<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

another try

Saturday, April 22, 2006

Pelajaran English Grammar 1

Kali ini saya mau membahas beberapa struktur kalimat dalam bahasa Inggris yang menggunakan verb+ing. Tense yang menggunakan verb+ing ini ada 3:

- Present continous tense : Subyek + to be + verb (ing)
- Past continous tense : Subyek + was/were + verb (ing)
- Past perfect continous tense : Subyek + has/have + been + verb (ing)

Kalau dilihat ada satu kata yang menunjukkan keistimewaan penggunaan verb (ing), yaitu continous. Artinya, kalimat yang menggunakan verb (ing) ingin menceritakan atau menggambarkan sebuah kegiatan yang kontinu, yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu secara berkelanjutan.

Present continous tense
Digunakan untuk kegiatan yang SEDANG dilakukan, yang dimulainya baru saja, dan masih akan dilakukan untuk beberapa waktu.

Contoh: I am eating lunch.

Bisa diartikan, lagi makan siang dan di piring nasinya masih setengah. Jadi masih akan menghabiskan makan siang dalam beberapa menit lagi.

Nah kalau ceritanya pas malam-malam, tinggal dirubah I was eating lunch at Japanese restaurant, misalnya. Ini artinya makan siangnya kan berlangsung untuk suatu periode waktu di masa lampau, dari jam 1-2 siang misalnya. Pada waktu makan siang pun kegiatan menyantap hidangan berlangsung secara kontinu bukan? Tidak menyuap nasi terus lari ke ruangan sebelah untuk membalas email, terus balik lagi ke ruang makan, menyuap nasi, kemudian disambung dengan mengantarkan teman ke pasar, dst.

Jadi past continous tense digunakan untuk menggambarkan suatu kegiatan yang berlangsung secara kontinu pada waktu lampau. Kegiatan tersebut dimulai di masa lampau (jam 1 siang) dan berakhir di masa lampau juga (jam 2 siang) dalam sebuah durasi waktu (satu jam, dari jam 1 - 2 siang).

Lalu bedanya apa dong dengan past perfect continous tense? Bedanya terletak pada selesai tidaknya kegiatan yang digambarkan. Jadi kalau dikau makan siang dari jam 1 siang, dan ketika jam 3 siang masih juga menyantap berbagai hidangan, ketika ditanya sedang apa harusnya menjawab: I have been eating lunch since 1 pm.

Kegiatan yang dimulai di masa lampau (setahun, sebulan, sehari, sejam yang lalu, atau bentuk waktu yang lain) dan masih sedang dilaksanakan saat ini, diceritakan dengan past perfect continous tense.

Rumus gampang untuk mengingat harus menggunakan tense yang mana:
1. Untuk semua kegiatan yang berlangsung secara kontinu, selalu gunakan continous tense.
2. Untuk kegiatan yang sedang dilakukan detik ketika kalimat diutarakan atau ditulis, gunakan present continous tense.
Ex: I am typing a writing on English Grammar.
3. Untuk kegiatan yang dimulai di masa lampau, lihat apakah kegiatan tersebut sudah selesai atau belum. Kalau sudah selesai, gunakan past continous tense; kalau belum, gunakan past perfect continous tense.
Ex 1.: I was sleeping last night from 10 pm to 8 am.
Ex 2.: I have been trying to post something new on my blog since this morning.

Jadi, kalau pacar tiba-tiba bilang I was loving you, jangan keburu seneng dulu. Itu artinya cintanya udah selesai. Yang ingin beromantis ria juga jadi harus lebih berhati-hati dalam merayu. I have been loving you berbeda jauh dengan I was loving you. :)

Sekarang pertanyaannya, apa bedanya simple present tense dengan present continous tense? Kan sama-sama ingin menceritakan kegiatan yang berlangsung pada saat ini.

Yang bisa menjawab dengan memberikan penjelasan yang mantap, tulisannya akan saya pamer di sini, atau silahkan dibahas di blog yang bersangkutan. Kan jadinya seperti berbalas pantun. :)

Friday, April 21, 2006

Adu kerbau

Perayaan 17 Agustus di sebuah kantor perwakilan pemerintah Indonesia.

Dua orang muda saling memperkenalkan diri.

A: Papa saya kepala/direktur/pejabat .... Papa kamu siapa? Kerja dimana?
B: Orang tua saya hanya pegawai negeri biasa di sebuah kota kecil.
A: Oh....

