<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

another try

Monday, August 28, 2006

Masih tentang surat menyurat

Berhubung ada pesan positif tentang tips menulis surat dalam bahasa Inggris, saya ingin menyambung tulisan saya tentang menulis surat pendek dan formal dalam bahasa Inggris. Kali ini saya mau memberikan sedikit tips tentang bagaimana membalas surat dalam bahasa Inggris.

Seperti yang sering saya 'keluhkan', salah satu tugas utama saya dalam pekerjaan adalah koresponden, dalam bahasa Inggris tentunya. Berhubung saya adalah salah satu orang dibalik pengorganisasian suatu acara, saya wajib untuk menjawab semua surat yang berhubungan dengan si acara dengan santun dan jelas. Setelah membalas ratusan surat dengan berbagai permintaan dan urusan, saya pun akhirnya mengerti pola pembalasan surat formal dalam bahasa Inggris.

Untuk menunjukkan pola membalas surat, saya ambil contoh surat di tulisan saya yang lalu saja ya:

Dear Madam, Dear Sir,

I am X, from Y. I am interested in Z.

I will be very grateful if you could inform me the application deadline and eligibility. I wonder if you could also send me the application form. If it is not possible, I will be thankful if you could inform me where I can find it.

I am looking forward to hearing from you. Thank you very much.

Sincerely yours,

X


Bagaimana kita harus menjawab surat sejenis ini?

Tips pertama:
Temukan dan tentukan kata kunci dalam surat. Apakah surat itu meminta informasi, memberikan informasi, berterima kasih, mengeluh, dsb. Dalam surat ini, kata kunci di surat: inform me, application deadline and eligibility, dan application form.

Berhubung surat ini meminta informasi, kita pun cukup membalas dengan memberikan informasi yang diminta. Informasi yang diminta adalah application deadline and eligibility, dan application form. Jadi pastikan kita menjawab permintaan si penulis surat.

Tips kedua:
Gunakan kembali kata kunci dalam surat. Ini tidak hanya mempermudah tugas kita dalam membalas surat, tapi juga memastikan kita menjawab semua pertanyaan dan permintaan si penulis.

Tips ketiga:
Jangan lupa untuk menggunakan kata pembuka dan penutup yang sopan. Jadi gunakanlah Dear Mr. X atau Dear Ms. X di awal surat. Kita pun bisa menambahkan kalimat ucapan terima kasih, contohnya: Thank you for your letter atau Thank for your interest in ...

Untuk salam penutup, saya tetap anjurkan Sincerely yours, atau Best regards,. Sopan, formal, dan tidak berlebihan.

Tips keempat:
Ingatkan bahwa surat anda adalah sebuah surat balasan.

Untuk menunjukkan kalau kita sudah membaca surat si penulis dan menyatakan kalau surat kita adalah sebuah balasan, saya anjurkan untuk menggunakan In response to your email (or letter), I would like ...
Kalimat singkat ini cukup penting, tidak hanya untuk lebih luwesnya sebuah surat balasan tapi juga untuk mengingatkan si penulis surat awal kalau dia pernah mengirim surat ke kita.

Pernyataan bahwa kita hanya menjawab apa yang pernah dikirim ke kita kadang bisa menghindarkan kita dari kesalahpahaman. Apalagi ketika surat menyurat berhubungan dengan sebuah negosiasi, dimana kedua pihak harus mengingat dan memahami dengan penuh semua informasi yang berkaitan dengan negosiasi tersebut. Dalam situasi dimana ada pemberian informasi dua arah, bisa juga menggunakan Following your email/letter on..., I would like

Tips kelima:
Pastikan jalur komunikasi tetap terbuka.

Kadang penulis surat akan memiliki pertanyaan baru sebagai reaksi dari jawaban kita. Untuk itu, sangat dianjurkan untuk memberikan nuansa ramah dan informatif di jawaban kita. Di akhir surat, saya biasanya selalu menggunakan: If you need any additional information, please do not hesitate to contact me.


Kalimat singkat ini menunjukkan keterbukaan kita akan pertanyaan dan membuat penulis surat tidak akan enggan untuk bertanya. Dengan memberikan undangan untuk bertanya kita pun akan menjaga komunikasi yang baik dengan yang lain. Menurut saya, komunikasi yang baik bisa menghasilkan hubungan yang baik, termasuk dalam bisnis atau pekerjaan.

Kalau tips di atas saya gunakan, maka balasan untuk si contoh surat akan tampak seperti ini:

Dear Ms. X,

Thank you for your interest in Z.

In response to your email, I would like to inform you that the application deadline is .... Regarding the application form, you may download it from the Z's website at .... Detailed information regarding application's eligibility is also provided on the website.

If you need any additional information, please do not hesitate to contact me.

