<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

another try

Tuesday, February 28, 2006

5 Weird Things

Well, I consider myself lucky to have to reveal my 5 weird spots. Nehh...ndry?

Only one thing that bothers me though, why only 5?

So here they are, 5 weird things about me:

1. Whenever possible, I can be absolutely picky when it comes to food.
One famous example: I have different preferences for egg, depending on how it is done. I only eat the white egg of boiled egg. For un oeuf plat or telur mata sapi or fried egg, I'll eat the egg yolk, only if it's half cooked. Meanwhile, the white egg should not be burned nor crunchy. For omelette, I only eat the outer part, the crunchy side, not the middle part.

2. I am obsessed with clean public toilet.
I guess it's just a part of my clean-freakiness. I don't mind paying 2 CHF for a clean public toilet (I love you Mr. Clean), and I can be easily impressed by any clean public toliet. I believe that clean public toilet is a sign of clean country, town, or society. :)

3. When I read a book, I read the ending first or after few chapters.
I know it's a shameful thing to do, but I just can't help it! I don't have enough patience whatsoever. Besides, I'll know if a book is a good one when it is able to persuade me not to read the ending before I am supposed to. A good book will capture my heart and soul, and make me eager to follow the ride and not taking the short cut.

But it doesn't mean that I will not finish the book after I read the ending. I will read back again, knowing the ending already, and finish it like a good school girl.

4. I am a mono-maniac.
When I like something, I really like it. I read Harry Potter at least 3 times for each volume in 3 different languages. My favorite books have been read more than 10 times. My favorite movies have been watched more than 10 times, and I even remember the lines!

Unfortunately, this also means that I don't like to try something new. I will stick to the same author, the same food, the same place, the same restaurant, etc.

5. I am verbally and physically expressive.
Telling a story sometimes can become a solo performance in my case. I'll make noises, gestures, faces, mimicries while doing the story-telling. It's fun to watch and for this some people consider me as funny. But sometimes it makes me look stupid.

Of course I looked stupid when, in my frustation of french vocabulary gap, I described canard as quink quink (with flapping gesture)!

Whose weirdness I wish to read? Definetely naga, wira, macchi, and silverlines. :)

Sunday, February 26, 2006

Old City

As requested by a dear friend, Macchi, I present you the Vielle-Ville de Genève. One reason why I love this city so much. :)


A peek to the Cathedral.


The Cathedral. The main building of the old city.



The Cathedral green tower. It's the highest tower in the city, and can be seen even from the lake.


A gate to the old city. You cannot see it from the picture, as I am a lousy photographer, but the Old City is located in a small hill higher than Geneva city. As the old city is the heart of Geneva city, important institutions are built at the foot of this hill. From where I stand, you can see the university, opera house, music hall, musée Rath, and of course line of mountain far away. :)


One narrow street in the old city. The old city is really a compact city full of old buildings surrounded by a protective wall. We can find all important administrative building inside, as it is the last defence of the city.

Sunday, February 19, 2006

Komentar : Good Night, and Good Luck

Good Night, and Good Luck adalah salah satu dari segelintir film bertema politik yang sama sekali tidak membuat saya jemu. Kemampuan film ini untuk menghipnotis saya selama satu setengah jam, terlepas dari setting yang sangat sederhana dan kaku, membuktikan kemahiran sang sutradara George Clooney dan aktor utama David Strathairn.

Befokus pada pertikaian antara politik dan jurnalisme di awal Perang Dingin, film ini menunjukkan suatu idealisme jurnalisme, yang sayangnya telah terbengkalai, tercampakkan atau tertindas. Waktu pemutaran film ini benar-benar tepat. Suatu sindiran politik, mengejutkan kita akan serupanya War on Communism dengan War on Terror (Terrorism).

Tanpa dikehendaki, film ini juga mampu memberikan satu jawaban akan jeritan mereka yang mengutuk kebebasan berbicara. Penggambaran dedikasi seorang Ed Murrow menunjukkan apa yang bisa dan seharusnya diraih oleh kebebasan berbicara. Suatu kebebasan yang mampu mengoreksi para penguasa, dan merupakan salah satu pilar yang menopang impian jutaan warga negara, demokrasi.

Latar belakang suasana tahun 50-an membuat saya terbuai. Gaya hidup, cara berpakaian, tampilan media, dan musik di jaman tersebut, membuat kita sadar akan drastisnya perubahan jaman. Kepulan asap rokok dan kabut tipis abu-abu yang memenuhi adegan film tersebut menampilkan jaman keemasan rokok di Amerika. Sungguh nostalgis, mengingat rokok telah menjadi barang haram di pertelevisian negara tersebut.