(Interpretation:
A: I am part of the elite group. Are you my kind of people?
B: I am a commoner. Shall I call you the fruit of my shire, you little stuck-up boy?)


A: Kamu kuliah di [sini] bukan?
B: Oh bukan, saya kuliah di [sana].
A: (dengan nada sedikit kaget) wah, kok bisa? Bukannya susah sekali untuk bisa diterima di [sana]?
B: Yang bener? Saya rasa tidak tuh. Saya langsung diterima tanpa ada masalah.

(Interpretation:
A: Do you go to this fancy and expensive school where my kind of people go?
B: Nope, I am in the prestigious school that refuses your kind of people's applications)


Arogansi dibalas dengan arogansi.

Ah, mungkinkah suatu hari saya akan menjadi seorang yang bisa berlapang dada? Menerima tamparan di pipi kiri malah memberikan pipi kanan. Bukannya langsung menendang dengan sekuat tenaga, berusaha menyakiti yang lain lebih daripada sakit yang saya derita.

Sunday, April 16, 2006

Masih tentang perbedaan

Menyambung tentang berbagai perbedaan kecil tapi unik antara Jenewa dan Indonesia, saya akan kembali berceloteh tentang pengamatan kehidupan saya di sini.


Intimacy and privacy
Maaf judulnya tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Susah sekali menemukan kata terjemahannya yang cocok.

Penunjukan keintiman pasangan bercinta dan konsep privasi cukup berbeda antara masyarakat Jenewa dan Indonesia.

Di kota asal saya, paling tidak waktu jaman saya mulai pacaran, yang pacaran seperti orang musuhan. Jangankan mau berciuman seperti yang lagi dihebohkan para media tentang pergeseran budaya anak muda (saya pikir media membuat suatu generalisasi yang berdasarkan gaya hidup metropolitan), pegangan tangan di tempat umum saja kadang malunya setengah mati. Belum kalau papasan dengan tetangga, langsung deh pura-pura nggak kenal sama si kekasih.

Saya dengan Xaf pun kalau jalan bersama di Indonesia tidak gelendotan seperti koala liat pohon. Pegangan tangan pun kami jarang. Saya pikir, toh saya bisa jalan sendiri tanpa dipandu sama orang lain.

Di sini, para muda-mudi yang dimabuk cinta benar-benar serasa dunia milik berdua. Berciuman seperti perangko nempel di amplop di tempat umum bukan sesuatu yang tabu. Anehnya tidak ada yang melototi atau mengamati kegiatan tersebut. Kebanyakan mereka yang di sekitarnya hanya memalingkan wajah atau sama sekali tidak perduli akan keintiman pasangan tersebut.

Lucunya, ketika melihat sebuah pasangan yang lagi dimabuk cinta, teman saya yang orang Amerika pernah berkomentar lirih, "gee, get a room". Kata teman saya ini, masyarakat Eropa termasuk lebih liberal dalam masalah ekspresi keintiman dari Amerika, dan dia datang dari New York!

Jengah rasanya melihat pasangan umur 13 tahun berangkulan dan berciuman di halte bis dan selama perjalanan di dalam bis. Tapi ketidakperdulian orang di sekitarnya, menurut saya mungkin merupakan suatu bentuk penghormatan privasi pasangan yang dimabuk cinta tersebut.

Kalau yang pernah baca Shogun mungkin ingat ketika Mariko menjelaskan kepada Blackthorne tentang bagaimana setiap orang di Jepang terlatih untuk membangun dinding mental dimana dia akan bisa bersembunyi dari apa yang terjadi di sekitarnya. Mariko menjelaskan, rumah tradisional Jepang dimana setiap ruangan hanya dipisahkan oleh dinding kertas tipis, membuat privasi setiap individu tidak dapat mengandalkan perlindungan sebuah dinding atau pintu. Untuk itu, dengan tidak mengindahkan berbagai suara di sekitar yang berasal entah dari mereka yang berdiskusi, bertengkar atau bercinta, privasi yang lain pun akan terjaga.

Mengingat penuturan di buku ini, saya pun jadi berkesimpulan, memalingkan pandangan dari mereka yang sedang berciuman adalah suatu bentuk penghargaan privasi mereka. Jadi bukan cuek dan tidak perduli, tapi justru menghargai kebebasan pribadi yang lain.

It's their life, just look the other way around.