Sincerely yours,

Saya


Mudah kan? Surat tetap singkat, padat, dan tepat sasaran. Penggunaan kata kunci akan mempermudah penulisan surat, sedangkan kalimat kesopanan akan memberikan sentuhan manusiawi pada email.

Tapi satu hal yang paling penting, usahakan menjawab email dengan cepat. Untuk email formal, mendapatkan email yang mengingatkan kita untuk membalas email sebelumnya bisa memberikan citra yang kurang baik di mata penulis surat.

Jadi, selamat berkorespondensi dalam bahasa Inggris. :)

Saturday, August 26, 2006

Sterilisasi: kejam atau mencegah kekejaman?

Minggu kemarin, teman saya Jennifer menyapa saya dengan wajah penuh kemelut. Ternyata kucingnya, Bidon, hamil! Biasanya si Bidon dikasih pil KB sebelum musim kawinnya kucing, tapi kali ini Jen lengah dan akhirnya terjadilah 'kecelakaan' itu. Haduh...saya yang mendengarnya turut berduka.

Kok berduka? Kok kecelakaan? Bukannya harus disyukuri kalau bakal dapat anak kucing yang lucu?

Berduka dong, karena kalau Jen tidak berhasil menemukan rumah untuk si anak kucing, kemungkinan besar anak-anak kucing itu akan 'ditidurkan'.

Lho..kok segitu drastisnya?

Sebelum para pembaca sekalian menghujat, saya mau menekankan kalau masyarakat di sini sangat cinta binatang, jauh lebih sadar akan hak binatang dari masyarakat Indonesia. 'Peniduran' anak binatang yang tidak diinginkan dipandang sebagai suatu kebijakan yang lebih manusiawi daripada menelantarkan anak kucing/anjing itu di jalan atau tanah kosong dan membiarkannya mati kelaparan, kedinginan, atau tertabrak mobil. Rumah sakit hewan dan dokter hewan pun biasanya menganjurkan para pemilik hewan yang menderita penyakit kronis seperti kanker, paru-paru, ginjal, atau jantung, untuk 'menidurkan' si hewan kesayangannya daripada membiarkannya sengsara menunggu kematiannya pelan-pelan.

Awalnya saya terus terang nggak bisa memahami kebijakan ini. Tapi ketika Frimousse, kucing kesayangan keluarga suami saya yang berusia 15 tahun menderita sakit parah dan tidak bisa disembuhkan karena usianya, saya pun bisa memahami keputusan ibu mertua saya untuk 'menidurkan' teman setianya itu. Dengan mata berkaca-kaca, maman menerangkan kalau lebih baik Frimousse pergi dalam tidur tanpa kesakitan. Maman terus terang nggak tega melihat penderitaan Frimousse dari hari ke hari.

Jadi, bukannya orang sini berhati batu. Jen pun sibuk menahan tangis sewaktu bercerita ke saya, dan sangat berharap saya mau menampung salah satu anaknya Bidon.

Oleh sebab itu, biasanya para dokter hewan menganjurkan para pemilik hewan, terutama yang tinggal di apartemen dan tidak mengkehendaki anak kucing atau anjing, untuk mensterilisasi para hewan kesayangannya. Sterilisasi akan menghindari penelantaran hewan pada kemudian hari, dan lebih baik untuk kesehatan para kucing atau anjing yang tinggal di apartemen dan memiliki ruang gerak yang terbatas. Para hewan pun akan lebih 'tenang' sewaktu masa birahinya muncul. Lagipula, dengan sterilisasi kucing atau anjing betina biasanya akan berumur lebih panjang, karena tidak harus mengalami proses hamil dan melahirkan yang sangat melelahkan bagi para hewan tersebut.

Berbekal pengetahuan inilah saya membawa kucing kesayangan saya, Blony, yang sewaktu itu sudah melahirkan tiga kali ke dokter hewan untuk disteril. Blony, terlepas dari perawatan saya yang cukup telaten, terlihat jauh lebih tua dibandingkan umurnya yang baru 3 tahun. Kekhawatiran saya semakin memuncak ketika Blony mengalami kesulitan sewaktu melahirkan terakhir kalinya. Tidak seperti kucing lainnya, Blony selalu minta ditemani sewaktu melahirkan, dan dulu saya selalu menemani proses melahirkan kucing saya itu.

Tapi apa kata bu dokter? "Maaf, saya tidak bersedia melakukan operasi sterilisasi karena bertentangan dengan agama saya (Islam, red)."

Saya yang mendengar cuma bisa bengong. Terus terang saya tersinggung sekali. Saya dianggap pembunuh apa? Dianggap tidak sayang binatang dan mau menghalangi rencana alam.

Sambil menahan amarah saya pun hanya bisa menggendong Blony yang masih deg-degan sehabis periksa kesehatan dan disuntik. Niat baik saya untuk menjaga kesehatan kucing saya dan untuk menghindari penganiayaan anak kucing malah dipandang hina!

