wanita pun terkondisikan untuk berjalan dengan kaki yang mengarah agak ke dalam, dengan langkah pendek dimana satu kaki ditempatkan di depan kaki yang lainnya.

Dalam hal ini, kimono pun sama dengan kebaya, dimana para pemakainya harus berjalan dan bergerak dengan cara tertentu.

Saya pun jadi berpikir kembali, kalau kimono mendukung norma sosial dimana kelambatan gerak seorang wanita dianggap sebagai bentuk keanggunan, apakah bentuk khas kebaya dan kain batik juga mendukung suatu norma?

Kalau mengingat satu sifat perempuan Indonesia yang sangat didambakan, lemah-gemulai, tidak mustahil rasanya kalau kebaya mencerminkan suatu norma. Paling tidak norma tentang bagaimana seorang perempuan harus bersikap dan bertindak, dan bagaimana keanggunan dan sensualitas seorang perempuan dapat ditampilkan.

Saya bukan orang Jawa, dan saya bukan seorang antropolog yang meneliti hal ini, tapi dari pengamatan saya sehari-hari saya menemukan berbagai norma dan arti yang tersembunyi dari sehelai kebaya dan kain batik. Gerakan lemah gemulai teratur dalam tarian bedoyo menunjukkan bagaimana subtlety (Merci macchi pour la correction) dalam bergerak dipandang penting dan indah bagi mereka yang mampu menghargai seni kewanitaan ini (para kaum terpelajar atau aristokrat). Pemakaian kebaya dan batik yang menghargai dan memperindah lekuk tubuh seorang perempuan memperlihatkan suatu bentuk penghargaan akan sensualitas perempuan. Kebaya dan batik seakan berseru, I am a woman and I am proud of it.

Kebaya dan kimono pun tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tapi juga sebagai pembentuk identitas seorang perempuan dengan mengkondisikan bagaimana seorang perempuan patut melangkah dan bergerak.

Ada satu lagi persamaan antara kebaya dan kimono, sama-sama hemat.

Menurut Susan B. Hanley dalam bukunya yang berjudul Everyday Things in Premodern Japan: The Hidden Legacy of Material Culture, kosode atau yang lebih dikenal dengan kimono, sangat hemat karena tidak ada satu cm pun kain yang terbuang. Kimono terbuat dari kain panjang segi empat yang dipotong dalam 8 bagian segi empat. Berhubung kimono tidak memerlukan kancing dan bentuknya yang sangat sederhana dan loose, kimono bisa disesuaikan dengan badan si pemakai. Jadi kimono pun bisa dipakai bergantian oleh beberapa orang, tinggal menyesuaikan eratnya obi, ikatan pinggang. Hal ini tidak sama dengan pakaian a la Eropa yang dijahit untuk dan disesuaikan dengan satu orang saja.

Kimono pun bisa dihibahkan dengan gampang, karena tidak ada jahitan yang perlu dibongkar. Walau panjang kimono biasanya disesuaikan dengan tinggi si pemilik, biasanya kimono menyisakan panjang kain yang bisa dilipat di balik obi untuk memberikan panjang yang pas bagi si pemakainya. Ini artinya, orang yang tingginya tidak sama bisa memakai kimono yang sama, cukup menyesuaikan lipatan kainnya saja.

Sama dong dengan kain batik.

Kain batik bisa dihibahkan dari generasi ke generasi. Ukurannya yang standar sangat user-friendly, yang penting tinggal bagaimana melipat dan mengencangkan stagen. Kebaya tradisional pun jauh lebih gampang untuk dipermak daripada jas. Tinggal menambah lipitan pinggang atau memotong lengan kebaya.

Sayang tidak kalau budaya berpakaian yang cerdas ini dilarang oleh suatu undang-undang yang tidak bisa membedakan antara feminitas (sensualitas) dan vulgaritas? Menurut saya, tidak adil bila sensualitas perempuan dikambing hitamkan, ketika masyarakat sendirilah yang menuntut dan membentuk sensualitas tersebut.

