<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

another try

Monday, October 31, 2005

Ganti jam

Kemaren akhirnya kami masuk ke jam musim dingin (l'heure d'hiver), itu artinya jamnya diundur satu jam. Tidur pun bisa dapet satu jam ekstra, tapi seluruh jam di rumah harus diganti, diundur satu jam.

Sampai sekarang saya masih sering kagok kalo disuruh gonta-ganti jam kayak gini. Jam musim dingin sih enak..nah pas musti ganti jam musim panas (l'heure d'été), tidur pun jadi berkurang satu jam.

Pas jam musim panas, waktu pun dimajuin satu jam. Jadi yang tadinya jam 7 pagi jadi jam 8 pagi. Artinya, kalau harus bangun jam 7, musti bangun jam 6 pagi..rugi kan. Tapi enaknya, hari pun menjadi lebih panjang. Sering denger kan kalau di Eropa musim panas harinya (saat dimana kita masih bisa melihat matahari) itu dari jam 6 pagi sampai 9 malem. Pergantian jam itu salah satu yang mempengaruhi kenapa hari terasa lebih panjang (di samping letak benua Eropa pada globe bumi tentunya).

Sejarahnya gonta-ganti jam ini belum lama lho. Awalnya dimulai pada saat krisis minyak pada tahun 1970-an (jaman-jaman jayanya Indonesia dan berbagai negara pengekspor minyak lainnya). Waktu krisis minyak tersebut, harga minyak menjadi berlipat ganda dan minyak pun menjadi barang langka. Berhubung minyak diperlukan untuk seluruh industri dan berbagai keperluan sehari-hari lainnya, pemerintah Swiss (dan beberapa negara Eropa lainnya, kalau nggak salah) memutuskan memajukan satu jam.

Memang pengaruhnya apaan? Banyak. Bayangkan, itu berarti negara ini menghemat satu jam pemakaian minyak, kan satu jam dianggap hilang. Jadi kalau ditetapkan pada tanggal sekian waktu dimajukan satu jam pada jam 12 malem, pada waktu jam menunjukkan 24.00, semua jam dimajukan menjadi jam 01.00. Ini artinya waktu antara 24.00-01.00 tidak eksis. Tapi kemudian 'hilang'nya waktu ini pun diganti pada waktu pergantian jam di musim dingin, dengan diundurnya waktu selama satu jam. Artinya kalau tanggal X harus ganti waktu musim dingin pada jam 12 malam, sewaktu jam menunjukkan pukul 24.00, seluruh jam diundur menjadi 23.00. Artinya waktu 23.00-24.00 berulang dua kali, dua jam. Impas kan. :)

Terlepas dari alasan di balik kebijakan tahun 1970 an tersebut, pergantian jam ini cukup merusak ritme biologis. Ya..mirip-mirip jet-lag deh. Untuk manusia dewasa mungkin hanya berpengaruh pada waktu tidur atau ketika merasa lapar. Efek pergantian jam ini lebih berpengaruh pada hewan dan anak kecil. Contohnya, sapi yang memiliki jadwal perah teratur suka kaget kalau prosedurnya terlambat satu jam atau lebih awal satu jam. Ini dikarenakan hewan hanya memiliki satu pengertian akan waktu, biologis. Kan sampai saat ini belum ada hewan yang bisa membaca jam tangan. :)

Sport can be fun!!

Setelah setahun lebih absen dari dunia permajalahan, akhirnya kemarin merelakan diri merogoh kantong untuk membeli Cosmo (also because the new Donald Duck has not out yet :P). Seperti sudah dibahas di sini, majalah ini isinya indoktrinasi tentang bagaimana seorang perempuan menjadi atau untuk bisa dipandang cantik. Nggak semua nasehatnya jelek (check out the *** tips), tapi tips untuk mengecilkan ukuran celananya kok didominasi oleh makanan sehat dan gym.

Makanan sehat memang penting, tapi kalo saya harus mencoret bakso, pizza, duck sandwich, dan berbagai makanan berlemak lainnya dari list makanan yang harus sering-sering disantap..hati ini bisa hancur berkeping-keping. Prinsip hidup saya, makan enak itu penting dan tidak harus membuat diri merasa bersalah, asalkan kalorinya langsung dibakar. Olah raga..itu kuncinya.