Mengenai privasi, ada satu lagi yang cukup unik dari masyarakat di sini. Keunikan yang bersumber dari kenyataan bahwa kebanyakan orang tinggal di apartemen, dimana kadang pembicaraan tetangga bisa terdengar sampai di rumah saya.

Tinggal di apartemen, atau rumah susun, artinya kita harus sadar bahwa privasi kita terbatas dan kita harus selalu menghargai privasi yang lain. Ini berarti kita tidak bisa berbicara terlalu keras, terutama pada saat-saat sepi (tengah malam atau dini hari), dan tidak bisa lari-lari atau melakukan kegiatan apapun yang akan menimbulkan keributan di dalam apartemen.

Berbeda sekali dengan Indonesia. Di Indonesia, tinggal di dalam rumah yang kadang dikelilingi oleh taman, membuat penghuninya merasa terisolasi dari dunia luar. Pembicaraan keras, suara televisi yang memekakkan telinga, atau suara radio yang cuap-cuap hampir selalu memenuhi suasana. Pertengkaran pun bisa dilakukan dengan selesa.

Di lain pihak, privasi di Indonesia pun dibatasi oleh tetangga, tapi dalam bentuk lain. Bukan dalam bentuk pasif seperti halnya di Jenewa, kenyataan bahwa tetangga bisa mendengar pembicaraan kita, tapi dalam bentuk aktif di mana tetangga bisa datang dan pergi dengan cukup bebas.

Paling tidak di daerah tempat tinggal orang tua saya, para tetangga saling mengunjungi kapan saja. Pintu belakang tidak pernah terkunci dan siapa pun bisa masuk dan berkunjung. Tinggal mengucapkan salam, kemudian masuk. Entah hanya sekedar ingin ngobrol atau meminjam sesuatu.

Dulu saya tidak pernah merasa terganggu, tapi semenjak saya tinggal di sini, saya pun sadar kalau saya tidak punya 'privasi' seperti halnya di apartemen. Saya harus selalu 'siap' kalau ada tetangga yang mampir, dan kadang tidur siang saya di sofa kesayangan di depan TV pun terusik oleh kunjungan mereka.

Kalau di apartemen, kami benar-benar sendiri. Pintu apartemen adalah suatu perlindungan privasi akan gangguan 'aktif' atas privasi kami. Hampir tidak ada kunjungan dadakan, saya pun bisa dengan santai membiarkan rumah apa adanya.


Percakapan dan batas personal

Sering tidak merasa kalau kadang dalam percakapan santai dengan seseorang yang tidak kita kenal atau tidak begitu dekat, kadang muncul berbagai pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi?

Di Indonesia, sering sekali saya merasa seperti itu. Menanyakan status, agama, sudah punya anak atau belum, umur, menikah kapan, nama orang tua, alat kontrasepsi yang saya pakai, dsb, adalah pertanyaan yang bagi saya adalah suatu yang personal. Tapi entah kenapa, masyarakat di Indonesia merasa berhak tahu dan merasa pertanyaan tersebut wajar saja.

Menurut saya, kewajaran mempertanyakan hal-hal yang bersifat pribadi seperti ini sebenarnya adalah bentuk kontrol sosial. Bagaimana bukan kontrol sosial, ketika semua tahu saya pergi dengan siapa, kemana, siapa keluarga pacar/suami saya, siapa orang tua saya, dsb?

Di sini, banyak pertanyaan 'biasa' di Indonesia menjadi pertanyaan yang tabu. Jangan sekali-sekali menanyakan apa agama teman ngobrol di bis atau kenapa pasangan asing di depan anda belum menikah. Yang ada anda akan menerima pandangan tajam menusuk dan komentar singkat, it's none of your business.

Bahkan dengan teman pun kadang ada berbagai pertanyaan yang tetap tidak pantas untuk diutarakan, kecuali bila teman tersebut yang memberi tahu dan kemudian mengajak berdiskusi. Terlepas dari pandangan kita bahwa teman tersebut ada masalah, kita tetap tidak bisa buka mulut kecuali kalau ditanya pendapatnya.

Satu lagi, di sini tempat umum diartikan sebagai tempat dimana banyak orang asing di sekitar yang bisa secara sadar maupun tidak sadar menguping pembicaraan kita. Jadi berbicara pun hati-hati, tidak main bergosip panjang lebar dengan semangat seperti ibu-ibu di dalam angkot yang menceritakan skandal tetangganya. Bukan berarti gosip tidak ada ya, masih banyak kok mereka yang suka menggosip, tapi paling tidak frekuensinya jauh lebih sedikit dan tipenya berbeda.