Kursusan bahasa Inggris: Simple Present Tense

simple present tense vs present continuous tense?

i read a book vs i am reading a book?

simple present tense kebanyakan dipake untuk sesuatu yang habitual, menjelaskan kemampuan juga menjelaskan sesuatu yang dilakukan berulang-ulang *halah itu habitual yak?

intinya gini waktu bilang i read a book you don't necessarily bilang gitu pas lagi pegang bukunya. bisa aja pas ngobrol kamu sedang gendong koala.

lain kalo bilang i am reading a book. you are actually holding the book or the book is in front of you.

kayaknya gitu sih.

*koala dua laporan! selesai!*


Penjabaran dari nana, si sarjana bahasa Inggris, sangat cerdas dalam menjelaskan kapan kita harus menggunakan simple present tense. Hadiahnya entar ya 'na. Nabung dulu...hihihi. :)

Kuncinya adalah kebiasaan (kalau pakai istilahnya nana, habitual)

Jadi kalau kita punya suatu kebiasaan, membaca, mandi, makan, dsb, kita bisa memakai simple present tense.

Bertanya untuk hal kebiasaan pun artinya harus memakai simple present tense. Caranya, gampang. Tinggal tanya, "what do you do ...?" Isi titik-titiknya dengan keterangan waktu. Keterangan waktu dalam hal ini bukan cuma jam dan hari, tapi juga suatu keadaan. Ketika kita mau bertanya kebiasaan seseorang di waktu senggang tinggal gunakan, "what do you do in your leasure time?", dijawab, I read. Sama juga ketika kita mau bertanya apa yang dilakukan oleh seseorang tersebut di kondisi tertentu kita bisa menggunakan, "what do you do when you are bored?", dijawab, I watch a movie.

Intinya, arti present tense dalam hal ini bukan terbatas pada suatu saat dimana si pembicara menerangkan suatu kegiatan (saat ketika sedang berbicara) tapi lebih dalam rentang waktu yang luas, saat ini dalam suatu kehidupan.

Bukti dari rentang waktu luas dalam menggunakan simple present tense bisa dilihat dari pola pertanyaan, what do you do? Ada yang ingat apa arti lain dari "what do you do?" Kalimat tanya ini bisa digunakan untuk menanyakan profesi atau pekerjaan seseorang. Jadi, jawaban I write books atas pertanyaan seperti ini lebih mengacu kepada suatu profesi, penulis. Menghadapi pertanyaan seperti ini, kita juga bisa menjawab, I am a writer.

Ini artinya, simple present tense memiliki dua pola:
1. Subject + do/does + verb + object
Contoh: I study Political Science.

2. Subject + to be + noun / adjective
Contoh: I am a graduate student.

Arti lain dari kalimat yang menggunakan simple present tense adalah menggambarkan suatu kemampuan atau kegemaran. Kalimat I dance waltz sebagai jawaban pertanyaan Do you dance? adalah salah satu contoh dimana simple present tense digunakan untuk menggambarkan kemampuan seseorang.

Lain halnya ketika simple present tense digunakan untuk menjawab pertanyaan "what do you like?". Jawaban I like to swim, read and cook*, adalah contoh dimana simple present tense digunakan untuk menggambarkan kegemaran seseorang.

Jadi bagaimana membedakannya dong? Ya tinggal dilihat apakah kalimat tersebut adalah jawaban dari suatu pertanyaan. Kalau iya, tinggal lihat kalimat tanyanya, kita pun jadi mengerti fungsi kata kerja yang digunakan, apakah sebagai kebiasaan, kemampuan, profesi, atau kegemaran. Yang paling penting, dari uraian saya di atas, kita sekarang tahu, pertanyaan yang bagaimana yang harus dijawab dengan simple present tense.

* Perhatian, attention, warning!

Penggunaan kata like harus dilakukan dengan sangat hati-hati, karena kata ini memiliki dua arti yang sangat berbeda ketika digunakan dalam bentuk yang berbeda pula. Tergantung pemakaiannya, kata like bisa berarti suka atau seperti. Kerancuan kata ini sering jadi bahan olok-olok dan sudah menjadi salah satu humor langganan.