Penggabungan antara dokumentasi dan fiksi sangat menyegarkan dalam kesederhanaannya, dan berhasil menekankan akan kisah nyata yang menginsiprasi film tersebut. Sudut pengambilan gambar sungguh setia dengan jamannya, dan berhasil menonjolkan akting memukau David Strathairn. Sungguh sebuah film yang artistik, terlepas dari absennya berbagai warna.

Dialog tanpa aksi à la Speed tidak pernah membuat bosan, malah memberikan pencerahan. Setting yang terbatas tidak membuat saya sesak, melainkan terpukau akan sekilas gambaran di balik layarnya jurnalisme Amerika.

Suatu film yang sangat patut untuk disimak, tidak hanya oleh mereka yang tertarik akan politik, tapi juga oleh mereka yang rindu akan film bermutu.

Watch it, twice if necesssary. You won't regret it, as I don't. I even found a new idol, Ed Murrow.

Wednesday, February 15, 2006

Kesalahan umum dalam latihan menulis bahasa Inggris (2)

Pindah komputer dan pindah lokasi, tapi tetap akan membahas berbagai kesalahan saya dalam menulis.

Grâce à Macchi et Mahli yang sudah mengingatkan, kesalahan satu lagi yang sering saya lakukan adalah lupa atau salah menggunakan artikel. Artikel itu terdiri dari a (an), the, at, in, on. Jadi, anjuran ketiga: perhatikan penggunaan artikel dalam kalimat.

Kalau pemakain a dan the gampang mengingatnya. Pokoknya hampir semua kata benda memakai kedua artikel ini dalam penulisan. Tapi ingat, a digunakan apabila pemakaikan kata benda itu baru pertama kali muncul dalam tulisan atau kalimat. The baru digunakan untuk merujuk ke kata benda yang sama.

Artikel a juga akan berubah menjadi an ketika diikuti oleh kata benda yang diawali huruf hidup. Hati-hati tidak semua huruf hidup dianggap huruf hidup. Huruf hidup yang dilafalkan seperti huruf mati akan dianggap huruf mati, dan artikel a tidak berubah menjadi an.

Contoh: a university, bukan an university. Karena university dilafalkan yuniversiti.

Jadi jelaslah pentingnya penguasaan pengucapan yang baik bagi penulisan yang baik. :)

Selain itu, the juga digunakan untuk kata benda yang mempunyai makna khusus atau nilai tertentu, seperti institusi atau nama negara. Ya...kata benda yang mempunyai nilai penting deh. Seperti the CIA, the goverment of Indonesia, dsb.

Yang agak repot dan sampai sekarang masih membuat saya keluar keringat dingin adalah pemakaian artikel (kata depan) in, at, on. Saya akhirnya berhasil menemukan salah satu aturan dalam pemakaian artikel ini. Artikel ini biasanya digunakan untuk menjelaskan suatu posisi. Tapi, artikel ini juga harus digunakan dalam menjelaskan waktu.

Untuk tempat, saya belum ketemu aturan yang benar-benar menurut saya bekerja. Untuk waktu ada aturan gampangnya. Tanggal (12 February) menggunakan on, hari menggunakan on, bulan (february) gunakan in, tahun (2006) gunakan in; sedangkan jam (12.45) gunakan at.

Kesalahan lain dalam menulis, biasanya disebabkan oleh terburu-buru atau ingin meringkas berbagai hal dalam satu kalimat. Dari yang lupa menggunakan kata sambung (who, whose, whom, which, dan that), tense waktu yang tidak beraturan, atau menulis kalimat yang terlalu panjang.

Anjuran keempat:
Gunakan dengan telaten kata sambung. Kata sambung sangat berguna untuk memberikan penjelasan tambahan dalam kalimat. Lagipula, kata sambung bisa memperjelas kalimat.

Ingat, setiap kalimat yang menerangkan subyek atau obyek HARUS menggunakan kata sambung. Jadi, a friend running a website provider, harusnya ditulis a friend who is running a website provider.

Anjuran kelima:
Konsisten dalam memilih konteks waktu. Past tense, present tense, past perfect, atau... Jangan sampai di tengah-tengah paragraph yang menceritakan masa lalu, terdapat kalimat yang ditulis dalam present tense. Membingungkan.

