<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

another try

Monday, January 30, 2006

Comment: Brokeback Mountain

Does Brokeback Mountain deserve the Golden Globe award? A debate that mixes film critics with political, moral, and social issues. Some say that it is not the film itself that got the award, it is more the 'controversial' theme.

Watching the movie, I must say that I cannot make up my mind whether it is a good (interesting) movie or not. While I agree that the movie itself is too long and slow, the way it unfolds a sensitive issue is very subtle. The social context and how it has conditioned homosexuality are superbly shown. The 'absence' of continous interactions between the two main characters (we would see snap shots of their life separately but not the evolution of their relationship) deepen the feeling of frustation that the movie intended to show. This 'void' does not make the movie dull, au contraire, it saddens me.

Unfortunately, magnificent landscapes that, I think, are intended to fill this void are overemphasized. These excellent photographic sceneries, Ang Lee's trademark, are out of place and sometimes are disturbing the emotion build up throughout the movie. Sometimes I was not sure whether I should concentrate on the couple's frustation and rejection or contemplate on the background landscape.

This movie has shown homosexuality from a point of view that reminds us that it is a love story after all. It is not a gay-cowboy movie, it is a movie about tragic love. Tragic, as it was not only a forbidden nor impossible love, but it was a love which should /could not exist.

In short, it is a romantic, sad, and moving story. A story that hopefully will create more tolerance in this world.

Saturday, January 28, 2006

Tiket cepet kaya

Xaf dan teman-temannya lagi kena demam euromillions. Lotre 9 negara Eropa. Setiap minggu hadiahnya utama semakin berlipat kalau setiap minggu tidak ada pemenangnya. Minggu depan saja hadiah utamanya 183 millions euro. Berapa rupiah? Kalikan saja dengan 12.000, saya sendiri ragu akan ada berapa nolnya itu.

Lucu juga ngedengerin ocehan Xaf yang ngimpi dapet berjuta-juta swiss franc. Tumben ngeliat orang seperti dia yang realistis dan praktis sampai menghayal nggak karuan begitu. Malah sampai ada diskusi tentang mau dibelanjain apa duitnya kalau memang menang. Ide paling mutakhir adalah ide temannya. Si teman kerjanya yang cukup frustasi dengan tim kepemimpinan kampusnya berhasrat mau menukarkan satu juta franc ke pecahan 20-an. Terus gunungan uangnya mau dibakar di depan universitas! Komentar saya: Kalau bener dia dapet dan dia mau ngelaksanain idenya, kasih tahu tempat dan waktunya. Saya bakal siap di tempat eksekusi dengan fire extinguisher.

Pas saya ditanya apa yang mau saya lakukan dengan uang segudang seperti itu, saya pun dengan kalem menjawab, "Bikin undian berhadiah ala nepotisme yang berlaku hanya untuk teman-teman saya. Hadiahnya: tiket pulang pergi Jakarta-Jenewa."

Sayang wangsit nomor kok nggak tiba-tiba, padahal jam tidur sudah diperpanjang. Hihihi..Minggu ini kami pun hanya menang 15 CHF. Nggak balik modal deh. Semoga minggu depan akan lebih beruntung. *khidmat*

Wednesday, January 25, 2006

Bon appétit

Saya sering membaca atau mendengar keluhan tentang cara makan Eropa yang berbeda dengan kita. Terutama ketika kita harus makan di restoran yang memberikan menu lengkap dan di atas meja terlihat tatanan meja yang menakjubkan dengan deretan sendok, garpu, pisau, gelas beraneka ragam, bentuk dan ukuran. Kadang suka liat di film kan orang awam yang kebingungan musti makan pakai garpu atau pisau yang mana.

Saya pertama kali musti masuk restoran yang menyediakan masakan Perancis juga takjub. Udah takjub sama tatanan mejanya, pas dikasih list menunya jadi lebih takjub lagi. Menu lengkap makan malam biasanya terdiri dari 5 tahap: entrée, plat principal, fromage (optional), dessert, café/digestif. Jadi banyaknya alat makan karena banyaknya hidangan yang akan dihidangkan. Kunci utamanya cuma satu, mulai dari yang paling luar. Dan jangan panik, setiap satu hidangan selesai, alat makan kita pasti langsung diangkut sama pelayan sebelum hidangan yang lainnya diantarkan ke meja kita.

Kalau makanan pembuka salad, biasanya yang paling luar akan disediakan garpu dan pisau dengan ukuran medium, kalau sup di sebelah kanan piring akan disediakan sendok (mengganti garpu dan pisau). Untuk menu utama, pisau yang digunakan pun tergantung jenis makanan yang dihidangkan. Steak, fish, pasta, or vegetarian. Yang menarik kalau kita pesen steak pasti ditanya, "Quel cuisson desirez-vous, Madame? Saignant, bleu, à point, ou bien cuit?"

Steak daging di sini dimasak dengan empat tahap kematangan. Saignant itu yang paling 'mentah', cuman dibolak-balik di atas penggorengan sebentar. Kalau pas dipotong masih ada darahnya. Bien cuit itu yang paling matang. Tapi hati-hati, tergantung jenis dagingnya, kadang tidak direkomendasikan untuk memilih bien cuit, karena daging akan menjadi terlalu keras.

Setelah hidangan utama, biasanya pelayan akan menawarkan plateau de fromage, keju. Kalau anda memilih untuk mencoba keju yang ditawarkan, pelayan pun akan memberikan sepasang sendok dan garpu khusus. Perhatian, jangan memakan keju dengan tangan. Sangat tidak sopan. Kemudian disusul dengan pencuci mulut. Siap-siap aja bingung memilih berbagai pencuci mulit yang ditawarkan. Menu Eropa sangat kaya akan pencuci mulut. :)

Terakhir, café atau digestif. Digestif adalah alkohol keras yang membantu pencernaan. Biasanya dihidangkan dalam gelas kecil dan langsung menghangatkan tenggorokan ketika diminum.

Selain itu, ada tata cara yang harus diperhatikan ketika di meja makan. Banyak peraturan tidak tertulis yang sayangnya sekarang sudah mulai hilang. Namun tidak ada salahnya kita selalu berusaha untuk menjaga etika, karena hal-hal kecil seperti ini yang memberikan nilai plus.