Cosmo juga setuju, isi majalahnya cuap-cuap mengenai pentingnya olah raga dan bagaimana memotivasi diri untuk berkeringat. Sayang, olah raga diartikan sebagai pergi ke gym. Nggak ada olah raga lainnya apa? Menurut saya, memotivasi diri bukannya cuma masalah mengendalikan rasa malas, tapi kalo olah raganya lari-lari tanpa tujuan di treadmill, atau ngegenjot sepeda yang nggak kemana-mana, tak mengherankan motivasinya kabur.

Kenapa sih perempuan modern itu dipandang harus ke gym atau aerobik? Giliran saran buat you guys, pilihannya pasti yang seru-seru, mountain-climbing, snow board, surfing, ski ekstrem, dan berbagai X-sport lainnya. Kok perempuan diharapkan puas dengan berpakaian minim, leloncatan nggak karuan, atau mengoperasikan berbagai alat untuk mengencangkan pantat, dada, paha, lengan, dsb.

Kalau dipikir-pikir pergi ke gym itu nggak cuma membosankan, tapi juga bikin frustasi. Gimana nggak frustasi, udah berbulan-bulan ngegenjot berbagai perabotan gym, badan kok masih nggak sekeren yang di iklan. Lagipula, pemandangan kiri dan kanan memberikan stimulasi persaingan tidak sehat...seperti "when will I have that buttom? or maybe I should get breat transplant". Pergi ke gym didominasi oleh satu tujuan, berbadan indah. Olah raga tidak dipandang sebagai kegiatan yang menyenangkan, tapi untuk memperbaiki 'kecacatan' tubuh. My God, don't you think it's frustating?

Jadi wahai kaum hawa, kalau anda-anda sekalian malas berolah raga bukan berarti dunia berakhir dan tidak ada lagi harapan. Cukup mencoba melihat olah raga sebagai sesuatu yang menyenangkan. Coba dan pilih olah raga yang sesuai dengan minat diri. Pilih olah raga yang membuat kita belajar sesuatu yang baru.

It's easier and faster to master one aikido technique than having a flat stomach. You'll get satisfaction easier and your mind will stop thinking about those extra pounds that you need to get rid off. Plus, without noticing (or weigh yourself every 2 hours), you'll loose weight and gain muscles.

Inti cerita, cari olah raga yang fun. Olah raga yang interaktif dan menantang banyak banget. Pilih olah raga yang memberikan kepuasan lain selain 'membentuk' badan. Kalau sudah ketemu, nggak bakal deh ada masalah memotivasi diri untuk pergi ke olah raga. Ingat, olah raga nggak cuma harus berlari keliling lapangan dengan celana pendek sambil diteriakin sama guru olah raga (my school time's total nightmare), olah raga juga berarti ajang bertemu teman baru atau belajar sesuatu yang baru.

Gym may not be fun, but sport can be fun. :)

Saturday, October 29, 2005

Menikah itu...

Beberapa waktu yang lalu salah satu teman bertanya: "Pit, menikah itu seperti apa sih? Kapan eloe tahu kalau eloe siap untuk menikah? And knowing you, what made you change your mind and step into the mysterious partner-for-life kind of thing?" (yup..I was that kind of person who freaked out whenever I heard the word 'commitment')

Mungkin jawaban yang lazim adalah, semua karena cinta. *oalah* Tapi setelah sempat dipikirkan beberapa detik, kok kesannya abstrak sekali. Dan saya rasa, temen saya yang sedang berada dalam keadaaan gonjang-ganjing itu nggak akan puas dengan jawaban yang super sederhana tapi universal tersebut. Dia itu tipe orang yang praktis dan pragmatis, jadi jawaban yang berisi kata-kata seperti intuisi, feeling, "you just feel it", etc., akan ditolak sama pemikirannya, seperti halnya spam filter memblokir spammers.

Akhirnya saya pun menemukan analogi yang cukup sederhana untuk menggambarkan menikah itu seperti apa.