Anjuran keenam:
Tulis kalimat yang singkat-singkat saja. Kalau menulis terlalu panjang, nanti yang membaca bingung. Apalagi kalau ada dua who dan tiga which di dalam satu kalimat. Jadi harus sabar. Tulis kalimat pendek, bertahan di pola subyek + kata kerja + obyek. Semakin lama pasti bisa menulis kalimat yang panjang dan kompleks, dan penuh dengan keterangan tambahan. :)

Anjuran ketujuh dan terakhir (untuk saat ini):
Teruslah menulis. Jangan menyerah. Semakin rajin menulis, semakin sering dikoreksi dan dicoret-coret, semakin sadar kita akan kesalahan menulis. Akhirnya kita pun akan semakin luwes dalam menghindari berbagai kesalahan.

Inilah sedikit rangkuman segala macam bentuk kesalahan yang sering saya lakukan. Saya sedang dan akan selalu berusaha giat merdeka untuk bisa terhindar dari mereka. Kalau anda mau, pasti juga bisa. :)

Kesalahan umum dalam latihan menulis bahasa Inggris

Melanjutkan posting saya sebelumnya, kali ini akan dibahas bagaimana menulis bahasa Inggris dengan baik. Sebelum saya dianggap profesional atau apa, saya mau memberi pengakuan kalau saya hanya seorang pelajar ketuaan. Pelajar yang sudah dan selalu berkutat dalam menulis dalam bahasa Inggris. Jadi, tulisan saya ini hanyalah pengalaman pribadi, yang walaupun cetek namun saya rasa ada gunanya untuk mereka yang masih mau membaca omelan saya. :)

Kalau ada yang bilang berbicara dalam bahasa Inggris itu susah, menulis dalam bahasa Inggris itu lebih susah lagi! Saya rasakan sendiri frustasinya saya melihat berbagai coretan editing Xaf, my personal editor, di setiap lembar tugas saya. Dan ketika saya akhirnya sudah tergembleng dalam menulis bahasa Inggris lebih teliti, saya malah sempat dijadikan editor dadakan teman saya. Dari berbagai pengalaman saya ini, saya menemukan pola kesalahan umum dalam tulisan bahasa Inggris yang saya (atau teman) bikin. Kesalahan kecil, namun vital. Kesalahan yang sebenarnya bisa dihubungkan dengan bahasa ibu si penulis.

Satu perbedaan utama antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah konjugasi kata kerja. Kalau dalam bahasa Indonesia konjugasi kata kerja hanya dipengaruhi oleh fungsi imbuhan; dalam bahasa Inggris, konjugasi kata kerja dikondisikan oleh subjek dan waktu.

Contoh 1 :
Bahasa Indonesia : Saya pergi (kemarin).
Bahasa Inggris : I go, I went (yesterday), I have gone (yesterday)

Contoh 2 :
Bahasa Indonesia : Dia pergi (kemarin).
Bahasa Inggris : She goes, She went (yesterday), She has gone (yesterday)

Bisa dilihat tidak bedanya? Dalam bahasa Indonesia kata kerja pergi tidak mengalami perubahan, walaupun subyek dan waktu sudah berbeda. Berbeda dalam bahasa Inggris, kata kerja go berubah menjadi goes, went, have gone, dan has gone, tergantung oleh berubahnya subyek dan waktu.

Anjuran pertama:

Perhatikan konjugasi kata kerja dalam menulis. Subyek dan tense sangat menentukan benar tidaknya suatu kalimat. Untuk ini, anda berarti harus juga berusaha untuk mempelajari konjugasi kata kerja dalam bahasa Inggris. Baik yang teratur (dengan menambahkan -ed dibelakang kata kerja murni), seperti play-played-played, maupun yang tidak teratur, seperti go-went-gone.

Jangan khawatir, di kamus atau buku grammar bahasa Inggris, biasanya sudah disediakan daftar kata kerja yang tidak beraturan. Cukup disimak dan sering-sering digunakan. Pasti akan terbiasa dengan perubahan kata kerja tersebut. :)

Perbedaan mendasar lain yang suka membuat kesalahan dalam penulisan adalah tidak adanya sistem to be dan auxiliary verb dalam bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan to be adalah, am, is, are. Sedangkan auxiliary verbs adalah do dan have.