To do:
1. Tutuplah buku menu ketika anda sudah memilih. Pelayan tidak akan datang apabila buku menu anda masih terbuka atau ketika anda masih iseng melihat-lihat menu yang ditawarkan.
2. Meletakkan lap tangan di atas paha atau di depan dada sebelum pelayan menghidangkan makanan.
3. Meletakkan lap tangan dengan rapi di samping piring atau di atas kursi tempat duduk (untuk perempuan) ketika harus meninggalkan meja di tengah-tengah hidangan.
4. Menutup mulut dengan tangan atau lap tangan ketika akan mencabut tulang ikan dari dalam mulut.
5. Ketika memakan hidangan pembuka yang harus menggunakan tangan, cuci tangan di mangkok yang sudah disediakan sebelum diseka dengan lap tangan.
6. Ketika anda akan menuangkan air minum atau anggur ke dalam gelas anda, dan itu artinya akan menghabiskan isi botol yang tersedia, selalu menawarkan pada yang lain untuk berbagi dengan anda. Just in case if others would like to have water or wine as well.
7. Letakkan garpu dan pisau berdampingan horizontal di atas piring dengan pegangan terletak di sebelah kanan, dan mata pisau menghadap ke diri anda. Posisi garpu dan pisau seperti ini akan memudahkan pelayan untuk mengangkat piring dan memegang pisau dan garpu secara bersamaan (supaya tidak jatuh menggelundung dari piring)
8. Selalu mengucapkan terima kasih ketika pelayan mengangkat piring kotor anda.

Don'ts:
1. Memotong roti dengan pisau. Roti yang disediakan biasanya sudah dipotong (Baguette) atau berbentuk bulat. Roti cukup disobek dengan tangan.
2. Meletakkan sikut di atas meja. Sangat tidak sopan.
3. Bersendawa.
4. Mulai makan ketika yang lainnya belum menerima makanan yang mereka pesan. Selalu tunggu sampai semua menerima makanan dan saling mengucapkan bon appétit, selamat makan.
5. Menjatuhkan makanan yang dalam perjalanan ke mulut kembali ke atas piring.
6. Menyeka hidung dengan lap tangan. Tissue bekas menyeka hidung pun jangan diletakkan di atas meja.
7. Tidak membayar, tentunya...:D

Others:
1. Biasanya minuman akan datang lebih dahulu dari makanan. Ketika bersulang, gelas harus disinggung dengan gelas teman makan dan mengucapkan santé. Sewaktu mengucapkan santé, mata kita harus melihat mata yang disulangi. Ada kepercayaan kalau tidak akan mendapatkan bad sex-life untuk 7 tahun! Thank you Silverlines for the confirmation ;)
2. Sewaktu bersulang pun, kalau kebetulan makan ramai-ramai, tidak boleh saling bersilangan. Contohnya kalau saya mau menyulangi teman saya yang diseberang meja, teman sebelah saya tidak boleh menyulangi mereka yang juga duduk di seberang meja, karena itu artinya lengan dia akan 'menyilang' dari lengan saya.

P.S: Ini hanyalah rangkuman dari pengalaman pribadi saya selama di sini. Daftar yang saya tulis di sini jauh dari lengkap. Lagipula setiap tempat memiliki tradisi dan etiket sendiri-sendiri. Mungkin ada yang mau nambahin?

Tuesday, January 24, 2006

Niatnya baik, jadinya...

Setiap saya harus pulang ke Indonesia, saya selalu merasa 'kikuk' dan bersalah ketika membandingkan pendapatan saya dengan berapa banyak uang bulanan saya bisa memberi makan orang di sekitar saya. Perbedaan relatif biaya hidup di sini dan di rumah sana membuat saya enggan untuk menawar harga, untuk menghemat seribu atau dua ribu rupiah. Mama saya yang pentolan tawar-menawar kadang suka sewot melihat saya yang langsung mengalah ketika berbelanja di pasar tradisional. Sepertinya dia kecewa melihat ilmu menawar saya yang dibangun dengan susah payah olehnya lenyap begitu saja. Atau kadang dia merasa 'dirampok' sama tukang buah ketika saya dengan halus menolak tawaran mama saya untuk menawar harga jeruk satu kilo. Sewaktu dia ngomel-ngomel membodoh-bodohi saya yang mau saja dikibulin tukang buah, saya biasanya langsung bilang, "Ma, uang segitu satu franc pun nggak sampai. Lagian ibu itu lebih butuh uang itu daripada pipit."

Suatu hari saya dan teman saya harus pergi ke rumah seorang teman lainnya yang baru saja melahirkan. Rumah mungilnya bisa dicapai dengan angkot (yang muter-muter bikin mabok) atau becak. Berhubung saya tidak kenal daerahnya dan hobi naik becak, saya pun dengan semangat mendatangi pangkalan becak di pinggir jalan. Entah kenapa saya secara otomatis mulai menawar. Ternyata kebiasaan lama memang susah untuk dihilangkan. Lagipula saya tidak tahu berapa jauh rumah teman saya itu dari pangkalan. Akhirnya, setelah tawar-menawar kami pun setuju dengan harga Rp. 7000, turun dari Rp. 10000.

Ternyata rumah teman saya lumayan jauh. Sudah udara panas terik dan jalanannya menanjak, ditambah berat saya dan teman saya pasti tidak ringan seperti kapas. Hati saya langsung kasihan setengah mati dan merasa berdosa telah tega memotong 3 ribu rejekinya si abang becak. Tangan saya pun sibuk membongkar-bongkar dompet, berharap cemas bisa menemukan uang pecahan sepuluh ribu-an. Sampai di depan rumah teman saya, langsung saya sodorkan uang sepuluh ribu, dan ketika si abang hendak mengaruk kocek memberikan kembalian, saya pun menolak. Muka si abang langsung cerah seperti bulan purnama, dan dia malah menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke pangkalan tadi. Tapi berhubung saya tidak tahu sampai kapan saya akan ngalor ngidul sama teman saya, tawarannya pun saya tolak dengan senyum manis.

Keesokan harinya saya hendak kembali menjenguk teman saya tersebut. Kali ini saya pergi sendirian. Setiba di pangkalan saya sudah siap memberikan alamat, tapi entah kenapa saya masih juga iseng nanya harga jasa becak dan mencoba menawar. Tiba-tiba semua tukang becak menjawab, "Sepuluh ribu nggak boleh kurang neng!" Haaahhh..saya langsung kaget. Lho kok, kemaren tujuh ribu masih bisa, kenapa sekarang semua ngotot minta sepuluh ribu?

Saya pun langsung ngedumel dalam hati, ternyata si abang kemaren mungkin curhat sama temen-temennya dan mereka berkesimpulan kalau tarif mereka perlu dinaikkan ke sepuluh ribu. Toh ada yang mau membayar segitu.