Menikah itu seperti bermain kaki tiga. Itu lho, permainan jaman 17 Agustusan ketika kita harus memilih partner yang kaki sebelahnya diikat ke salah satu kaki kita dan berdua musti mencoba berlari sama-sama, sambil nahan malu dan berusaha nggak jatuh di tengah-tengah ibu-ibu satu RT yang histeris.

It's like the game in the sense that your partner and you understand each other perfectly where to go.

Your partner and you understand that you need to walk together without anyone left behind, dragged behind, tailed behind, or holding you from behind. You know that you need to harmonize your path together.

Your partner and you agree on how tight the rope should be tying your legs together, either loose, considerably tight, or barely feel it; and understand that the rope is there not to keep either of you from doing something else, but to give you a chance to do it together and win the day.

Last but not least, both of you agree that when something got rough, blaming the other for falling down will not do any good. Picking up the other's shoulder and support him/her to keep on walking is the only way to get to the finish line.

*another discussion which, in my humble opinion, needs to be written down.

Between the lines

I did blogwalking quite a few, I read quite many books (for fun or because I didn't have any choice), and I did a silly book baton when it was the trend to do it. But then I have just realized that the readings that I enjoy the most are the ones that have something between the lines.

I love analogy, it's a smart puzzle; because you don't only need to fill the corners first, but you also have to know where the corners are in the first place. Thus, I always enjoy witty comments from nana,the can-be-complicated programmer's language (even though sometimes I felt a slight brain damage when I had to try to understand the 'alien' computer related vocabularies), and story from a life spectator.

I wonder if I'll be able to write something that have a sign somewhere saying "read between the lines". Nahh..probably not. C'est pas grave, n'est-ce pas? :)

Precious moment

What is the most unforgettable moment in life?

The moment that could have happenned.

*Pipit in her nostalgic mood.

Friday, October 28, 2005

Bebas!!

Akhirnya paper selesai. Lega banget rasanya. Jadi inget perasaan tiap abis selesai ujian jaman sekolahan dulu. Rasanya dunia jadi indah, senyum selalu menghiasi wajah, dan kepala sibuk mikir...hemm...where should I (shop/eat/date/hang out/pick up guys) today?

Just come back from my "unintended" autumn shopping. Feel a little bit guilty, but hey..I deserve 2 sweaters and 2 new tops after writing 60 pages in 10 day, don't I?

So now, just going to spend the rest of afternoon watching Friends, and try to re-call all the blogs idea that I had to put aside during the 10 days of living nightmare. Soon will be writing again, not for any "why did I decide to do a PhD anyway" kind of paper, just for fun and for my sanity...hehehe. :)

Tuesday, October 18, 2005

Kecil itu...

Kecil itu:

melelahkan...bagaimana nggak melelahkan, satu langkah temen sebelah berarti satu setengah atau dua langkah untuk si kecil. Jadi harus sering jalan cepet atau lari-lari kecil untuk menyamakan langkah.

bikin minder...setiap berada di kerumunan selalu merasa di 'kelek' in, wong kepala cuman sampai di bahu orang-orang di sekeliling.

berbahaya...di tengah-tengah konser atau keramaian, siap-siap aja kena sikut sana-sini.

tapi, kecil itu:

menyehatkan...ya karena harus sering lari-lari kecil dan jalan cepat jadi sehat kan :)

hemat...kan bisa beli baju untuk anak kecil. Harganya 30% lebih murah dari baju orang dewasa.

mewah...mewah mana, walkman yang sebesar batu ulekan atau mini IPod?

disayang sama tukang jahit...kan langganan motong celana atau ngecilin baju.

menggoda...pick up line: "Excuse me, could you please help me? It's too high for me." *twink twink*

mungil...yeeee tautological..

gesit...di tengah-tengah pasar bisa selip sana selip sini.

aman...jarang orang yang merasa terancam sama orang imut. Aman dari praduga polisi.

nyaman...kaki nggak perlu terjepit di kursi pesawat kelas ekonomi. Bisa guling sana guling sini di kursi bis antar kota, dan bisa tidur terlentang di kursi mobil mana aja.

*Ide yang muncul ketika harus berdiri tersudut di tengah-tengah bis yang penuh sesak.