Kelengahan dalam menampilkan to be dan auxiliary verbs terutama terlihat ketika dalam menulis kalimat negatif atau kalimat dalam waktu lampau. Kesalahan yang lain adalah dengan salah menggunakan kedua kata penting tersebut. Ketika harus menggunakan to be malah menggunakan auxiliary verbs dan sebaliknya.

Anjuran kedua:
To be biasanya digunakan untuk kata sifat, sedangkan auxiliary verbs digunakan untuk kata kerja.

Jadi seharusnya I intend, bukan I am intend (ingat, do dalam kalimat positif tidak ditulis kecuali untuk penegasan). Sedangkan kalimat dengan happy menjadi I am happy, bukan I happy.

Ketika harus menulis kalimat negatif sebenarnya lebih gampang untuk mengingat harus memakai yang mana. Sadar tidak kalau dalam bahasa Indonesia ada tiga macam kata untuk negasi (penolakan): tidak, bukan, jangan. Nah...ini bisa jadi acuan. Kalau ingin mengatakan "tidak" yang diikuti kata sifat, seperti dalam kalimat saya tidak cantik, maka bahasa Inggrisnya menjadi I am not pretty. Untuk "bukan" juga seperti itu. Jadi, saya bukan artis menjadi I am not an actress (Thanks to Macchi and Mahli for the correction). Sedangkan kata jangan, menjadi don't; seperti di dalam kalimat Don't eat!.

Ingat saja formula mudah di bawah ini:
1. Subyek + to be + kata sifat / nama / profesi / tempat
2. Subyek + to be + not + kata sifat / nama / profesi /tempat (untuk kalimat negatif)

3. Subyek + auxiliary verbs (do atau have dan konjugasinya) + kata kerja (konjugasi)
4. Subyek + auxiliary verbs + not + kata kerja

Sekian dulu untuk saat ini. Semoga bermanfaat dan tidak semakin menambah pusing kepala.

Another posting on common mistakes in english writing by Indonesian (at least me) will come soon. :)

Tuesday, February 14, 2006

Belajar bahasa Inggris dengan gembira dan tetap ada hasilnya

Saya akhirnya ikutan milis beasiswa, siapa tahu nanti bisa dapet rejeki beasiswa. :) Banyak ulasan dalam milis tersebut, informasi dan termasuk curhat. Satu syarat utama untuk mendapatkan beasiswa adalah TOEFL, yang menjadi ukuran canggihnya bahasa Inggris sang pelamar beasiswa. Di milis pun terdapat berbagai trik untuk bisa lulus TOEFL dengan nilai tinggi. Herannya, tidak ada tips untuk bisa berbahasa Inggris dengan baik, apalagi bagaimana caranya mencintai bahasa asing tersebut. Padahal menurut saya, pentingnya bahasa Inggris itu tidak hanya untuk dapat nilai TOEFL 600 ke atas, tapi untuk bisa berkomunikasi dengan dunia luar dan masyarakat internasional.

Mungkin ada yang bilang saya pemimpi dan bahwa tidak semua orang punya kesempatan ke luar negeri. Tapi coba bayangkan, kita hidup tidak sendiri, masih banyak orang di luar batas negara Indonesia dan masih banyak kesempatan di luar batas negara Indonesia. Berbekal bahasa Inggris, itu artinya akan membuka kesempatan kita ke luar batas Indonesia. Tidakkah kemungkinan berkomunikasi dengan mereka yang berbeda adalah kenyataan yang mengasyikkan?

Jadi, yang harus pertama kali ditanamkan dalam hati, bahasa Inggris tidak hanya untuk lulus ujian, bahasa Inggris adalah pintu komunikasi ke dunia lain dengan manusia lain. Jadi kita tidak hanya harus menguasai bagaimana menjawab soal di lembaran kertas TOEFL tapi bagaimana menggunakannya dalam suatu interaksi sosial.

Pernah membayangkan tersesat di suatu tempat dimana tidak satu orang pun bisa mengerti permohonan tolong kita? Tanamkan dalam hati, bahasa Inggris mungkin bisa membantu kita pada saat-saat tersebut. Pernah frustasi melihat banyaknya lowongan kerja di negara tetangga yang menuntut kefasihan berbahasa Inggris? Tanamkan dalam hati, bahasa Inggris bisa membuat kita terlepas dari jerat pengangguran yang semakin ketat di Indonesia.