Hati ini langsung dongkol. Kok niat baik malah disalahgunakan. Untuk saya uang sepuluh ribu mungkin tidak seberapa, tapi bagaimana dengan pelanggan lainnya yang cuma punya uang pas-pasan. Kalau sampai para pengguna jasa becak harus membayar lebih mahal, ini kan jadi salah saya. Aduh...ini bagaimana ini..

Akhirnya demi memprotes saya pun menolak naik becak. Saya memilih naik angkot, walaupun sambil deg-degan takut nggak sampai. Kecewa rasanya melihat niat baik saya malah mungkin menyusahkan orang lain.

Monday, January 23, 2006

500 years of Swiss Guard

Yesterday was the 500 years of Swiss Guard, as it was on 22 January 1506 that Pope Jules II requested Swiss Mercenaries to become the defender of the Holy See. Pope Jules II was impressed by the capabilities of Swiss Mercenaries in defending the Conferederation in face of attack from Habsburg Austrian or Duke of Milan. As the Pope felt his authority was weaken by Reformer and corruption and bad finance, the Vatican felt the need to increase its security.

150 brave mercenaries leaved from Lucerne in winter 1505-1506. Soon, they became indispensable for the Vatican, and their number was increased to 300 in 1512. Already famous as the best troops in Europe at that time, Swiss mercenaries created a legend in their capacity of Swiss Guard. In 1527, attack was launched on Rome. Pope Clément VII made a mistake in aligning himself with French camp against the Emperor Charles Quint. The later destroyed Rome and almost invaded the Vatican-City. The Swiss Guard barricaded the entry to Saint Peter's Basilica and defended the Vatican against thousands of armies. 147 Swiss Guards died, while the 42 survivors succeeded in protecting the Pope Clément's retreat to Castel Sant'Angelo. On that day, 6 May 1527, the Swiss Guard saved the Papacy. This historic glorious act is celebrated every 6 May, when the new recruits take their oath of loyalty.

Directly under Pope's order, now Swiss Guards consist of 110 men. To become one, the man has to be Swiss, age of 19-30 y.o, minimum 174 cm, Catholic, single, without criminal record, and succeeded in the Swiss Guard's training.

Source: L'Illustré, No. 3, 18 January 2006, p. 56
For more information click on The Roman Curia: Swiss Guard

Let's talk about human rights

Setting: 13.30, di sebuah restoran Cina di dekat stasiun kereta api Gare Cornavin.

Lagi makan siang agak telat dan sedang lagi hangat-hangatnya berdebat tentang perempuan dan sistem akademik di Indonesia dan Swiss, tiba-tiba kuping saya yang caplang ini menangkap obrolan dalam bahasa Indonesia di meja di belakang punggung saya. Wah...ternyata ada 3 orang Indonesia yang sedang makan di restoran ini juga. Sambil terus berdebat, kuping ini secara setengah tidak sadar ikut menguping pembicaraan para bapak dan ibu-ibu di belakang. Tiba-tiba kuping saya mendengar potongan pembicaraan yang membuat nafsu makan hilang dengan seketika. Tentang tahu formalin atau bakso tikus? Bukan..bukan..tapi tentang pelecehan hak asasi manusia. Berikut potongannya:

Ibu 1: ya...sebenernya pembantunya sudah minta mau pulang, tapi Pak X nggak kasih karena dia dan keluarganya juga memang harus pulang dalam waktu dekat.
Ibu 2: Bukannya masalah gaji?
Ibu 1: Bukan mbak. Memang sih gajinya tidak sesuai dengan standar gaji pembantu di sini yang katanya sekitar 1400 an lah. Lagipula LSM itu biasanya memalingkan muka kalau masalah gaji, karena mereka tahu kalau gaji pembantu di Indonesia itu jauh lebih kecil daripada di sini.
Tapi ya itu MASALAHNYA ada LSM yang bisa mengawasi kalau standar peraturan ini telah dijalankan atau tidak. Jadi para pembantu bisa melapor kepada LSM ini dan mereka akan bertindak...hehehehe (ketawa nyeleneh)
Kalau Pak X ini memang tidak bermasalah karena gaji pembantu yang tidak sesuai dengan standar, tapi karena masalah hak asasi manusia. Jadi Pak X dituntut karena dianggap tidak menghormati hak asasi manusia pembantunya...hahahahaha (ketawa ngakak nyeleneh)
Pak 1: Ooo..begitu toh..

Saya yang denger langsung naik darah turun kesabaran! Kok ketika ada LSM yang membela kaum kecil (pembantu) dan memastikan kalau hak-hak mereka terpenuhi sebagai seorang manusia dan pekerja malah ditertawakan, dan malah dibilang MASALAH. Apa yang lucu hey Bapak dan Ibu kaum elite Indonesia?!! So what kalau si Bapak X itu mungkin adalah salah satu diplomat Indonesia di sini? Malah bagus kalau dia sampai dituntut ke pengadilan oleh LSM karena dianggap tidak menghargai pembantunya. Mencoreng nama Indonesia, memang! Tapi berapa juta rakyat Indonesia yang akan bersorak gembira kalau para pelanggar HAM di Indonesia juga diperlakukan seperti si Bapak Beliau terhormat. Biar si Bapak dapat malu dan namanya masuk ke dalam rekor kriminalitas di sini, biar si Bapak tahu rasa dan akhirnya sadar kalau nama dan jabatan tidak akan membuatnya kebal hukum seperti halnya dia di 'kandang'.

Malu saya..malu...mendengar ocehan para elite terpelajar yang seperti menganggap bahwa pembantu itu tidak punya hak asasi manusia dan melecehkan mereka, kaum asing, bule, yang membela saudara sebangsanya sendiri. Atau mereka merasa kalau pembantu itu bukan saudara, yang saudara malah si bapak X, pejabat diplomat terkenal? Jadi mereka merasa LUCU kalau ada yang menuntut The Mr. X, karena dianggap tidak pantas atau tidak pada tempatnya? Apa yang lucu? Terangkan-terangkan! Apa kalau rakyat kecil tidak punya hak sedangkan kelas kakap selalu punya hak?

Bukannya malu kalau sampai diplomat yang membawa nama negara sampai bersikap tidak sesuai dengan standar tuan rumah. Nggak usah pakai alasan kalau di Indonesia itu lain, dsb. Ini Jenewa bung! Katanya diplomat, katanya orang terpelajar, kok masalah penting seperti standar buruh sampai diabaikan. When you are in Rome act like Roman. When you are in Switzerland, respect and obey the law!