Bagi mereka yang tidak mau kena ejek, ingat-ingat saja peraturan di bawah ini.
- Untuk menggambarkan kegemaran gunakan:
Subject + do + like + object (ingat, dalam kalimat positif, do tidak dicantumkan)
Contoh: I like big dogs.

- Untuk menggambarkan kemiripan gunakan:
Subject + to be + like + object
Contoh: She is like my sister.

Sunday, May 07, 2006

Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran from Eric-Emmanuel Schmitt

English title: Monsieur Ibrahim and the flowers of the Koran.

Reading the book in its original version, French, I was mesmerized by the simplicity yet philosophicaly deep writing style of the author. The use of daily words in contemplating daily reality depicts superbly how poetic and ironic human life is.

This book is about a friendship of Moïse, a 13 year old rejected boy, with Monsieur Ibrahim, an old and solitude widow who runs a grocery store. Moïse who has been denied love and affection from his father, hates everything about life. On the contrary, Monsieur Ibrahim, in his solitude and sorrow, embraces a simple philosophy of life that allows him to appreciate everything in his simple life.

After a sequence of conversation exchange spread out in a year, one sentence each time they met, the two of them then become befriended and found refuge in each other.

As the story unfold, one can easily be captured by simple yet witty understandings on social life structure presented in the book. Like this short paragraph when Momo and Monsieur Ibrahim went to le joli Paris, celui des touristes:

- C'est fou, Monsieur Ibrahim, comme les vitrines de riches sont pauvres. Y a rien là-dedans.
- C'est ça, le luxe, Momo, rien dans la vitrine, rien dans le magasin, tous dans le prix.


- It's crazy Monsieur Ibrahim, how the window diplays in the expensive shops are so poor, there is nothing inside.
- That's luxury Momo, nothing in the window, nothing in the shop, everything is in the price.

...

- Ca doit être chouette d'habiter Paris.
- Mais tu habites Paris, Momo.
- Non, moi j'habite rue bleue.


- It must be nice to live in Paris.
- But you live in Paris, Momo.
- No, I live in rue Bleue.

This short and comic paragraph, succeed in portraying the inequality between "Paris" and the suburb. (Remember the recent event of banlieu riot?) Don't be fooled with the glamour of Parisienne life (or any big city life), behind it often exists a miserable social inequality.

Monsieur Ibrahim's wisdom does not stop there. Do you know how garbage bins show the wealth of its neighbourhood? Do you know how your nose can tell you so many things about religion? Do you know the best way to travel? Do you know the simplest way to be happy? If you wish to know, you can learn it from Monsieur Ibrahim.

You may also learn to love a woman, as Monsieur Ibrahim says:

Pour un homme normal ... ta beauté, c'est celle que tu trouves à la femme.

Saturday, May 06, 2006

Surat resmi? Dalam bahasa Inggris? Tolong...

Siapa yang pernah berteriak seperti itu di dalam hati, harap angkat tangan. *Angkat tangan tinggi-tinggi dengan semangat*

Menulis surat memang tidak gampang. Terserah mau surat cinta, surat ijin tidak masuk sekolah karena sakit, surat ijin lainnya, dan sebagainya. Saya ingat bagaimana kedua orang tua saya selalu mengerutkan dahi ketika harus menulis surat ijin bagi anak-anaknya. Bagi mereka yang suka meremehkan profesi sekretaris harus cepat berbenah diri. Surat menyurat memerlukan keahlian tersendiri, terlebih lagi untuk membuat surat resmi. Tugas sekretaris tidaklah segampang yang terlihat di permukaan.