Saya bingung, kejam mana mensterilisasi kucing atau menelantarkan anak kucing? Mama saya penyayang binatang, tapi mana bisa rumah menampung 20 anak kucing? Kalau anak kucing itu tidak ada yang mau menampung bagaimana? Untung Blony kucing campuran, jadi sampai sekarang anaknya selalu mendapat rumah baru. Tapi bagaimana dengan kucing-kucing kampung lainnya? Tidak jarang saya mendengar diskusi 'ringan' tentang membuang kucing, berbagai teknik dan tempat tujuannya.

Terlalu sering saya menangis dalam hati melihat anak kucing jalanan, kurus dan tidak terurus. Belum lagi mereka sering dijadikan obyek penyiksaan anak-anak kecil ataupun orang dewasa. Disiram air, diusir-usir, diusilin pakai ranting kayu, dsb. Saya pun pernah menyaksikan anak kucing tergilas mobil, sampai sekarang saya tidak akan lupa. Sampai sekarang saya tidak akan memaafkan lambatnya saya untuk bertindak, untuk berusaha menangkap anak kucing itu sebelum lari ke tengah jalanan. Si pengendara mobil mewah besar itu, langsung melaju tanpa menoleh. Saya pun hanya bisa meraih tubuh rapuh makhluk kecil itu yang sedang menuju ajalnya. Menaruhnya di pinggir jalan, seperti disarankan oleh orang yang kebetulan juga berada di pinggir jalan itu.

"Udah neng, ditinggal saja. Udah nggak bisa diapa-apain lagi." Begitu kata si bapak melihat saya termangu dan tidak tahu harus berbuat apa.

Sewaktu batin saya memberontak dan balik lagi untuk melihat keadaan kucing kecil itu dan mau membawanya pulang, walau sekedar untuk menguburkannya, tubuh kecil itu sudah tidak ada lagi.

Anjing jalanan apalagi, tidak hanya mereka harus mengais sampah di sana sini, mereka pun sering jadi sasaran timpukan batu, dimaki-maki, dikejar-kejar, dan kalau perlu diracun!

Sampai sekarang saya masih bermimpi untuk bisa membangun penampungan hewan di rumah saya di Indonesia nanti. Untuk menampung semua kucing dan anjing jalanan, untuk akhirnya bisa berbuat sesuatu dan tidak hanya memalingkan muka dan berharap kenyataan penderitaan para hewan itu akan lenyap seperti lenyapnya mereka dari mata saya.

Kejamkah sterilisasi? Tidak! Sterilisasi, menurut saya, adalah bentuk pencegahan kekejaman. Sterilisasi adalah salah satu bentuk solidaritas manusia sebelum akhirnya dunia ini benar-benar menjadi milik bersama, dimana para hewan akan memiliki tidak hanya tempat untuk bernaung tapi juga di hati manusia, si 'penguasa dunia'.

Paling tidak mereka dan mereka mengerti.

P.S. Sampai sekarang Blony tetap hamil setiap tahun, dan menurut laporan mama saya, kucing kesayangan saya itu semakin kurus dan layu. Saya hanya bisa berdoa untuk bisa tetap bertemu sewaktu saya pulang nanti.

Tuesday, August 22, 2006

Ambition equals wealth?

Ambition equals wealth is one perception that is shared by most of Indonesians, according to me, still an Indonesian. Being a developing nation and suffered from a contradictory hate-and-love relationship with the West due to the past colonialism, Indonesian society gives enormous significant to appearance, which most of the time linked to money or material wealth.

Money rules. Not only to get what you want, but also (more importantly) to create what you are. Money will not only buy objects of comfort, it will also create a status and prestige along with perceived (by self and others) superiority from others in many (if not all) spheres of life.

The superimposing society that endows itself a right to control and judge its members takes its 'court' function very seriously. Each member has been trained to see others and themselves from a certain framework in which money plays important role. Material wealth sometimes become the only identification of oneself, and being not as wealthy as the neighbors would create an impression that one has been or would be casted down by the society.

It is sad that this society traps its numerous subjects with potentials into a narrow path of money-seeking and money-stacking. It has imprisoned the mind from the search of alternative meaning of want and ambition, and enhanced a culture of money-hunger.

This conclusion is a wrap-up of five years experience being abroad and still look 'normal'.

In Indonesia, to live abroad will create certain expectation from others on how you should look. According to many of my friends and family, I should look trendy, cool, branded, and rich. The fact that I still wear t-shirt, jeans and old snickers, and have dark hair without any sign of dye has given me look of pity and worried, a look by a mind thinking: "dear oh dear, what a shame. After being abroad all of these years and not a slight of (material) improvement whatsoever".

A short discussion with a friend enhanced my conclusion.