Bagaimana penghargaan akan hak asasi manusia di Indonesia akan membaik, ketika usaha pihak asing dalam membela kaum lemah bangsanya sendiri malah dilecehkan dan ditertawakan? Mentalitas hierarkis seperti ini hanya akan membuat seorang buta akan pelecehan hak asasi manusia. Harusnya mereka tunduk sembah kepada LSM ini, karena ternyata pihak asinglah yang perduli sama nasib orang Indonesia di negeri asing. Seandainya ada banyak LSM seperti ini di negara Timur Tengah, mungkin tidak akan ada berita penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan para TKW. Terima kasih yang harusnya disembahkan ke LSM tersebut, bukan gelak tawa meledek.

Di saat seperti ini saya langsung mencampakkan slogan "right or wrong is my country". Kalau saja berita itu masuk koran, pasti sudah saya kliping dan diberi pigura. Kalau saya tahu nama LSM bersangkutan (saya akan cari tahu dalam waktu dekat), akan saya sumbangkan sedikit penghasilan saya dan akan saya kirimkan kartu ucapan terima kasih dari seorang warga negara Indonesia. Satu yang saya sesalkan, kenapa saya tidak berani mendatangi para bapak dan ibu yang sedang ngobrol itu dan memberi tahu apa yang saya pikir tentang tingkah laku mereka tersebut. Ahh..saya memang pengecut.

Human rights are universal. It applies accross status, wealth, race, religion, and age, as well as its prosecution.

Sunday, January 15, 2006

Komentar: Bumi Manusia

Bumi Manusia adalah buku karangan Pramoedya Ananta Toer pertama yang saya baca. Dulu sewaktu kuliah saya paling takut sama bukunya karangan Bapak Toer ini. Takut tidak bisa menghargai karya sastra kandidat hadiah Nobel untuk sastra ini. Ternyata benar, buku fiksi ini tidaklah sesederhana seperti kelihatannya. Sekilas buku ini adalah sebuah novel cinta dengan latar belakang Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Tapi menilik lebih dalam, banyak kritik sosial dan renungan moral di balik cerita cinta Minke dan Annelies.

Dalam cerita, terdapatlah seorang Minke, lelaki Jawa berdarah biru, anak Bupati. Minke yang murid H.B.S kemudian jatuh cinta pada Annelies, seorang Indo, anak seorang gundik Nyai Ontosoroh dengan Tuan Mellema. Penuturan kisah cintanya sendiri cukup sederhana, namun penuh dengan berbagai kejanggalan yang secara tidak langsung memberikan gambaran kompleksitas setiap karakter cerita. Kompleksitas yang berkutat pada kontradiksi antara nilai timur dan barat.

Terbukanya mata Minke akan ilmu-ilmu Eropa membuat dirinya melihat ketidak-adilan dan penghinaan di balik kultur feodalisme Jawa. Minke pun mengagungkan kebebasan ala Barat dan berusaha melepaskan diri dari sifat ke - Jawa - an. Pemberontakan jiwa Minke tampak jelas di satu adegan dimana ia harus bersimpuh di depan ayahnya sambil mengutuk dalam hati:

"Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demu tahun kebelakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu....Sembah--pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini."(p. 182)

Namun, diskriminasi sistem sosial dan hukum Hindia Belanda yang dialami oleh Minke kemudian membuatnya terkadang mempertanyakan keagungan nilai-nilai Barat yang menjanjikan masa depan yang cerah untuk manusia. Dan ketika ia harus tunduk kepada hukum Belanda, yang tidak hanya menginjak harga dirinya tapi juga merampas haknya, ia pun kemudian mengutuk ketidak-adilan sang guru, Eropa.

Kontradiksi antara nilai timur dan barat pun sangat jelas digambarkan oleh karakter Nyai Ontosoroh. Seorang perempuan Jawa, dijual oleh ayahnya demi sebuah jabatan. Seorang gundik yang lebih terpelajar dari Bupati, berkat tuntunan tuannya. Nyai Ontosoroh mengutuk nasibnya, namun menolak untuk dipanggil Mevrow (nyonya) dan selalu meminta untuk dipanggil Nyai (panggilan untuk gundik). Karakter ini penuh dengan kegetiran. Penekanan akan sebutan Nyai menunjukkan sifat terpelajarnya yang membuat dirinya sadar akan kedudukan sosial, tapi menurut saya, dengan meminta untuk dipanggil Nyai, ia juga mengingatkan dirinya sendiri akan nasibnya yang sungguh mengenaskan.

Nyai Ontosoroh membenci "Jawa" yang selalu menunduk-nunduk dan menjilat untuk mendapatkan kedudukan(yang telah menjadikan dirinya seorang gundik), namun ia pun jijik pada "Belanda", gurunya, yang kemudian menjadi gila dan mentelantarkan dirinya dan keluarganya. Nyai Ontosoroh membenci "Jawa" yang mengutuk kedudukannya sebagai gundik, namun ia pun membenci "Belanda" yang tidak mau mengakui dirinya sebagai ibu sah anak-anaknya dan menghormati dirinya sebagai seorang manusia terpelajar yang fasih berbahasa Belanda hanya karena dirinya seorang gundik, seorang budak.

Novel ini memperlihatkan pergolakan batin para insan yang terjepit dua budaya, dua nilai, dan dua pemahaman. Novel yang penuh dengan kritik sosial akan kedua nilai tradisional dan modern. Ambiguitas setiap karakter membuat novel ini tidak hanya berhasil menggambarkan revolusi budaya di negara terjajah tapi juga merupakan sebuah penolakan akan pengagungan absolut sebuah nilai budaya dan sosial.

Pemaparan akan peranan ilmu pengetahuan dalam mengobrak-abrik tata sosial sebuah masyarakat tradisional membuat saya teringat akan murkanya seorang pendeta akan kemajuan teknologi yang dipandang mempertipis kepercayaan manusia akan Tuhan dan mukjijatnya di Angels and Demons karya Dan Brown. Sedangkan tokoh Nyai Ontosoroh, gundik terpelajar seperti halnya permata dari kubangan lumpur, mengingatkan saya akan tokoh utama pelacur di Supernova 1 karya Dee. Sungguh menarik ketika satu buku mengingatkan kita akan buku yang lain, seakan ada benang merah yang menghubungkan para pengarang yang berada di tempat dan waktu yang berbeda.