Tidak ada pembicaraan seperti si bapak A nyeleweng dengan perempuan B, atau si ibu A punya masalah kista dan lagi dioperasi agar bisa punya anak, atau anak si ibu C tidak naik kelas dan dicurigai terlibat narkoba di angkot!


Pakaian tidur dan kesopanan
Di sini, pergi ke luar dan bertemu dengan orang lain dengan masih berpakaian pijama atau daster adalah sesuatu yang tidak sopan dan vulgar.

Sewaktu Xaf berkunjung ke Indonesia dan melihat banyak mereka yang sudah berpakaian pijama atau daster masih kular-kilir di jalan, dia langsung kaget dan merah padam menahan malu. Saya pun menjelaskan kalau di Indonesia, kita dibiasakan untuk memakai 'pakaian tidur' sehabis mandi sore. Tidak seperti di Jenewa, dimana pakaian tidur hanya digunakan sewaktu mau tidur. Sehabis bangun tidur pun, walaupun belum mandi, mereka di sini dibiasakan untuk memakai pakaian luar. Tidak langsung keluar kamar dengan hanya berlapiskan pijama. Makanya kita sering melihat di tipi-tipi para aktor memakai jubah mandi atau kamar ketika harus mengangkat telpon tengah malam. :)


Mahalnya barang impor
Yang namanya barang impor memang dimana-mana harganya mahal. Tapi kadang suka mengelus dada ketika melihat berbagai bahan makanan yang dulu bisa saya beli dengan ringan sekarang menjadi bahan mewah.

Kalau di Indonesia harga apel atau anggur impor membuat kita hanya bisa memakan buah-buah bergengsi tersebut satu kali sebulan, di sini harga mangga golek jauh lebih mahal dari apel atau anggur sekalipun. Lebih nelangsa lagi ketika saya melihat label harga buah pete. Satu baris (atau kalau memakai istilah mama saya, satu papan) pete harganya sampai Rp 30.000! Daun pisang yang kalau di Indonesia kadang bisa main tebas pakai golok, gratis, di sini dihargai Rp 70.000 untuk 3-4 lembarnya! Bayangkan, bayangkan.

Mama saya yang otak bisnisnya langsung jalan sampai komentar, "Wah pit, kalau begitu mama pindah ke Jenewa aja ya. Mama tinggal jualan pete, daun pisang sama mangga, pasti jadi kaya kan?"

*gubrak*

Saturday, April 15, 2006

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya

Yang dulu pernah disuruh menghapalkan berbagai pepatah untuk ujian bahasa Indonesia pasti kenal sama pepatah ini. Kali ini saya mau cerita tentang 'bedanya' hidup di rantau dan di tanah air.

Teman-teman saya di Indonesia waktu tahun-tahun pertama saya tinggal di sini selalu semangat 45 nanyain gimana rasanya hidup di Eropa. Saya rasa mereka semua punya bayangan tentang bagaimana hidup di Eropa, serba gemerlap, serba romantis, serba tak terduga, serba trendy, serba keren, serba funky, ya pokoknya serba modern (terlepas bagaimana seseorang mau mengartikan kata ini).

Saya rasa mereka mau mendengar pengalaman saya tiba-tiba digoda oleh seorang pemuda tampan asing di sebuah kafe di tengah musik yang mendayu, dan kemudian tukeran nomor telpon atau janjian untuk makan malam romantis di sebuah restoran berkelas. Atau cerita menterengnya gedung-gedung di sini, serba canggihnya peralatan elektronik, dan bagaimana saya tercengang-cengang melihat gaya hidup masyarakat di sini yang dianggap berkelas, berbudaya, atau sophisticated. Atau mungkin mau mendengar cerita saya yang menikmati musik klasik di opera house atau berdiskusi tentang seni abad pertengahan di sebuah museum seni ternama.

Jadi ketika saya dengan entengnya menjawab kalau hidup di sini tidak ada bedanya (paling tidak menurut perasaan saya) dengan hidup saya di Indonesia, semua teman saya kecewa dan merengut. Waktu saya menerangkan kalau hidup saya dipenuhi dengan kunjungan ke perpustakaan dan membaca 10-12 jam, mereka pun langsung membalikkan badan sambil menggerutu, "yah..pit. Eloe nggak berubah, kutu buku. Payah. Sudah jauh-jauh ke Eropa malah tidak menikmati hidup."