Kalau relasi antara bahasa Inggris dan ujian sudah bisa diputuskan, beban belajar bahasa Inggris pun akan menjadi lebih ringan. Mari belajar bahasa Inggris untuk bisa berbahasa, bukan untuk mendapatkan nilai. Caranya sangat gampang dan menyenangkan, saya sudah coba sendiri dan tidak pernah merasa bosan.

1. Perbanyak membaca buku, artikel, tulisan dalam bahasa Inggris.
Ingat, pertama-tama membaca pasti akan ada banyak kosa kata yang kita tidak kenal. Jangan menyerah. Artikan setiap kata dengan bantuan kamus, dan tulis arti kata tersebut di bawahnya. Percaya pada saya, dalam beberapa minggu, anda pun akan berhenti membuka kamus setiap 2 menit dalam membaca tulisan sejenis.

2. Perhatikan pengucapan kata.
Memang kadang sangat susah mengucapkan suatu kata bahasa Inggris dengan baik, tapi bukan berarti tidak mustahil. Jangan keras kepala dan mengucapkan suatu kata seperti halnya bahasa Indonesia. Logat tidak akan bisa hilang, tapi usahakan untuk memperhatikan pengucapan. Untuk ini yang pertama harus dilakukan adalah menguasai penguasaan abjad, dan kemudian perhatikan phonetik yang sering dicantumkan dalam kamus. Kalau masih juga bingung, bisa lihat di website Oxford English Dictionary . Penjelasan yang mereka berikan sangat jelas dan mudah dimengerti.

3. Perbanyak kosa kata anda.
Langkah pertama akan memperbanyak kosa kata anda secara tidak langsung, tapi tidak ada salahnya mendedikasikan 15 menit setiap hari untuk belajar kosa kata baru. Bisa dengan mengulang kosa kata yang didapat dari bacaan, berusaha mencerna lirik dalam musik, atau berusaha untuk menangkap dialog dalam film kesayangan. Tulis kosa kata yang anda pelajari di sebuah buku tulis khusus. Dengan begitu kosa kata tidak akan hilang dan anda akan menyadari kemajuan yang telah anda dapat. Bagi mereka yang memiliki akses email mudah, ikutilah milis Oxford English Dictionary yang akan mengirimkan satu kata dan artinya setiap hari.

4. Coba menulis dalam bahasa Inggris.
Tidak berarti harus langsung menulis karya sastra. Cukup kalimat-kalimat pendek, dan kemudian disusul dengan paragraph pendek. Lalu coba koreksi sendiri tulisan tersebut. Jangan selalu mengandalkan Word Spelling check, karena fungsi ini tidak bisa diandalkan untuk memeriksa kesalahan grammar.

Kuasailah grammar dasar dan ikuti peraturannya dengan telaten. Tidak perlu terburu-buru menulis kalimat yang panjang dan kompleks. Mulai dengan kalimat pendek dengan kosa kata yang simpel. Dengan berjalannya waktu, penguasaan grammar dengan baik dan timbunan kosa kata di bank memori anda, anda pun akan bisa menghasilkan sebuah cerpen atau blog dalam bahasa Inggris. :)

5. Cari teman ngobrol dalam bahasa Inggris
Pasti banyak teman anda yang juga sedang berjuang mempelajari bahasa Inggris, kenapa tidak belajar bareng-bareng? Ajak teman anda untuk meluangkan waktu berbicara bahasa Inggris dengan anda, entah sekedar ngegosip, membaca dialog atau cerita, atau berdiskusi. Kalau malu, cari tempat dan waktu dimana anda tidak akan diganggu, taman kota, lorong kampus atau kamar kost.

Kalau enggan, latihan saja sendiri di kamar. Lafalkan kata-kata dalam bahasa Inggris atau baca novel kesayangan dengan lantang. Dengan melantunkan sebuah lagu kita pun jadi gampang mengingatnya. Sama dengan tulisan, dengan melantunkan sebuah puisi, kita pun akan mengingat bait-baitnya dengan lebih mudah.

6. Artikan lagu kesayangan anda.
Setiap orang pasti mempunyai lagu kesayangan. Kalau kebetulan lagu kesayangan anda dalam berbahasa Inggris, kenapa tidak coba diartikan? Akan bisa lebih menghayati lagu tersebut, dan anda pun akan menambah bank kosa kata.

7. Coba menonton film berbahasa Inggris tanpa membaca terjemahan.
Pertama-tama akan membuat pusing kepala, tapi latihan ini sangat penting. Otak anda pun akan terlatih untuk ter-set dalam bahasa Inggris. Bisa berpikir dalam bahasa Inggris akan membantu ketika anda harus mendengarkan, berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris.