Long explanation on my perception of material wealth as something useful but not necessarily essential awarded me this comment "well, you don't sound like a woman. Your idealist husband must have influenced you, since it is completely normal that one, especially woman wanting more and more."

Well, I am not an idealist. Far from it. I am a pragmatist who always feels guilty knowing that the same amount of money for fancy bag or shoes can feed one family for a week.

And suddenly she gave me an advice that having ambition will give motivation to work hard and achieve a better life.

Hmmmm...but then is ambition always equal to wealth and material gain?

I must say that I want something beyond that. I am not saying that I do not want money. I want a comfortable life. But physical comfort is not enough for a troubled mind like mine. I want to taste personal and professional achievement in which money comes second as mental balance, good consience, understanding of the world around me, comprehension of others and myself, and mature mind are my first priorities.

No, I don't lack ambition. It's just that my ambition does not have money-o-meter. If I don't have a strong ambition, I won't be here, working my arse off to start my life from zero in a totally strange and different society. I would be back home, enjoying every bit of comfort that my parents or my education can provide.

*A conclusion by a middle class Indonesian with her own subjectivity and contextual relationship

Genjot, potret, dan merenung (2)

Pertengahan kedua dari rute Slow Up ternyata melewati daerah pertanian dan peternakan. Walaupun sama-sama hijau, ladang di sini berbeda sekali dengan di Indonesia. Tidak cuma jenis tanamannya yang berbeda, tapi juga organisasi ladang. Di sini ladangnya benar-benar rapi jali, selalu berbentuk segi empat dan entah kenapa terlihat jauh lebih bersih dari ladang nenek di kampung. Yang namanya lumpur tetap ada, tapi tidak ada sampah non-biologis yang bertebaran di sana sini. Bahkan tumpukan jerami yang sudah dilewati mesin dan menjadi gelondongan jerami pun tersusun dengan rapi.

Saya pun dimanjakan oleh pemandangan kebun anggur yang berbaris rapi, kebun bunga matahari, dan pohon-pohon tua yang berderet dengan anggun di pinggir jalan desa.

Para petani yang ladangnya dilewati rute Slow Up pun ikutan memeriahkan suasana dengan mendirikan berbagai stand makanan atau membuka pintunya untuk para pengunjung. Mereka yang sudi mampir pun dimanjakan oleh hasil ladang yang segar dan jauh lebih nikmat dari yang biasa disajikan oleh supermarket. Penghuni ladang seperti ayam, sapi, kambing, domba, bebek, babi, kuda, dan keledai pun ikut memeriahkan suasana, menjadi hiburan buat para anak-anak yang sudah dengan sangat perkasa menggenjot sepeda mereka.

Suasana dimeriahkan oleh celotehan dan pertanyaan anak-anak kecil yang sangat antusias melihat binatang yang termasuk langka di perkotaan. Orang tua dengan sabar memberikan keterangan setiap nama binatang, kenapa si binatang berjalan seperti itu, kenapa tidak boleh terlalu dekat-dekat ke binatang, kenapa tidak boleh mengganggu para sapi yang sedang sibuk merumput, atau cara mengelus kepala keledai yang menonjol dari balik pagar. Bagi si anak, sepertinya lelah menggenjot sepeda berjam-jam terhapus setelah berhasil memberikan wortel ke keledai.

Di sini renungan saya muncul. Coba kalau banyak acara sambilan yang bisa dinikmati anak-anak, pasti tidak perlu itu gembar gembor heboh tentang TV.

Kok jadi ke TV?

Bersepeda, membaca, jalan-jalan di pinggir danau, piknik di taman kota, berkunjung ke museum, berkunjung ke peternakan, dan menonton TV sama-sama jenis hiburan. Sama-sama kegiatan yang dimaksudkan untuk terlepas dari rutinitas keseharian.

Masalahnya di Indonesia, alternatif hiburan murah yang bisa dinikmati seluruh keluarga itu terbatas sekali. Semakin terbatas kalau tidak punya uang banyak. Mau ke taman hiburan atau pantai pasti tempatnya kurang bisa terjangkau oleh angkutan umum. Harus punya mobil, dan sampai di sana masih harus banyar uang masuk. Mau jalan-jalan di kota, taman kota hampir dibilang tidak ada, sudah begitu trotoar sudah disulap menjadi tempat jualan pedagang asongan, atau terlalu panas karena pohon-pohon kota sudah ditebang karena 'mengganggu' pejalan kaki. Lahan kosong tempat anak-anak bisa bermain sudah diisi dengan berbagai bangunan.