Tapi memang benar, hidup di sini tidak ada bedanya dengan di Indonesia. Saya tetap harus ke kampus, tetap harus belanja kalau mau memasak, dan tetap harus naik angkutan umum kalau mau kemana pun. Masak sih saya harus bilang kalau saya di sini selalu menerima ajakan makan siang dari seorang pria bermata biru dan berambut pirang yang papasan di tengah jalan, atau clubbing setiap malam sampai jam 3 pagi dan kemudian diantar pulang oleh sang pangeran yang kebetulan bertubrukan di lantai dansa? Wong kenyataannya tidak seperti itu.

Tapi kemudian, setelah menilik dan banyak melamun di bangku taman, saya pun menyadari berbagai perbedaan kecil yang mungkin cukup menarik antara Jenewa dan Indonesia. Sebelum saya bertutur panjang lebar, saya harus menjelaskan kalau saya ini berasal dari sebuah kota kecil di Sumatera. Kalau untuk standar teman-teman saya yang orang Jakarta atau Bandung, saya ini termasuk kampungan. Jadi perbandingan yang saya tampilkan di sini adalah perbandingan antara kehidupan seorang pelajar di Jenewa dan kehidupan seorang pemudi kelas menengah dari sebuah kota kecil di Indonesia.

Pasar dan supermarket
Gengsi antara pergi ke pasar dan supermarket adalah satu perbedaan yang mencolok antara Jenewa dan Indonesia.

Di sini, bisa berbelanja ke pasar adalah sesuatu hal yang borjuis. Pasar di sini persis seperti halnya di kampung nenek saya, hanya seminggu sekali. Setiap kelurahan punya hari pasar masing-masing. Pada hari pasar, para petani pun datang dengan mobil box mereka untuk menjajakan produk mereka di bawah tenda-tenda berwarna-warni.

Kenapa saya bilang borjuis? Karena di pasar, produknya sangat segar, kadang baru dipetik tadi pagi atau sehari sebelumnya. Ini berarti harganya pun menjadi jauh lebih mahal, karena produknya segar dan langsung dari ladang. Tidak seperti halnya supermarket yang produknya merupakan hasil mass-production dan kadang harus menumpuk dahulu di gudang sebelum kemudian dikemas dan diantar ke setiap cabang supermarket. Dan kadang, hanya di pasar kita menemui produk bikinan rumah (artisanat) seperti selai, keju, roti, atau kue-kue khas.

Di Indonesia yang ada malah kebalikannya. Ibu-ibu pada bangga kalau belanja sambil mendorong kereta dorong di antara jajaran rak di supermarket. Terlepas dari kenyataan kalau kangkung dan sayuran hijau lainnya tampak layu, atau kalau harga jeruknya lebih mahal daripada yang dijual di bakul para mbok tukang buah di pasar tradisional. Belanja di pasar dianggap tidak bergengsi, jadi si embok saja yang disuruh pergi.

Waktu saya bercerita tentang perjalanan saya ke pasar selama saya di Indonesia, semua teman-teman saya di sini langsung iri. Iri ingin bisa punya pasar yang sebesar pasar utama kota saya, dan iri ingin bisa punya banyak pilihan bahan makanan yang segar tapi murah. Ironis kan?


Matahari dan wanita

Perbedaan mendasar yang lain adalah cinta atau bencinya wanita akan matahari.

Di Indonesia, para perempuan dituntut untuk membenci sinar terik matahari. Kulit sawo matang dipandang sebagai sesuatu yang tidak indah, dan produk pemutih pun membanjiri pasar dan toko-toko kosmetik. Kemana-mana kalau bisa bawa payung, untuk bersembunyi dari matahari. Kalau lupa bawa payung, berjalan pun minggir-minggir, berusaha untuk terus berada di bawah bayang-bayang atap gedung di pinggir jalan.

Di sini malah kebalikannya. Matahari dipandang sebagai the beauty maker. Setiap ada sedikit sinar matahari dan kalau udara memungkinkan, para perempuan langsung menggulung lengan baju dan celana untuk kemudian duduk di tengah taman, berusaha sedapat mungkin membakar dirinya di bawah matahari.