Inilah sedikit tips sehari-hari saya. Kalau yang lain mau berbagi, monggo.. :)

Komentar: Munich

Akhirnya kesampaian juga hasrat hati untuk nonton Munich, salah satu film yang dinomasikan untuk penghargaan Oscar tahun ini.

Komentar saya tentang film ini: fast but long, violent, compact but fail to deliver a complex and multi-layered story.

Munich bercerita tentang 'pembalasan' Israel akan terbunuhnya sebelas atlit mereka di Olimpiade Munich 1972. Berfokus pada satu kelompok agen Mossad dalam memburu sebelas tokoh yang dicurigai berada di balik Black September, film ini menampilkan kehidupan (singkat) para agen rahasia, teroris, dan pembunuh bayaran dalam konteks Perang Dingin. Sungguh menarik melihat bagaimana jaringan underground ini eksis, bekerja, dan saling terjerat seperti jaring laba-laba. The hunter today can be the hunted tomorrow.

Terlepas dari pintarnya Spielberg menyoroti motivasi di balik misi balas dendam ini, film ini gagal atau tidak berusaha untuk membangun para karakter penting. While we understand the reason behind this mission, there is no or little explanation on what's going on inside the team's member. What reasoning they give to themselves to believe in their own mission? Is it blind faith, nostalgic and historic reason, or nationalistic loyalty? Jadi ketika akhirnya mereka mempertanyakan 'kebenaran', saya pun merasa seperti melihat akhir tanpa suatu awal.

Perasaan tersesat saya selama menonton film ini mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan saya akan peristiwa Munich dan rentetan peristiwa yang terjadi setelahnya. Lima belas menit pertama penonton dibombardir oleh ringkasan peristiwa yang terangkum oleh berbagai media internasional, yang disampaikan dalam berbagai bahasa. Quite impressive editing and it conveys cleary the message on how important the event was. Tapi saya yang tidak familiar dengan peristiwa bersejarah tersebut merasa seperti dicekoki rangkuman sejarah dengan konteks internasionalnya yang sangat berat dalam waktu yang terlalu singkat.

Penuturan ceritanya pun kurang memuaskan. Penggunaan kilas balik, saya rasa kadang cukup membingungkan, karena tidak jelas dari sisi mana kilas balik tersebut dilihat. Dari media, dari pengalaman pribadi sang karakter, atau dari imajinasi sang karakter. Penyajian kekerasan sangat mentah, mengingatkan saya akan Kill Bill, sedangkan 'hampanya' penggambaran setiap karakter membuat beberapa slow pace moments membosankan.

Terlepas dari itu semua, Munich adalah film dimana konteks latar belakang sama menariknya dengan cerita yang ingin dituturkan. Interpretasi sebuah peristiwa bersejarah yang kemudian membuat kita ingin lebih tahu, terutama ketika sejarah tersebut ikut mengkondisikan kenyataan yang kita hadapi saat ini.

Munich shows a vicious circle of a too long conflict. In showing the importance of nation and state, and what people are capable to do and sacrifice for their nation; this movie actually questions the justification limit for state's policies pursued in the name of national security.

Quoting one phrase from Mononoke Hime, "go and see with unclouded eyes".

Saturday, February 11, 2006

To see or to be seen?

Wearing a pair of glasses actually teaches me a philosophical lesson. It makes me very aware of how important physical appearance is in one culture; not only that I can see clearly people and what they are wearing in my surrounding, but I can also see glance of my reflection in the eyes of others.

Glasses have become more than just a seeing device, it has become part of you. In kids' world it is a tag that differs you from other children. It makes you different and sometimes outcast you. In student world, it is a perceived sign of intellect; labelling you as smart or even a geek. In an objective world, it is a sign of handicap, weakness, or just "bad" reading habit.

But then, time evolves, glasses are not that exceptional anymore. Plus, capitalist's opportunistic talent has created the need for glasses. Why only see with glasses, if you can also be seen with glasses? Trendy, expensive, and branded glasses then become part of clothing gear.

Nevertheless, glasses are still not universally welcome. More than once I had to fight for my right to see. Every important event, for which I had to let my face to be remade, had been a reflection moment. Those beauty-maker ladies always fussed about how my glasses would hinder others to see how my eyes were beautifully done, and that I should not wear them. My complaints for not being able to see clearly were dismissed as minor. Who cares if I couldn't see whom I shaked hands with, if people could clearly see how long my fake eye-lashes were, how colourful my eye-lids were, or how dark my eye-lines were!