Tidak seperti di sini, dimana setiap taman kota selalu mempunyai sudut khusus untuk anak-anak. Tidak punya uang, kalau hari cerah cukup jalan-jalan ke taman dan anak-anak pun bisa riang gembira main pasir atau ayunan. Perjalanan ke taman pun kadang penuh dengan pendidikan. Orang tua bisa memberikan pengetahuan tentang pohon yang dilihat, burung yang lagi terbang, atau bebek yang lagi sibuk mandi di kolam kecil taman.

Tak jarang saya melihat group anak pra-TK atau TK yang lagi kunjungan turis. Paling heboh, karena bis pun jadi penuh dengan celotehan mereka. Sewaktu saya tanya ke teman saya yang bekerja di salah satu play group, dia cerita memang dua kali seminggu ada jalan-jalan bersama ke taman atau tujuan lainnya di dalam kota.

Saya pun jadi merenung, kalau banyak alternatif kegiatan seperti di sini, mungkin tidak akan terlalu parah ketergantungan keluarga dan anak-anak akan TV. Kalau tidak ada alternatif, koar-koar anti TV pun tidak akan merubah banyak. Bagi mereka yang hidupnya pas-pasan, menonton TV jauh lebih murah daripada pergi ke mall.

Lagipula saya rasa ada yang kurang dalam kampanye anti TV. Harusnya ada juga kampanye penonton kritis. Menonton TV bisa jadi ajang pendidikan yang sangat dashyat kalau tahu bagaimana menggunakannya. Acara TV yang penuh dengan pembodohan bangsa bisa jadi alat untuk mendidik dan membuka mata akan kenyataan sosial yang memang nyata atau yang sedang lagi dibentuk.

Jadi kalau ada adegan sinetron yang penuh kemewahan dan pergeseran nilai, adegan ini didiskusikan. Pasti seru dan sangat mendidik. Kalau ada indoktrinasi gaya konsumsi yang terselubung maupun terang-terangan, acara minum teh pun bisa jadi ajang diskusi yang bisa menghasilkan skripsi sosiologi.

Kalau saya yang disuruh kampanye, saya akan teriak: Matikan TV, ciptakan taman kota, dirikan perpustakaan kota, rimbunkan jalanan kota, dan cintailah diskusi dan membaca.

Thursday, August 17, 2006

Genjot, potret, dan merenung (1)

Minggu tanggal 6 Agustus, akhirnya saya memberanikan diri untuk ikutan acara Slow Up, yang merupakan bagian dari acara pesta kota Jenewa tahun ini. Inti dari acara Slow Up ini adalah untuk memenangkan para pejalan kaki, penggenjot sepeda, peluncur sepatu roda, dan siapa pun yang memakai jalan tanpa menggunakan motor bantuan. Jadilah, sebagian jalan kota ditutup bagi para pengendara mobil dan motor untuk kami, para ratu dan raja jalanan sehari.

Dengan modal sepeda sewaan tapi gratis dan helm alien pinjaman saya pun menggenjot sepeda bersama dengan guide pribadi dan setia, Manu. Teman baik yang dalam kehidupan sehari-hari selalu bersepeda dan mengetahui dengan baik cara bersepeda di dalam kota.

Memang ada caranya?

Ada dong. Kalau situ tidak mau diklakson sama tram dan bus (yang bunyi klaksonnya bisa bikin hati saya yang masih bisa dibilang muda ini kejang-kejang) atau diserempet mobil atau motor, naik sepeda tidak hanya modal dengkul tapi juga modal mata dan pemahaman akan lalu lintas. Jalanan di sini dibagi-bagi untuk para pemakainya. Banyaknya jalur dan aturan lalu lintas ini telah membuat saya keder untuk belajar menyetir. Wong di Indonesia saja yang jalurnya cuma satu atau dua dengan aturan lalu lintas yang bisa 'dilupakan' dengan hati ringan, gaya menyetir saya telah membuat sepupu, Xaf, dan beberapa teman baik trauma naik mobil dengan saya dibalik setir; dan saya pun berhasil membuat satu abang somay dan dua tukang duren hampir sakit jantung dan terbirit-birit menghindari mobil saya yang seperti sapi lepas kendali.

Jadi, bersepeda harus di jalur sepeda seperti terlihat pada photo yang saya ambil di dekat pemberhentian bis di samping rumah pada hari minggu pagi. Kalau mau belok kanan kiri harus memberikan tangan. Bagi mereka yang memakai celana panjang dianjurkan untuk mengikat bagian bawah celana untuk menghindarkan keserimpet geligi sepeda selama bersepeda. Ketika cuaca buruk atau malam hari, diharuskan menempelkan lampu dan lambang spotlight di punggung, pantat, atau belakang kepala, agar bisa dilihat oleh para pemakai jalan lainnya. Sewaktu bersepeda di tengah jalan pun harus tahu ambil jalur kiri atau kanan...saya lupa; dan sebagainya, dan sebagainya.

Balik ke Slow Up.