Jadi inget temen saya orang Norwegia. Pernah suatu saat kita janjian ketemuan di sebuah taman kota siang-siang. Pas saya celingak celinguk nyariin temen saya itu, ternyata dia lagi duduk di bawah patung di bunderan jalan di samping taman. Ya amplop..ngapain dia di situ pikir saya. Bunderan jalan itu kalau di Jakarta bisa dianggap seperti bunderan HI. Bunderan yang dikelilingi oleh lalu lintas yang padat.

Pas akhirnya dia menghampiri saya yang sudah melambai-lambaikan tangan dengan semangat, dia pun menerangkan kalau dia lagi memenuhi jatah sinar mataharinya. Dia bilang, di negerinya yang kadang musim dingin sampai berbulan-bulan tidak ada matahari, setiap orang selalu berusaha mendapatkan vitamin dari matahari sebanyak mungkin ketika musim semi atau musim panas. Jadi setiap hari dia musti berusaha berjemur selama 30 menit - 1 jam, atau lebih.

Ditambah, di sini kulit sawo matang seperti kulit saya ini dipandang ideal. Semua teman saya ingin punya kulit seperti saya. Sampai berjemur-jemur dan kulit mereka pun menjadi kemerah-merahan, berharap kulitnya bisa menjadi coklat gelap. Musim panas pun penuh dengan adegan berjemurnya para perempuan di taman kota, pantai, pinggir danau, atau di balkon apartemen masing-masing. Bahkan saya pernah menyaksikan perempuan muda bertelanjang dada berjemur di balkon apartemennya sambil membaca novel dengan santainya.

Saya pun jadi lebih senang pulang kampung pada musim dingin. Sampai di Indonesia saya dibilang cantik karena kulit saya pucat kedinginan, dan sewaktu saya balik ke Jenewa teman-teman saya pun berkomentar tentang 'gelap'nya kulit saya.


Keakraban dan homoseksualitas
Jangan berpikir aneh-aneh dulu ya. Yang saya maksudkan adalah perbedaan persepi tentang friendly gestures.

Begini-begini, kalau di Indonesia wajar kan kalau sepasang sahabat perempuan berjalan bergandengan tangan atau sepasang pemuda berjalan berpelukan bahu. Kalau di sini hal-hal seperti itu tidak wajar. Keakraban antara sesama jenis seperti itu bisa disalah artikan sebagai homoseksualitas.

Satu teman Amerika saya pernah tiba-tiba ngajak saya ngomong serius. Dia ada ganjalan mengenai teman Korea kami yang kamarnya di sebelah kamar saya waktu saya masih tinggal di asrama. Dia memperingatkan saya kalau dia curiga teman kami itu lesbian. Waktu saya tanya kenapa dia bisa berpikir seperti itu dia bilang karena teman kami itu touchy sekali. Senang sekali merangkul lengan teman perempuannya termasuk dia dan saya. Jadi saya musti hati-hati begitu.

Saya yang denger langsung ngakak guling-guling. Saya pun menjelaskan kalau di Asia merangkul lengan teman perempuan termasuk hal yang wajar. Berjalan bergandengan tangan pun sesuatu hal yang sangat wajar di Indonesia, jadi bukan tanda-tanda homoseksualitas. Dia baru manggut-manggut dan mengerti, dan berhenti khawatir kalau harus jalan bareng sama teman kami itu.

Xaf juga pernah komentar sewaktu melihat pasangan pemuda di Indonesia berjalan beriringan bahu, dengan tangan merangkul bahu yang lain. Dia bilang, wah kalau di Eropa itu sudah langsung dicap homoseksual.

Di Eropa antara sesama jenis tidak ada bahasa tubuh yang akrab seperti halnya di Indonesia. Bahasa tubuh antara teman berbeda sekali dengan di Indonesia. Tidak ada yang namanya gelendotan sambil cekikikan dengan teman-teman perempuan saya di sini. Cekikikan sih masih, tapi sewaktu main bersama kami berjalan sendiri-sendiri dengan jarak sedikit antara satu dan yang lain.

Lain halnya dengan pasangan berbeda jenis. Keakraban pasangan yang dimabuk cinta tidak ditutup-tutupi, kadang cukup membuat saya jengah.

Untuk hal yang satu ini akan saya bahas di posting berikutnya saja. Siapa tahu bakal ada yang penasaran dan jadi akan berkunjung kembali. Kesannya seperti sandiwara radio bersambung, hihihi...:)


bersambung...