Surat resmi memiliki format tertentu, dan menuntut penggunaan kalimat-kalimat khusus seperti kalimat pengantar dan penutup, kalimat ucapan terima kasih, permintaan maaf, permohonan, dan berbagai jenis kalimat lainnya. Dalam bahasa ibu saja saya sering kewalahan, bayangkan menderitanya saya sewaktu diharuskan menulis surat dalam bahasa Inggris. Prosesnya pasti dipenuhi menulis, hapus, menulis, hapus, kucek-kucek kepala, lihat-lihat contoh surat, kucek-kucek kepala, periksa kamus, dan akhirnya berteriak....I hate writing letters!

Dan ternyata saudara-saudari, saya bukan satu-satunya yang harus bergulat dengan kata dan kalimat setiap harus menulis surat. Beberapa teman kantor saya pun sering mengeluh ketika harus mengirim surat resmi dan penting kepada orang yang tidak dikenal. Biasanya kita pun jadi bergotong royong, menulis surat bersama-sama. Saling memberikan saran kalimat yang harus digunakan.

Jadi, pentingkah bagi kita untuk bisa menulis surat formal dan sopan dalam bahasa Inggris? Jawaban saya: Ya, sangat.

Dalam pekerjaan saya selama ini, saya sering harus berurusan dengan surat menyurat. Tidak hanya harus menulis, tapi juga harus menerima dan membalas berbagai surat. Saya terus terang cukup terkaget-kaget ketika menerima surat yang tidak bisa dikatakan resmi, terlebih lagi sopan. Padahal sudah jelas kalau tujuan surat-menyurat tersebut dalam suatu kerangka yang cukup formal. Biasanya yang menulis kurang indah ini adalah mereka yang bukan English speaker.

Contohnya:

hello there..my name is X,from Y. And i
have some question about Z:
1. When is the deadline?
2. What's the criteria?
3. can u send me the application form?
that's all for now,thanks


Sewaktu saya membaca surat ini, saya langsung geleng-geleng kepala. Ini sih namanya menjatuhkan citra diri sendiri. Mungkin maksudnya ingin menulis surat yang singkat dan padat, tapi yang ada malah tidak karuan. Saya pun hanya bisa mengelus dada dan membalas dengan sopan berbagai pertanyaan tersebut.

Kalau ada yang ngeles, "ahh..wajar dong. Kan namanya bukan bahasa Ibu"; bukan berarti penulis tersebut tidak bisa dan perlu berusaha untuk bisa menulis dengan baik dan benar. Untung yang membaca orangnya seperti saya, bukan English speaker dan baik hati (hayyah). Kalau yang membaca adalah English speaker yang sangat perhatian akan detil, surat seperti ini bisa langsung dihapus dan tidak akan dibalas. Si penulis pun jadi kehilangan kesempatan untuk melamar apapun itu yang ingin dia ajukan lamaran.

Oleh sebab itu, kali ini saya mau coba berbagi ilmu yang saya dapat dari penderitaan saya selama 2 tahun lebih dalam surat menyurat. Siapa tahu bisa bermanfaat. Kita tidak pernah tahu kapan kita harus menulis surat resmi dalam bahasa Inggris.

Tips pertama:
Selalu gunakan kalimat pengantar dan salam penutup yang baku.
Untuk kalimat pengantar cukup gunakan: Dear Mr. atau Dear Ms.
Bila kita tidak tahu siapa yang akan menerima surat tersebut, misalnya mengirim ke alamat email umum suatu instansi bisa gunakan Dear Madam, Dear Sir,

Untuk salam penutup, saya paling senang menggunakan Sincerely yours,, sangat sopan. Tapi kalau misalnya surat menyuratnya sudah berlangsung berulang kali dengan orang yang sama, kita bisa menggunakan Best regards, atau cukup dengan Best,

Tips kedua:
Jangan lupa untuk berterima kasih.
Kalimat penutup andalan saya biasanya: I am looking forward to hearing from you. Thank you very much.
Kalimat ini memberitahukan kepada sang penerima surat kalau kita menunggu jawabannya atas permintaan kita di surat, dan kita mengucapkan banyak terima kasih sebelumnya. Sangat sopan bukan?

Untuk mengucapkan terima kasih secara umum, bisa juga menggunakan: Thank you for your kind help.