Maman banane

Home sick terkadang muncul tidak diundang dan tidak terduga, tapi susah untuk diabaikan. Rindu dengan keluarga dan teman dapat diobati dengan bincang-bincang di telepon. Rindu dengan berbagai kenikmatan kuliner malah mendorong diri untuk lebih mahir memasak.

Tapi bagaimana dengan rindu akan suasana Indonesia? Rindu dengan pemandangan sekitar, rindu menghirup udara Indonesia (terlepas dari kadar polusinya), atau rindu akan alam Indonesia tidak akan terhapuskan dengan melihat berbagai laporan di televisi atau ratusan photo. Malah kadang membuat dada semakin sesak dan air mata tergenang di sudut mata.

Obatnya...pohon pisang di dalam pot!

Serius, di sini ternyata ada pohon pisang yang bisa tumbuh di dalam pot. Pohon yang saya beri nama "maman banane", karena sudah bertunas 5 dan tetap megah dengan daun-daun lebarnya. Maman banane selalu mengingatkan saya akan halaman belakang rumah. Walaupun tidak bisa berbuah pisang bertandan-tandan, paling tidak mata saya tetap sejuk memandangi ruas-ruas daun pisang yang hijau.

Musim panas, duduk-duduk di beranda apartemen, di samping pohon pisang mini, membaca buku kesayangan dan segelas jus jeruk dingin...ah serasa berada di beranda belakang rumah kembali. Yup, tiada rotan, akar pun jadi. Tidak ada yang asli, yang miniatur pun jadi. :)

Thursday, January 12, 2006

Mama

Tiba-tiba kangen sama mama; dan jadi terpikir, kalau saya ditanya mau jadi apa kalau sudah besar, sekarang akan menjawab "mau jadi seperti mama".

Mama saya adalah salah seorang perempuan yang menurut saya hampir sempurna (begitu pula dengan ibu mertua saya).

Mama cantik, sangking cantiknya pernah digodain sama anak kuliah yang umurnya lebih muda dari anaknya sendiri. Cantiknya mama bisa saingan sama Widyawati, artis terkenal itu. Coba saya secantik mama, pasti waktu kuliah dulu nggak akan sering patah hati menerima penolakan cinta. Hihihi..

Mama kuat, tegar dan tegas, tapi tetap saja saya bisa merasakan kasih sayang mama. Mama bener-bener kuat, bisa menyeimbangkan antara urusan kantor dan rumah. Tegas dalam mendidik anak-anaknya, dan selalu tegar dalam menghadapi setiap kesulitan.

Mama sangat pintar masak, terpelajar walaupun nggak suka belajar, berpikiran terbuka walaupun tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi, dan selalu memberi kesempatan untuk anak-anaknya.

Mama bukan orator tapi selalu didengarkan kalau angkat bicara, bukan pemimpin tapi hampir semua orang merasakan wibawanya.

I love you mom, and I hope I make you proud and happy.

Wednesday, January 11, 2006

Alpha..Bravo..Charlie..hello!!

I know that sometimes it is difficult to understand what others are saying on the phone, especially when the person is spelling a word or a code. Thus, for airlines companies, when they answer your phone calling to confirm your ticket, they will expect you not to say ASZ 234 (for example), but Alpha Sierra Zulu 234.

Fine, when you know that Alpha, Sierra, and Zulu should stand for ASZ. But what is wrong if I say, Alpha Santa Zero 234. Isn't it the same? Why did the person at the end of the line treat me like I am some kind of idiot?

Forgive me if I don't work in travel related bussines, but who decided that Sierra stands for S and that Santa cannot stand for the alphabet S anyway. Yes, I said Santa not Fanta...S not F.

How about if I make my own rule? Asterix, Batman, Cubitus, etc. Let's see if you can "spell" my way.

Friday, January 06, 2006

Kapankah harus mulai mengepakkan sayap?

Beberapa hari yang lalu sewaktu lewat di depan tempat penyewaan DVD mata saya tertumbuk pada poster film komedi. Poster itu intinya mengolok-olok pemuda berumur 27 tahun masih tinggal di rumah orang tuanya. Sambil nyengir pikiran pun tersentak. Beda, beda sekali dengan Indonesia.

Persepsi akan kemandirian sungguh berbeda. Di Indonesia, tinggal bersama orang tua adalah sesuatu yang normal bagi mereka yang belum menikah atau yang baru menikah. Tidak akan ada yang mentertawakan kenyataan bahwa seorang berumur 27 masih tinggal di bawah atap orang tua, walaupun mungkin ada yang berkomentar miring ketika ada perempuan yang belum menikah dengan umur setua itu. Saya pun jadi berpikir, betapa terlambatnya seorang manusia Indonesia dituntut untuk mandiri. Alangkah nyamannya norma masyarakat yang mengijinkan seorang anak berlama-lama menikmati hangatnya sarang induk mereka.

Saya berbicara tentang hal secara umum. Saya yakin banyak dari para muda yang harus mandiri karena tuntutan keadaan. Tuntutan keadaan, itu intinya. Mereka yang mandiri dari dini adalah kasus khusus, karena ada tuntutan keadaan. Tapi bagi para muda di sini, mereka yang TIDAK mandiri dari dini adalah kasus yang khusus. Mereka mandiri bukan karena tuntutan keadaan, tapi memang tuntutan hidup. Jalan menuju kemandirian sudah harus mereka tapaki ketika umur menginjak angka 20. Tidak heran kalau para muda di sini jauh lebih mandiri, karena mereka menganggap kemandirian adalah sesuatu yang tidak perlu dikeluhkan tapi untuk dijalani dan dinikmati. Bekerja paruh waktu pun dijalani sejak muda, dan hidup lepas dari orang tua merupakan suatu normalitas.

Orang tua kadang terlalu sayang dan khawatir akan kesejahteraan anak-anaknya. Sehingga mereka pun selalu berusaha 'merangkul' putra-putrinya seperti layaknya induk ayam. Banyak orang tua yang tidak mau 'melepas' anaknya untuk hidup jauh dari mereka, dan selalu berjaga-jaga di belakang kalau-kalau si anak jatuh, untuk selalu menolongnya untuk berdiri kembali. Anak pun menjadi terbiasa dengan si safety net. Dirinya pun selalu mengandalkan orang tuanya, enggan untuk mencoba terbang dan jatuh.

Sedihnya, jarang anak yang mempertanyakan perhatian orang tuanya tersebut. Bagi mereka sudah sepantasnya orang tua menuntun mereka sejauh apapun yang mereka mau. Mereka kadang malah mengharapkan orang tua untuk terus mendukung mereka tanpa mau bertanya masih patutkah saya merepotkan orang tua?