Thursday, April 06, 2006

To you

I never thought I could be as happy as I am now.
I never thought I could find this kind of understanding that shields me from fear and tears.
I never thought I could find arms strong enough to guide me through my anger, frustation, and doubt; the same arms so warm that sooth my pain and fill my soul with love and passion.

Thank you for finding me my love, my best friend, my savior.

I love you Xavier. Happy birthday.

Wednesday, April 05, 2006

ISA Conference: A note from a newcomer

Yup, finally I cannot escape from going-to-conference demand anymore. As PhD student and academic (the horror...), it is a normality to go to conferences. To mingle with other PhDs and promote your own research, not to mention to do lots of networking, as you never know whose name card might be useful to find a job after you have finished your too-long degree.

Exactly for these reasons I always refused to go to conference before. I never think myself or my research as important. How can I promote something when I don't think it deserves any advertisement whatsoever? Plus, I cannot see myself going to complete strangers to shake their hands, exchange name cards, and try to survive the intellectual small talks. Mon Dieu!

Unfortunately, I am in an environment where people believe bragging is an inevitable or even a necessary policy in climbing social ladder. I am tired of hearing how important a conference is and that I SHOULD go to one..bla bla bla. I am also tired of hearing people talking about how 'lucky' they are to be accepted in a conference. Acceptance in conference equals to high quality?

So, let's go to conference, my little head says. Let's see what the fuss is all about. So, next time when those people start, "The conference was..I met...how wonderful...how important it was...yada yada yada", I can finally say something that should shut their mouth forever about the subject!

Finally, my paper's abstract was accepted, meaning that I can present a paper in International Studies Association (ISA) conference in San Diego. Hurray *cynical tone*. Plus, they picked me, randomly, to be the chair of panel. Another hurray *still cynical tone*. At least I can go to San Diego gratos.

There, one advantage of being PhD student. You can go to conferences around the world for free.

I went to a conference, I come back and gain a new experience. Has ISA converted me to be an enthusiastic PhD student? I don't think so.

ISA is one of the biggest (and probably important) conference for academics and students in international studies and social science. The program of the conference is more than 200 pages, full with tens of paralel panels every day.

There were a lot of people, students and professors alike. They come from universities around the world, USA, Europe, Africa, Australia and Asia. Unfortunately, I didn't find any Indonesian scholar there. Most of the Asian scholars come either from Japan or South Korea.

The panels covered wide area of interest and research. While the annual theme for this year is North-South Relation and Gender, panels on foreign policy, environmental studies, political theory, security studies, and even intelligent studies provided too many choices that force you to sit down for hours to decide which panel you'll go to.

Panels that really attracted my attention was the panels about women trafficking and sexual exploitation. It's a pity that I couldn't come to any, since I had to give priority to environmental studies. Anybody interested in a paper on that issue can contact me. I can download it from the conference website.

As predicted, there were many people, too many. It was interesting to see how you can tell who the people are just by looking at how they are standing or sitting. PhD students usually looked a little bit lost and prefer to stay in group of friends or at least with a friend. PhD graduates usually looked like busy-bees, talking with their established network or book publishers. Professors were relax, sometimes come with their family, enjoying the semi-holiday. Meanwhile, well-known professor would always have group of 'admirers' tailing him/her along the way.

It was an intimidating crowd, I must say. If you didn't know anybody, you'd easily feel out of place. Like me...

Well, it's true that I came with Xaf. But then, being an independent woman, I refused to tail him along. Beside, his research interest is totally different than mine. We wouldn't be able to stay in a same panel without one of us feeling bored after 30 minutes. So, I did what I usually do, going solo.

It was actually quite fun. I could care less about what people think of me, since nobody knew me. I could go to any panel, sat there, listened to others, without feeling obliged to make smart comments. I was still out of place, but then I was an audience of a show.

I guess the reason why some people looked so lost was because they focused so much on making other people listening to them, but not on listening to others. If the main objective was to meet people and do self-advertisement, being alone in such a crowd must be sad.

All in all, it was a good experience. I could finally meet some of Xaf's friends, and enjoyed California sun. My panel went fine, I didn't say ummm too often, and didn't have shaky voice.

I did smile a lot, though. Old recipe never dies. :)

Did I do networking? Nope. I only exchanged card once, and it was a friend of a friend. I am a hopeless case.