Tips ketiga:
Memohonlah dengan sopan.
Caranya gampang sekali, cukup dengan menggunakan kalimat berpola: I will be very grateful if you could ... Tinggal isi titik-titiknya dengan permohonan yang ingin diajukan. Sopan dan langsung ke tujuan.

Atau contoh dari koala manolo (lihat komentar), If you could ..., it would be most appreciated. Isi titik-titiknya dengan permintaan.

Tips keempat:
Jangan pernah menggunakan singkatan, simbol pengganti kata, atau kata yang bernuansa non-formal.
Jadi tulislah it is, bukan it's. Jangan menulis a la ABG dengan menggunakan 4 untuk for (saya pernah menerima surat yang menggunakan ini. Hampir jatuh dari kursi rasanya) atau u untuk you; dan tulislah thank you dengan baik dan benar.

Tips kelima:
Tulislah nama dengan lengkap. Kalau bisa cantumkan afiliasi di bawah nama. Tanda tangan seperti ini sangat penting, apalagi bila kita menulis surat dalam kapasitas kita sebagai pegawai kantor tertentu.

Tips keenam:
Gunakan huruf besar dan tanda baca dengan baik. Huruf kecil memang imut, tapi dalam surat lebih penting menunjukkan kemampuan kita dalam menggunakan tata bahasa dengan baik dan benar, daripada menunjukkan jiwa kita yang mencintai keunikan.

Kalau kita menggunakan tips singkat ini kepada contoh surat di atas, maka hasilnya menjadi sebagai berikut:

Dear Madam, Dear Sir,

I am X, from Y. I am interested in Z.

I will be very grateful if you could inform me the application deadline and eligibility. I wonder if you could also send me the application form. If it is not possible, I will be thankful if you could inform me where I can find it.

I am looking forward to hearing from you. Thank you very much.

Sincerely yours,

X


Bagaimana? Berbeda bukan?

Tetap singkat dan padat, tapi lebih formal dan sopan. Sang penerima surat pun akan merasa tertuntut untuk menjawab surat seperti ini. Paling tidak dalam kasus saya. :)

P.S. Contoh surat dari nana a.k.a Koala Manolo di bawah juga cantik sekali. Patut untuk disimpan dalam arsip dan digunakan setiap saat ketika dibutuhkan. :)

Wednesday, May 03, 2006

Dream on

Last night I had a dream. A dream seeing myself writing a book about a story, with me as character, spectator, and creator; while having the story happening around me.

I still can see the images inside my head now (yup...I am one of those unfortunate people who can remember their dreams in detail) and can see how one can make interesting story out of it.

Should I write it down now? Or should I let it to fade away?

Is it a sign that one day I can actually fulfil my old time dream? To be a writer of a story that doesn't have 'thesis sign' all over the place.

Or is it just another sign that I shouldn't eat too many cookies before sleeping nor read too many novels at the same time? :)

Tuesday, May 02, 2006

Comments : Inside Man

Two words (thanks to reno for the correction) to desribe this movie: excellent entertainment.

Having The Negotiator in mind, I was happily surprised with the movie. If you are waiting for a gloomy, hard story depicting "serious" negotiation between the good guys and the bad guys, you'd be as surprised as I was. It's a thriller indeed. It's about negotiation, true, but with side-kicks and black humour. The combination of thriller and comedy is refreshing. This thriller does not only make your heart throbbing all the way through the movie, it also makes you laugh and whisper: "that's a good one". It's like paying one ticket to watch two movies.

It is, indeed, a bargain.

Rapid rhythm combines with short flash-back and side stories keeps you awake and attentive. Skilled performances from all important characters and witty dialogues do not allow your mind to wander away, even for a second. Sarcastic humour, play on words, and reference-ladden remarks successfully show the irony of the hostage situation.

If you enjoy seeing rough-talking polices challenge sharp and composed criminals, while having a kicking-ass lady to boss around, you'd definitely enjoy the movie.

Shall I put a grade on this one? 5.5 out of 6!