My head was always full of everlasting debate, during those painful make-over operations. What is more important, to see or to be seen? Are women condemned to be the object of observation? Should women only care about their look but not what is "under the surface"? Should women judge themselves and others on how good-looking they are? Are women condemned to superficiality?

I always wanted to scream, "I don't care about how they would see me, I care about what I can see!"

Saturday, February 04, 2006

An answer to baby question

Friends: Why don't you have children?
Me : Because I cannot sacrifice a life that I don't yet have.

Friday afternoon tale

Yesterday was the day when I had to say "see you soon" to a friend. A friend who always towers me and makes me feel like a dwarf. A training partner who has been pushing my limit on tatami and helping me to overcome my fear of falling. Tu vois, je peux faire sauter en avant maintenant. :) An aikido mentor who makes me believe that size does not matter. Being small does not mean that you cannot be strong, although it still means that you can be lifted up that easily.

See you soon Marc. It's been great! Let's keep in touch and do visit us, friend.

Thursday, February 02, 2006

Haruskah blog menjadi media 'serius'?

Sehabis baca posting singkat dari Andry saya pun ketemu dengan sebuah artikel di detik.com tentang blogging. Inti artikelnya mempromosikan tentang pentingnya blogging dan bagaimana seseorang patut untuk melihat blogging sebagai suatu aktivitas yang tidak main-main, to take it seriously.

Membaca artikel ini saya pun semakin mendapatkan kesan bahwa blogger benar-benar sedang à la mode, dan ikut senang kalau kegiatan positif ini bisa terus dikembangkan dan disebarluaskan. Tidak mustahil rasanya kalau dari blogger kemudian 'naik pangkat' menjadi penulis kawakan. But do we need to take ourselves that seriously? Apakah harus media blog 'diadu' dengan mainstream media dan para blogger patut dan perlu diberi acknowledgement sebagai new generation journalists?

Memang wajar bila pembentukan suatu 'kelompok' baru selalu dibarengi dengan pembentukan suatu identitas kelompok, dan salah satu caranya adalah dengan berusaha 'masuk' sebagai bagian dari identitas kelompok yang sudah ada atau sebagai kontradiksi dari yang sudah ada. Tapi apakah harus selalu seperti itu? Kenapa pembentukan identitas blogger,baik sebagai individu atau kelompok, tidak dicoba untuk terlepas dari mereka para mainstream?

Lagipula, kehausan akan pengakuan terkadang tidak dibarengi dengan kesadaran akan tanggung jawab yang mengekor dari sebuah pengakuan. Kalau blogger menuntut untuk disetarakan dengan jurnalis dan hasil bloggingnya untuk dianggap sebagai media yang setara dengan hasil tulisan jurnalis tersebut, apakah mereka siap untuk menerima tanggung jawab atas tulisan mereka sebagaimana para jurnalis harus siap dengan oretan pena mereka? Blogging menurut saya penuh dengan subyektivitas. Dalam menyoroti sebuah masalah atau phenomenon seorang blogger tidak akan hanya 'memaparkan' tema tersebut, tapi lebih 'mendiskusikan' tema tersebut. Bahasa yang digunakan berbeda, dan cara penuturan suatu cerita pun berbeda. Jurnalis (seharusnya) akan menulis "apa yang terjadi", sedangkan blogger akan menulis tidak hanya "apa yang terjadi" tapi "apa yang menurutnya terjadi".

Tidak sulit untuk dibayangkan kalau blog akan penuh dengan bias norma, kultural, latar belakang maupun prinsip hidup seseorang dalam setiap pembahasan informasi. Kebayang dong kalau ada pembaca yang menelan mentah-mentah apa yang ditulis dalam sebuah blog, pembaca tersebut akan menerima sebuah 'berita' yang telah dibentuk sedemikan rupa dan tidak sadar (atau malas) untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semakin runyamlah masalahnya. Setiap orang kemudian akan mempunyai pemahaman yang berbeda tentang suatu 'berita' tanpa mengetahui dengan jelas 'berita' asalnya.