Kenapa tidak mencoba mengepakkan sayap lebih dini? Kenapa tidak diperbolehkan meninggalkan sarang lebih awal? Kenyamanan tidak selamanya baik, kenyamanan kadang berbuah ketidakperdulian. Langkah manusia tercipta karena dorongan dan tantangan, bukan tumpukan bantal nyaman di sudut ruangan.

*Picture from National Geographic

Katakan dengan kartu pos

Teknologi katanya memperdekat jarak. Telepon membuat kita bisa ngobrol walaupun terpisahkan beribu kilometer jauhnya. Email bisa membuat kita menulis dan menerima kabar tanpa harus menunggu berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Berbagai messenger bisa membuat kita tetap berbincang-bincang dengan yang lain yang berada di seberang lautan, walaupun suara digantikan oleh tarian jari-jari di atas keyboard. Tapi tidakkah ada yang merasa kedekatan jarak yang diciptakan oleh teknologi terkadang memudarkan indahnya komunikasi antar dua insan?

Email memang memudahkan kita untuk mempertahankan kontak dengan seorang teman. Tapi kemudahan ini kadang malah membuat kita meremehkan arti dari "stay in touch" . Tak jarang kita sehabis membaca email berkata.."ah entar aja balesnya, gampang ini." Nanti...nanti...dan akhirnya tidak pernah terbalas, karena email tersebut sudah tertimbun dalam inbox.

Membaca email pun rasanya hambar. Kabar tertulis dalam tulisan yang rapi namun mekanis, tidak ada unsur manusia seperti halnya tulisan tangan. Tidak ada emosi yang disampaikan dari tulisan sebuah tangan manusia. Lekukan huruf dan tanda tangan penulis memberikan sentuhan personal dari kabar tersebut, kabar yang ditulis oleh orang yang kita kenal, sayangi, atau bahkan rindukan.

Pernah lihat surat-surat lama nenek atau orang tua kita? Saya pernah lihat tulisan nenek saya jaman dahulu kala. Tulisan sambung yang terukir seperti cacing di atas kertas yang menguning. Saya masih ingat gemetarnya tangan saya waktu itu, tersentuhnya hati saya, seakan mencoba merasakan sejarah dari surat tersebut. Perasaan yang kurang bisa saya dapatkan dari membaca email-email cinta saya pada beberapa tahun silam.

Makanya hati saya selalu langsung berbunga-bunga ketika di kotak pos saya ada surat atau kartu dari teman-teman saya. Senangnya hati ini ketika membaca kabar singkat di balik kartu pos lebih daripada ketika membaca cerita panjang lebar di sebuah email. Berhubung saya penganut paham treat others like you want them to treat yourself, saya pun selalu berusaha mengirimkan kartu pos ke teman-teman saya; walaupun isinya hanya singkat, just wanna say hi or thank you for your card.

Jadi kenapa tidak sampaikan kabar dengan kartu pos? Kartu pos yang memberikan sedikit gambaran tempat di mana kita berada, tempat baru yang kita injak dalam pertualangan hidup, photo artistik yang menyampaikan perasaan hati pada saat itu, atau sekedar gambar jenaka yang membuat kita tersenyum merupakan media untuk berbagi dengan mereka yang jauh di sana. Sebuah media untuk memperlihatkan hidup kita saat itu, hidup yang sudah terpisah oleh jarak. Biaya mengirim kartu pos lebih murah daripada surat atau kartu lainnya, harganya pun relatif lebih murah. Kartu pos juga tidak menuntut kita untuk mengarang cerita panjang lebar, sehingga tidak ada alasan seperti, harus menulis apa?

Cara lama memang mungkin kurang praktis, tapi menulis sepucuk surat dengan sebuah pena dan secarik kertas jauh lebih manusiawi. Cetaklah jejak dalam hidup ini, meskipun itu hanya berupa beberapa bait kalimat yang ditujukan kepada seseorang yang berarti.

Thursday, January 05, 2006

Sekelumit tentang Swiss

Mencoba menjawab pertanyaan Macchiato tentang Swiss, sekarang saya mau cerita sedikit tentang negara kecil mungil ini. Terus terang saya nggak tahu banyak tentang negara ini. Bukannya tidak tertarik, tapi kewalahan. Swiss negara kecil tapi sistem pemerintahannya sangat kompleks dan rumit.

Swiss adalah negara federal yang berdiri pada tahun 1848. Swiss menganut sistem demokrasi langsung, dan pemerintahannya terdiri oleh 7 anggota yang dipilih oleh Federal Assembly. 7 anggota ini adalah kepala dari 7 departemen utama pemerintah. Kalau dianalogikan dengan sistem Indonesia, bisa dibilang kalau mereka itu adalah 7 menteri. Lucunya, ketujuh orang ini bergiliran untuk menjadi presiden.* Jadi tidak seperti di Indonesia dimana Presiden kedudukannya lebih tinggi daripada menteri, di sini Presiden lebih berfungsi sebagai perwakilan dari para ketujuh pemimpin negara ini. He or she is one among equals. Berhubung mereka bergiliran menjadi Presiden, setiap tahun presiden Swiss berganti.

Kalau US terbagi dalam beberapa 'states', Swiss terbagi dalam 26 'cantons'. 17 canton adalah canton Swiss-Jerman (berbahasa Jerman), 4 canton Swiss-Romande (berbahasa Perancis), 1 canton berbahasa Itali (Ticino), 3 canton bilingual Perancis-Jerman, dan satu canton (Graubünden) trilingual Jerman, Italia dan Rumantsch.*

Betul..di negara ini bahasa nasionalnya ada empat. Swiss-Jerman (sedikit berbeda dari Jerman), Perancis, Italia, dan Rumantsch. Tapi hanya tiga yang mempunyai status bahasa resmi, Jerman, Perancis, dan Italia. Setiap canton berhak menentukan sistem pelajaran bahasanya, tapi setiap canton harus mengajarkan second national language dari sekolah dasar. Jadi di Swiss-Jerman, pelajaran bahasa Perancis wajib dari umur 9 tahun. Di Swiss Perancis, bahasa Jerman juga mulai diajarkan dari umur 9 tahun. Di Swiss-Italia, anak sekolah harus belajar bahasa Jerman dan Perancis, tapi boleh melepaskan bahasa Perancis ketika mulai belajar Bahasa Inggris pada tingkat 8.*

Kalau ada yang tanya, bagaimana orang Swiss yang berbahasa ibu lain berkomunikasi dengan satu dan lainnya. Idealnya setiap orang Swiss minimal bisa mengerti satu bahasa nasional lainnya, namun banyak orang Swiss-Romande atau Swiss-Italia yang tidak bisa berbahasa Jerman, terlepas berapa lamanya bahasa ini diajarkan di sekolah. Teman-teman saya mengeluh tentang rumitnya bahasa ini dan sistem pengajarannya yang tidak menarik dan edukatif. Kalau sudah begini, biasanya Inggris menjadi alat komunikasi. Penguasaan bahasa Inggris naik pesat, terutama di kalangan pelajar, dan di dunia profesional, Inggris sudah hampir menjadi keharusan.