Saturday, October 15, 2005

Istimewa

Ada satu ungkapan yang selalu saya ingat:

It is nice to be important, but it is important to be nice.

Diperlakukan secara istimewa memang enak dan nyaman, tapi entah kenapa saya malah suka risih dan enggan. Saya merasa kadang diperlakukan istimewa secara tidak langsung memperlakukan orang lain secara tidak adil. Banyak yang komentar, jadi kenapa? Nikmati saja, kenapa harus memikirkan orang lain?

Sewaktu kita diperlakukan 'berbeda' secara negatif kita selalu bertanya, "Kenapa saya diperlakukan seperti ini? Apa bedanya saya dengan yang lain?" Tapi ketika kita diberi perlakuan istimewa, jarang kita bertanya, "Kenapa saya diberi pengecualian atau perlakuan istimewa? Apa bedanya saya dengan yang lain?"

Minggu ini saya benar-benar disibukkan oleh sebuah lokakarya yang diselenggarakan oleh kampus. Saya sudah terlibat sejak 3 bulan yang lalu, membantu para dosen yang bertanggung jawab akan lokakarya tersebut. Sialnya, lokakarya ini bertepatan dengan seminggu sebelum batas waktu penulisan draft skripsi saya. Saya sebelumnya berpikir bahwa saya hanya bertugas untuk mengurus persiapan lokakarya, tidak harus hadir atau terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan (saya lebih suka bekerja di balik layar, tidak suka tampil di depan). Tapi ternyata, para dosen itu menyadari bahwa saya harus selalu hadir selama lokakarya berlangsung. Mereka perlu seseorang yang menjamin (tepatnya menjadi seksi sibuk merangkap bibik) semua berjalan dengan lancar. Berhubung mereka sadar bahwa saya harus menyelesaikan draft skripsi, mereka pun menjanjikan perpanjangan batas waktu untuk saya.

Singkat cerita, saya pun menerima surat resmi yang memberikan perpanjangan waktu untuk satu minggu.

Saya bersukur, artinya saya punya waktu 2 minggu untuk menulis (too short, but it's better than nothing). Tapi saya merasa memperlakukan teman-teman saya secara tidak adil. Banyak diantara mereka yang harus bekerja dan juga mempunyai kesulitan untuk menulis draft skripsi mereka, tapi hanya saya yang mendapatkan kelonggaran.

Apakah saya patut untuk mendapatkan keistimewaan ini? Mungkin. Tapi saya tetap merasa bersalah kepada yang lain. Mungkin saya tolol, sok perhatian atau sok adil.

Terlepas dari itu semua, satu yang pasti. Saya hanya punya waktu 2 minggu untuk mempertahankan status pelajar saya. Gambatte!

Terdampar di Amsterdam

Setelah deg-degan menanti datangnya visa, akhirnya saya dapet kesempatan berkunjung ke negara lain. Seneng banget, hati berbunga-bunga seperti musim semi. Seneng karena ternyata se-tua ini saya masih dikasih kesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru. Jadi inget iklan Emirates: "When did you do something for the first time?" Saya dan Xaf pun bisa menikmati akhir pekan jauh dari rumah dan pekerjaan.

Tapi dalam perjalanan pulang kita berdua sempat terdampar di Amsterdam satu malam. Pesawat menuju Amsterdam terlambat 30 menit, padahal saya dan Xaf cuma punya waktu 40 menit untuk ganti 'gate'. Pilot sih cuap-cuap kalau dia akan mencoba ngebut, agar bisa sampai di Amsterdam tepat waktu, tapi apa daya mesin jetnya kurang kenceng. Akhirnya saya dan Xaf pun ketinggalan pesawat lanjutan ke Jenewa.

Terbirit-biritlah kami ke Transfer Desk (sesuai instruksi pramugari), berharap bisa naik pesawat berikutnya ke Jenewa. Ternyata pesawat yang ninggalin kami itu pesawat terakhir..*gubrak*, dan tidak ada penerbangan lain yang melayani rute Amsterdam-Jenewa, kecuali Easy Jet. Tapi kami harus membayar 350 euro satu orang. Edan, harganya hampir sama dengan tiket kami pulang balik.