Sampailah saya ke tempat start si Slow Up. Lumayan rame, orangnya juga macem-macem. Turis nyasar (seperti saya), pasangan yang sportif (iya...ada lho makhluk yang namanya pasangan cinta yang sportif. Hobinya olah raga berdua. Hebat! Cinta dapat, badan pun jadi sehat), para olah raga mania, dan keluarga.

Iklan si acara lucu banget deh. Lucu karena menekankan kalau Slow Up itu bukan acara kompetisi. Siapapun boleh ikut, bisa melaju dengan kecepatan masing-masing, boleh mulai darimana saja (asal sesuai dengan jalur yang sudah ditentukan), dan boleh berhenti kapan saja. Ahh...akhirnya ada acara olah raga yang tidak memberikan tekanan mental dan pelototan seseorang berpakaian kaos dan training, berkalungkan peluit dan menggenggam stop watch!

Singkat cerita saya pun menggenjot sepeda bersama dengan yang lainnya. Setiap orang dikasih peta gratis (dalam hati saya bersyukur seribu bahasa datang bersama Manu, karena saya tidak bisa membaca peta sama sekali!), diberi senyum dan dorongan semangat dari para panitia.

Bon route! (selamat menikmati perjalanan), begitu katanya.

Slow Up tahun ini rutenya sepanjang 26 km, tapi serasa 50 km karena rutenya naik turun bukit; melewati 7 desa di pinggiran kota Jenewa, yaitu Cologny, Vandoeuvres, Choulex, Meinier, Corsier, Collonge-Bellerive dan Vesenez. Judulnya sih desa, tapi 'desa' di sini kebanyakan adalah kawasan elit tempat orang kaya bermukim di dalam rumah besarnya yang dikelilingi pekarangan seluas hutan kecil dengan jendela yang memberikan pemandangan menakjubkan ke danau Leman. Kawasan elit! Saya yang ngos-ngosan menggenjot sepeda sibuk celingak celinguk kiri kanan, terpesona oleh mewahnya rumah para aristokrat atau makhluk maha kaya di Jenewa.

Selingan info: rumah kediaman resmi duta besar Indonesia di Jenewa terletak di salah satu kawasan elit ini lho. 'Bangga' rasanya menyadari 'kebesaran' dan 'kemegahan' negara saya.

Sengsaranya, kawasan elit ini di dataran tinggi, yang artinya setengah rute awal adalah tanjakan! Saya pun sibuk berkeluh kesah, menyemangati diri sambil meminta maaf ke kedua paha saya yang tersiksa sampai rasanya otot mau lepas.

Tanjakan pertama masih duduk di sadel, walaupun pinggul sudah ogal ogel dan pipi sudah kembang kempis. Istirahat setelah 5 menit di tengah-tengah tanjakan. Manu dengan sabar ikut berhenti, dan menyemangati untuk mencoba menyelesaikan tanjakan tahap pertama. Sambil menggerutu saya pun kembali ke posisi.

Goes satu, goes dua, goes tiga...lho kok nggak mau maju ini, kok malah mundur?

Semua yang melintas pun tersenyum simpul, termasuk sepasang kakek nenek yang masih dengan megahnya menggenjot sepedanya. Yang tersenyum pun semakin banyak ketika akhirnya Manu dengan sabar turun dari sepedanya dan mendorong saya dari belakang, agar saya bisa balik naik sepeda di tengah-tengah tanjakan nista itu.

Dohhh...masak kalah sama mereka yang umurnya sudah pasti lebih dari 50 tahun sih?!

Untung tak disangka, sepuluh menit kemudian kami pun sampai ke tempat peristirahatan pertama. Tempat peristirahatan semacam ini ternyata memang disiapkan setiap beberapa kilometer, untuk memastikan tidak ada yang pingsan kehausan atau karena kurang darah karena lupa sarapan.

Yang disajikan macam-macam. Kebanyakan memang tipe makanan untuk sarapan, seperti roti, pancake, teh dan kopi. Tapi ada juga stand yang didirikan oleh para petani yang kebetulan daerahnya dilewati jalur Slow Up. Stand mereka lebih meriah, karena diisi berbagai produk lahan masing-masing. Ada keju, madu, buah-buahan dan bahkan sarapan berat seperti bacon (yang kalau mau diartikan irisan tipis daging babi yang digoreng kering di minyak atau mentega).

Satu stand yang saya lewati dengan penuh sesal, stand para pemadam kebakaran! Aduh...padahal yang melayani para pemadam kebakaran yang gagah, tampan dan menawan (malah mungkin ada para model kalender torse nue yang selalu membuat saya mengucapkan puji syukur akan ciptaan Tuhan). Lagian salah sih, kok masang stand di belokan jalan menurun. Mau balik lagi malu.