Terlepas dari 'masalah' komunikasi antar canton yang berbeda bahasa, budaya multilangual membuat hampir seluruh produk mencantumkan label dalam bahasa Jerman, Perancis, dan Italia, atau minimal Jerman dan Perancis. Seluruh dokumen resmi selalu diterjemahkan dalam bahasa yang digunakan di canton bersangkutan. Budaya multilingual ini sangat menarik bagi saya. Tanda-tanda di transportasi antar kota (seperti kereta) selalu dalam 3 bahasa. Uang kertas mencantumkan nilai uang dalam 4 bahasa dan di beberapa pengumuman penting atau dokumen publik, nama negara Swiss pun dicantumkan dalam 4 bahasa, Schweiz - Suisse - Svizzera - Svizra.*

Saya pernah tinggal di canton yang bilingual, Fribourg. Cukup aneh! Bayangkan, semua tanda di jalan terdiri dari dua bahasa, dan orang dengan gampangnya bicara dalam 2 bahasa. Fribourg pun terbagi dua, antara daerah berbahasa Perancis dan daerah berbahasa Jerman, tanda perbatasannya sebuah jembatan tua. Berhubung canton ini bilingual, biasanya mahasiswa asing yang mau belajar di Swiss akan dikirim ke canton ini untuk belajar bahasa Jerman atau Perancis. Seperti halnya saya waktu baru dateng. Ribetnya, temen sebelah kamar saya di dormitory waktu itu dikirim untuk les Jerman. Dia orang Korea dan tidak bisa berbahasa Inggris. Jadi sering banget kita berdua mati kutu ketika harus berkomunikasi, saya hanya bisa bahasa Inggris dan Perancis, dia hanya bisa bahasa Korea dan Jerman. Jadi kita pun berbahasa isyarat!

Sistem federasi memberikan autonomy buat setiap canton dalam hal pemerintahan. Seperti dijelaskan oleh swissworld.org, "Each canton has its own constitution, its government, its parliament, its courts and its laws, though they must, of course, be compatible with those of the Confederation. The cantons enjoy a great deal of administrative autonomy and freedom of decision-making. They have independent control over their education systems and social services, and each has its own police force. Each canton also sets its own level of taxation."*

Beda banget kan dengan Indonesia, yang semuanya ditentukan oleh pusat. Di sini canton punya peranan yang sangat penting, dan pemilihan cantonal parliament dianggap sama pentingnya dengan pemilihan anggota kabinet pusat. Lucunya karena pendidikan ditentukan oleh canton, antara canton yang satu dengan yang lainnya kadang lama sekolah tidak sama. Ada yang SMA sampai 4 tahun dan ada yang SMA cuma 2 tahun. Jadi kadang ketika mereka bercampur sewaktu kuliah (karena banyak yang pindah canton untuk melanjutkan kuliah), umur para pelajar baru pun beragam. Jenewa sendiri termasuk salah satu canton yang pendidikan dasarnya cukup lama.

*Narasumber: Swissworld.org
**Picture by Ricardo de la Riva at Genève Tourisme

Wednesday, January 04, 2006

Komentar: The Constant Gardener


Kemarin habis nonton The Constant Gardener, film terbaru Ralph Fiennes dan si cantik Rachel Weisz. Film ini adaptasi dari novel pengarang terkenal berkebangsaan Inggris, John Le Carré. Komentar saya, 6 out of 6!

Tema cerita yang sangat menarik, gabungan antara thriller dan kisah cinta mendalam dengan latar belakang konspirasi perusahaan obat-obatan dan usaha bantuan internasional di Afrika. Cerita yang berpusat pada usaha seorang diplomat muda Inggris, Justin Quayle, mencari tahu sebab kematian istrinya yang idealis dan berjiwa aktivis, Tessa. Tessa yang sangat passionate akan masalah AIDS di Afrika ternyata menapak satu langkah terlalu jauh dan akhirnya terlibat dalam konspirasi perusahaan obat-obatan, dan dibunuh di tengah-tengah danau gersang.

Film ini film yang 'pintar' dan juga 'menantang'. Pintar dalam arti banyak adegan yang terbuka akan berbagai asumsi penontonnya, menantang dalam arti penyajian tema 'berat' sangat mengguncangkan hati dan membuat kita bertanya tentang moralitas manusia. Melihat penderitaan Afrika dari suatu sudut yang dikatakan fiksi namun membuat kita meragukan apakah benar semua ini hanya dalam khayalan belaka. Seperti komentar teman saya, "what is worse, it may not be all that fiction."

Pemandangan dan musik latar belakang bernuansa Afrika membawa kita ke dunia lain. Totally superb. Sedangkan jalan cerita yang campuran flash-back, berhasil mempertahankan suspense dari awal sampai akhir film. Good cinematography combined with wicked theme and mystery.

Watch it, you won't regret any second of it. Although you might find yourself stay sitting there, clutching your seat, few minutes after the movie, look aghast and don't know whether you should feel sad or angry.

Monday, January 02, 2006

Selamat datang di Indonesia, siapkan kocek anda

Sewaktu roda pesawat mendarat di lapangan terbang Soekarno Hatta, langsung mengucapkan Alhamdulillah. Selamat saya sampai di Indonesia. Ternyata kekuatiran saya sebelum berangkat nggak berarti apa-apa.

Melangkah keluar pintu pesawat..wusss..angin panas menerpa wajah dan tubuh. Edan..30 derajat..puanas, silau.. halo matahari!

Menapakkan kaki di bandara , mereka yang para orang asing langsung berburu visa masuk Indonesia. Kadang malu juga sih ngeliatnya, orang berkunjung kok langsung dimintain uang. Iya..iya..buat pemasukan negara, tapi tetep aja malu.

Cepet-cepet ke bagian imigrasi dan langsung pasrah ngeliat antrian yang selalu ramai. Langsung sibuk nyiapin paspor, berbagai formulir yang selalu dibagiin di pesawat jurusan Jakarta, dan formulir waktu saya berangkat dari Jakarta terakhir kalinya.