Berhubung kesalahan berada di pihak penerbangan, akhirnya kami pun dijanjikan kamar untuk menginap. Xaf sudah ngamuk-ngamuk karena dia harus bekerja dan mempunyai janji penting hari Senin. Tapi ya mau bagaimana lagi? Masak mau nyikil ke Jenewa?

Kami pun diarahkan ke 'Arrival office' untuk melapor, menerima 'Toilet package' dan reservasi kamar.

Lucunya untuk sampai ke 'Arrival Office', kami berdua ternyata bisa langsung ke tempat penerimaan bagasi dan pintu keluar TANPA melewati pemeriksaan imigrasi. Tidak ada polisi atau petugas keamanan yang menjaga pintu. Saya jadi berpikir kriminal, wah ini gampang amat menyelundupkan diri ke Amsterdam. Kayaknya pihak bandara harus lebih memperhatikan segi keamanannya.

Apa itu 'Toilet Package'? Tas kecil yang berisi berbagai keperluan mandi dan satu T-shirt bersih. Untung!! Wong bagasi kami entah berada dimana. Isi tasnya: , sikat gigi, odol, sabun cair, shampoo, sisir kecil, body lotion, pisau cukur dan krim cukur, sabun cuci, dan kaus kaki; semuanya dalam kemasan plastik yang mungil dan manis. Tasnya juga manis, patut untuk disimpan. :) Seperti layaknya orang Indonesia, saya pun sempet berpikir: wah ada untungnya ketinggalan pesawat, bisa dapet tas imut kayak begini.

Petugas penerbangan pun langsung memesan kamar untuk kami berdua. Xaf masih dalam 'mode' ngedumel, saya sih sudah pasrah, yang penting bisa menginap di hotel nggak harus tidur di kursi bandara. Lagipula, saya kan belum pernah menginjakkan kaki di kota Amsterdam!!

Sewaktu keluar dari bandara, hidung saya langsung diserang bau tak sedap. Wah, bener ternyata, kota Belanda beraroma kandang! (pernah baca di blog yang saya lupa namanya) Setelah menunggu beberapa menit akhirnya bis hotel tiba, Xaf masih ngomel, pesimis akan kamar hotel yang menanti. Sampai di hotel, saya persis kayak orang udik...celingak celinguk sambil terpana. Hotelnya bagus banget, hotel internasional bintang 4! Interior designnya apik dan mewah, semuanya mengkilap sangking bersihnya, kami bahkan diberi pilihan "Would you like to have double-bed or king-size bed?" Astaga, seumur-umur saya belum pernah ngeliat king-size bed di depan mata.

Pihak penerbangan ternyata cukup efisien dan sudah lama bekerja sama dengan pihak hotel, jadi kami pun langsung diberi kunci kamar tanpa banyak pertanyaan. Sampai di kamar, saya langsung terkagum-kagum, mimpi apa bisa menginap di hotel semewah ini gratis?! Coba saya belum menghabiskan film di kamera saya, pasti saya sudah sibuk jepret sana sini. Isi kamarnya persis seperti katalog toko perabotan ternama di Eropa. Saya kagum!

Ah, ternyata terdampar di Amsterdam tidaklah seburuk yang kami kira.

It was the first time for me to exit an airport without passing through passport control. It was the first time for me to see Amsterdam. It was the first time for me to sleep in King-size bed. It was the first time (and hopefully not the last time) for me to stay in 4 stars hotel for free.

Thursday, October 06, 2005

Kalang kabut

Sudah lama banget saya nggak sempet nulis di blog, tapi saya memang lagi kalang kabut. Paper penting harus diselesaikan dalam 2 minggu, kalau nggak selesai kartu pelajar bisa langsung dibuang ke tempat sampah. Profesor juga bukannya kasihan malah ikut-ikut ngasih beban. Jadi saya pamit dulu sebentar. Nanti kalau sudah nggak gemeteran dan Nash -syndrom (ref. A Beautiful Mind) sudah sembuh saya akan coba isi blog lagi.

Mohon doa untuk pelajar yang sedang di ujung tanduk banteng berlabel 'drop out'.