Panitia memang sangat teroganisir. Setiap beberapa ratus meter ada petugas dengan overall warna oranye yang bertugas menunjukkan jalan. Tahu begini nggak perlu peta, cukup mengikuti telunjuk si petugas oranye. Ambulan pun siap sedia. Di awal salah satu turunan terjal, seorang petugas memberikan saran untuk hati-hati karena ada kecelakaan di bawah. Dan benar, sampai di akhir turunan, saya pun melihat mobil ambulan dengan tim kesehatan yang sedang sibuk mengobati pengendara sepeda yang lupa mengerem.

Sewaktu saya sibuk mengambil poto sebuah gereja di salah satu desa, saya pun menyempatkan diri beramah-tamah dengan salah satu petugas oranye ini. Si petugas dengan sendu melaporkan kalau mereka itu bertugas dari awal sampai akhir acara (9 pagi sampai 5 sore). Saya langsung jatuh kasihan, karena mereka harus berdiri berjam-jam hanya dengan dibekali sebuah sandwich dan sebotol air minum. Lebih kasihan lagi ketika tahu bahwa para petugas itu adalah para pemuda yang menolak untuk melaksanakan wajib militer dan memilih program perlindungan sosial (bakti sosial tepatnya).

-bersambung-

Thursday, August 10, 2006

Kesopanan: tameng rasisme

Banyak teman dan keluarga saya di Indonesia yang sangat kuatir akan masalah rasisme ketika saya memutuskan untuk tinggal di negeri orang. Biasa, mereka sudah termakan berbagai bahasan media tentang masyarakat Eropa (kulit putih) yang kadang kurang obyektif atau berat sebelah. Atau sudah menelan bulat-bulat "apa kata orang".

Setiap saya pulang, saya pun ditodong bertubi-tubi untuk cerita tentang bagaimana orang Swiss memperlakukan saya, seorang Indonesia yang berkulit coklat, berambut hitam, dan bermata hitam. Sepertinya mereka semangat sekali untuk membuktikan kepercayaan mereka kalau para kulit putih itu pasti rasis terhadap orang Asia.

Jadi sewaktu saya dengan polosnya bilang kalau saya tidak pernah menerima perlakuan rasis dari orang Swiss atau orang Eropa lainnya selama saya tinggal di Jenewa, penonton langsung kecewa. Ada yang ngotot dan menuduh saya bohong, mau menutup-nutupi "kejelekan" masyarakat di sini; tapi ada juga yang akhirnya mau berusaha menerima kenyataan kalau yang namanya prejudice itu tidak selamanya benar.

Lucunya, sewaktu saya ngobrol-ngobrol dengan orang Indonesia di sini, kebanyakan dari mereka mengeluhkan sikap dingin dan ketus para orang Swiss. Bahkan ada yang mengutarakan "kerasisan" orang Swiss terhadap orang Asia. Kembali, sewaktu saya dengan manisnya bilang kalau masyarakat Swiss memperlakukan saya lebih baik dari masyarakat di Indonesia, semua langsung terpana.

Kok bisa?

Dari lima tahun pengamatan saya sehari-hari, akhirnya saya mendapatkan satu kesimpulan. Itu karena orang Asia enggan mau mencoba untuk berbahasa perancis dengan baik dan benar.

*Halah...kayak EYD aja.*

Lebih parah. Kalau di Indonesia tidak ber-EYD tidak akan mengurangi kesopanan. Kalau di sini, salah menggunakan konjugasi atau kata ganti persona bisa sangat kurang ajar. Banyak dari orang Indonesia yang saya kenal di sini malas mau untuk belajar etika berbahasa. Alasan mereka, yang penting saya bisa dimengerti, masalah kehalusan atau kekromo-inggilan bahasa itu urusan buncit. Dan kadang di antara mereka, kesadaran akan etika bahasa tidak ada, karena tidak ada yang memberi tahu, atau karena tidak diberitahu di tempat les bahasa.

Dalam hal ini saya sangat beruntung. Saya memiliki ibu mertua yang dididik secara keras sewaktu kecil dan memiliki standar kesopanan yang sangat tinggi. Ada yang bilang kolot dan konservatif, kalau saya bilang elegan dan berkelas.

Ibu mertua saya ini yang melatih saya berbagai penuturan salam, terima kasih, permohonan maaf, dan berbagai etika bahasa dalam berbicara dengan orang asing. Suami saya pun sangat memperhatikan masalah penuturan, dan tidak segan-segan mengkoreksi saya dalam setiap penuturan saya.

Jadi saya pun terlatih untuk mengucapkan bonjour dalam memulai pembicaraan dengan pegawai toko, sopir bis, atau siapa pun yang akan bertukar cakap dengan saya. Dalam membeli, meminta informasi, memilih barang, memesan makanan di restoran atau memberikan pilihan saya selalu menggunakan kalimat conditional J'aimerais atau Je voudrais. Tidak pernah saya menggunakan Je veux ça yang sebenarnya adalah penuturan kasar yang kalau di Indonesiakan hampir sama rendahnya dengan preman yang menodong uang.