Untuk informasi teknologi atau sains lainnya, mungkin bias ini akan bisa dihindarkan atau diminimalisasi. Tapi bagaimana dengan tema sosial dan politik? Sebuah tema sosial dapat 'diceritakan' dengan cara yang berbeda dan kemudian akan memberikan 'gambaran' yang berbeda pula. Pemberian kata sifat dan informasi keterangan saja akan sangat merubah inti dari sebuah informasi. Contohnya, "Oslo telah merebut gelar sebagai kota termahal sedunia dari Tokyo." Ditambah dengan kata sifat dan keterangan dari pengalaman pribadi: "Oslo yang dinginnya amit-amit ketika musim dingin dan yang manusianya kurang ramah ternyata telah merebut gelar sebagai kota termahal sedunia dari Tokyo yang super high-tech." Kerasa nggak bedanya? Di kalimat pertama it's matter of fact, di kalimat kedua ada bias terhadap kedua kota. Gambaran 'dingin', 'tidak ramah', dan 'high tech' akan memberikan propaganda berdasarkan opini si blogger tentang kedua kota tersebut.

Bagaimana seorang blogger bisa membedakan antara informasi dan opini? Dan apakah para pembaca akan sadar bahwa tulisan yang mereka baca itu adalah opini dan bukan sekedar fakta? Opini adalah salah satu penyajian fakta tapi berbeda dengan fakta. Jurnalisme intinya berusaha untuk menyajikan fakta, paling tidak menurut saya, bukan opini. Jurnalis bisa dituntut bila yang dia tulis tidak sesuai dengan kenyataan, karena mereka seharusnya menulis tentang fakta. Jadi apakah blogger harus sejajar dengan jurnalis? Menurut saya tidak penting mana yang tinggi atau rendah, blog berbeda dengan koran karena blog memberikan 'informasi' yang kaya akan pemahaman tertentu. Informasi yang disajikan berbeda, kenapa harus disama-samakan?

Terlebih lagi, tidak ada code of conduct dalam blogging, tidak ada aturan baku tentang apa yang bisa ditulis, bagaimana harus menulis, keakuratan sebuah informasi, atau keakuratan sumber informasi. Semua bebas, bahkan identitas blogger pun tidak jelas. Di dunia maya semua bisa direkayasa, bahkan (terutama) identitas. Bagaimana sebuah tulisan bisa dipertanggungjawabkan kalau yang menulis adalah anonymous blogger? Bisa saja seorang blogger merekayasa sebuah 'fakta' dan ketika 'fakta' ini menyebar dan diterima sebagai kebenaran yang menghebohkan, siapa yang harus mempertanggung jawabkan pada pihak yang dirugikan? Dan ketika seorang blogger hanya iseng2 nyeleneh tentang suatu tema, guyonannya pun akan dianggap serius karena sudah disajikan dalam 'media'. Bisa salah kaprah jadinya.

Indahnya blog itu terletak pada kebebasan yang tidak dimiliki oleh media lainnya. Blog menurut saya adalah media untuk latihan menulis, berbagi informasi, memberikan opini dan ajang diskusi. Kalau blogging harus dianggap sebagai kegiatan yang 'serius', sesuatu yang tadinya hobi pun menjadi suatu kewajiban. Suatu kewajiban yang penuh dengan aturan yang menyunat kebebasan yang awalnya merupakan identitas utama dari blogging.

Bukannya menurut saya menulis blog tidak serius. Sebaliknya, blogging adalah kegiatan serius. Tapi dalam arti lain. Serius dalam arti setiap blogger akan selalu mengasah kemampuan menulisnya dalam setiap postingannya. Tapi tidak berarti dia terbebani oleh berbagai beban norma masyarakat yang sudah terlalu sering menutup mulutnya sebelum dia berani berbicara. Tidak berarti ia harus terbebani oleh standar penulisan dan penguasaan seluruh topik yang ditulisnya. Blogging adalah ruang untuk menulis apa yang kita pikir menarik untuk diri kita sendiri, tanpa harus terbebani untuk berpikir apa yang lain perlu tahu. Kalau koran itu fakta, blog itu personal.

Jadi saya pun akan terus menulis, tanpa berusaha untuk mensejajarkan diri dengan jurnalis. Saya akan terus menulis pemikiran saya, untuk berbagi dengan yang lain atau untuk memancing diskusi atau debat. Pendapat saya akan terus terukir di sini tanpa berusaha untuk mendapatkan dukungan atau pembenaran. Pengakuan yang saya butuhkan adalah dari diri sendiri, bahwa saya akhirnya berani dan mampu untuk menulis.

Blog is one side of a story, not THE side of a story.