Sewaktu menerima tawaran pun, seperti "Désirez-vous de la sauce?" (Anda mau sausnya?) Saya pun tidak hanya menjawab Oui tapi dibumbuhi "Si c'est possible. Merci beaucoup." (Bila memungkinkan, terima kasih)

Dan tentu, tidak lupa saya mengucapkan, bon après midi, bonne journée, dan berbagai ucapan kesopanan penutup lainnya.

Hal-hal kecil seperti ini yang sering diabaikan oleh para mereka yang bukan francophone. Saya sering mendengar orang Asia atau Amerika di depan saya yang memberikan perintah singkat ke pelayan atau penjual. Saya yang mendengarnya sampai malu hati. Sewaktu saya makan siang dengan teman Indonesia saya yang tinggal di sini tiga tahun lebih dulu dari saya, pelayan kafetaria jauh lebih ramah ke saya dan mau meladeni semua permintaan saya. Teman saya itu sampai tercengang mendengar "kefasihan" saya dalam berbahasa Perancis. Terdengar lebih fasih, karena saya tidak hanya memesan makanan, tapi juga berbincang pendek, bertukar phrase kesopanan yang sangat wajar.

Kalimat-kalimat pendek kesopanan tidak akan hanya membuat orang asing lebih ramah, tapi juga membuktikan keinginan kita untuk menghormati budaya tempat kita menumpang. Etika bahasa juga membantu saya untuk lebih berintegrasi dalam sebuah masyarakat asing, karena saya mau berusaha berbahasa seperti mereka. Yang lain pun jadi tidak enggan untuk melupakan "warna kulit" saya.

Satu lagi, saya sering mendapat croissant gratis atau diskon kecil-kecilan. ;)

*Kalau sempat, baca juga ini.

Wednesday, August 09, 2006

Pipit = serius = membosankan

"Pit, kok blog eloe kayak kuliah sih? Serius amat! Nggak berubah nih, pelajaran melulu." Begitu komentar singkat salah satu teman baik saya sewaktu akhirnya berhasil saya paksa membaca tulisan saya.

Saya yang dikomentarin cuma bisa merenung dan menghela napas.

Lagi jalan-jalan ngalor ngidul sambil jelalatan melihat-lihat etalase toko yang dipenuhi dengan tulisan "Soldes" (diskon, red), teman Philipina saya tiba-tiba nyeletuk

"Look at that suit, it's so you."

"Why?"

"It's so you, serious, sharp and formal."

Jadi inget waktu teman baik saya di Indonesia dengan semangat menunjuk sepasang sepatu formal, sederhana, dengan hak rendah sambil bilang, "Pit, sepatu eloe banget nih."

Sama juga sewaktu mama sibuk memilih model kebaya untuk saya untuk acara keluarga, pacar adik saya yang kebetulan nganterin dengan santainya bilang, "Kak pipit dipilihin model yang paling sederhana aja. Kan dia senengnya yang sederhana."

Duh..kenapa sih saya selalu diidentikkan dengan kata serius, pelajaran, formal, sederhana (plain would be in English) yang sangat bisa diinterpretasikan sebagai membosankan.

Kadang pengen bisa dianggap sebagai seorang yang lucu, menghibur, menyenangkan, dan santai. Pengen bisa menulis hal yang ringan-ringan, atau menjalani hidup dengan ringan. Pengen bisa berada di kerumunan tanpa secara otomatis melihat sekeliling dengan kaca mata pengamat sosial. Atau sekedar mengikuti arus tanpa mempertanyakan darimana arus itu berasal dan mengapa saya harus mengikutinya.

Tapi salah saya juga mungkin. Saya memilih untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang tidak bisa dibilang santai atau menghibur, tapi lebih ke kegiatan yang membuat saya lebih tahu dan akhirnya membuat kepala saya semakin penuh dengan berbagai pertanyaan dan renungan yang tidak ada habisnya.

Bayangkan, musim panas seperti ini bukannya diisi dengan liburan, saya malah sibuk berpartisipasi di acara diskusi yang membuat saya jadi tahu tentang berbagai masalah yang menimpa para indigenous people di seluruh dunia. Hari-hari saya pun dipenuhi dengan membaca berbagai laporan tentang penderitaan dan penyiksaan yang dialami oleh para indigenous people, mendengarkan permohonan mereka akan penghormatan hak asasi mereka, atau melihat gambar dan rekaman yang membuat siapa pun mempertanyakan kemanakah rasa kemanusiaan telah terbuang.

Ah...mungkin sudah nasib saya untuk menjadi orang yang membosankan dan menjalani hidup yang 'membosankan' pula.