Pemerintah Indonesia paling jagoan deh kalau masalah formulir. Birokrasi kayaknya paling hobi ngumpulin formulir, tapi kadang kok buang-buang kertas ya. Begini, setiap orang yang mau masuk ke Jakarta harus mengisi formulir, asing ataupun WNI. Formulirnya selalu terdiri dari 2 bagian yang bisa dirobek. Tapi sebenernya waktu masuk ke Indonesia, WNI nggak perlu ngisi formulir, dan formulir yang sudah diisi sambil miring2 di pesawat itu nggak pernah diminta oleh pihak imigrasi! Formulir masuk Indonesia itu penting bagi WNA, karena bagian yang diberikan kembali kepada si pengunjung adalah bukti masuk negara Indonesia yang akan diminta kembali sewaktu pengunjung tersebut meninggalkan Indonesia. Sedangkan formulir yang dibutuhkan bagi WNI yang pulang ke Indonesia adalah formulir yang sama tapi yang diisi waktu WNI tersebut berangkat keluar dari Indonesia! Formulirnya sama persis, tapi waktu pengisiannya berbeda dan maksudnya pun berbeda. Formulir kedatangan dan formulir keberangkatan. Formulir keberangkatan tersebut dijadikan alat kontrol lamanya seorang WNI meninggalkan Indonesia. Jadi buat apa WNI mengisi formulir kedatangan, tidak pernah diperiksa, dan buang-buang kertas kan.

Guna formulir keberangkatan juga nggak jelas. Bayangkan, anda harus menyimpan selembar kertas dalam paspor anda selama bertahun-tahun. Kemungkinan hilangnya besar banget! (pengalaman pribadi lagi) Apalagi kalau paspor tersebut sering dibawa-bawa dalam berbagai perjalanan selama anda di luar negeri. Kalau mau mengontrol kapan si pemegang paspor keluar Indonesia kan tidak hanya formulir itu yang dicap, lembar paspor kan juga ikutan dicap. Saya sampai ngedumel sama temen sebangku di pesawat. Kita pun sampai ke kesimpulan kalau formulir sialan itu hanyalah channel buat pihak imigrasi marah-marah dan dapet seseran.

Untuk yang punya kenalan petugas imigrasi, saya mohon maaf, tapi ini beneran. Saya pernah dibentak-bentak di depan orang banyak karena kehilangan formulir kedatangan (iyalah, 2 tahun sudah itu kertas ada di tangan saya). Untung si bapak* masih tersentuh oleh senyum manis dan puppy eyes saya. Pelajaran yang sangat berharga, karena semenjak itu, kertas itu saya klip di paspor. Tapi pas ngantri kemarin, beberapa anak muda yang antri di depan saya ternyata kehilangan si formulir. Saya sudah siap-siap kasihan, tahu kalau mereka bakal dimarah-marahin, tapi saya jadi lebih kasihan lagi karena mereka malah nggak boleh lewat imigrasi sama sekali. Mereka langsung disuruh ke ruang interogasi imigrasi di samping loket pemeriksaan. Saya langsung berpikir buruk, berapa dalamkah mereka harus menguras kocek?

Hikmah cerita: kalau berangkat ke luar negeri, setiap formulir yang dikasih oleh pihak bandara atau imigrasi Jakarta harus disimpan dengan baik. Kadang selembar kertas bisa memperlancar pemeriksaan imigrasi dan membuat petugas imigrasi yang sudah siap nyemprot jadi menelan berbagai kecaman yang udah diprogram.

*Saya lebih senang berhadapan dengan bapak-bapak petugas imigrasi daripada ibu-ibu. Entah kenapa ibu-ibu kok lebih galak ke sesama perempuan. Tapi sempet sebal juga sih sewaktu digodain sama mas-mas petugas imigrasi, pakai nanya alamat rumah segala. Ya amplop..ini badan udah rontok dan lengket malah diajakin ngobrol!

Masih tentang bandara

Cerita tentang pulang kampungnya dilanjutkan lagi.

Perjalanan ke Indonesia kali ini ternyata berbeda dengan sebelumnya. Biasanya kalau saya naik KLM Geneva-Jakarta, rutenya Geneva-Amsterdam, Amsterdam-Singapore, Singapore-Jakarta. Tapi kali ini transit di Asia bukan di Changi Singapore, melainkan Kuala Lumpur Malaysia.

Seneng, karena dapet kesempatan untuk menapakkan kaki di Malaysia, walaupun cuma di bandara. Lumayan. Lagian saya pengen lihat kayak apa sih bandara Kuala Lumpur. Sambil mengantuk saya pun keluar pesawat yang mau dibersihin ke bandara untuk melemaskan kaki selama 30 menit. Sampai di pintu gerbang bandara saya dikagetkan oleh perintah dalam bahasa melayu campur Inggris atau Inggris campur melayu. Buset dah..ini Mbak ngomong apaan sih? Pas dia lihat saya terbengong bingung dia pun mengulang perintahnya dalam bahasa melayu. Bukannya tambah mubeng malah tambah bingung. Saya musti balik ke gate nomor berapa sih?

Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia katanya serumpun, tapi kalau saya harus mencoba mengerti orang Malaysia, saya angkat tangan langsung tiarap. Kayaknya mereka orang yang sibuk sekali ya, sampai waktu bicara pun disingkat-singkat. Banyak kata yang dipotong dan langsung dirangkai dengan kata berikutnya, rapper musti belajar sama orang Malaysia nih. Bahasa Inggris mereka pun ajaib untuk telinga saya. Udah logatnya kental, ngomongnya cepet banget lagi.

Langsung inget obrolan dengan orang Malaysia yang ketemu di sini. Waktu dia ngeliat saya terpana jiwa ngedengerin dia ngoceh dalam bahasa Melayu, dia langsung ketawa dan mengulang dengan lebih lambat. Terus dia komentar, "Awak, Orang Indonesia, kalau ngomong patah-patah ya..aneh." Kalau ada temen Indonesia saya di situ pasti langsung pingsan. Wong saya ini sering dinobatkan jadi rapper gagal, sangking kalo ngomong cepet banget.

Balik ke pemantauan bandara, bandara Kuala Lumpur designnya cukup futuristik. Lapang, terang, dan minimalis. Lantainya marmer yang mengkilat, bersih dan mungkin juga karena efek lampu. Saya langsung ngacir ke kamar kecil. Saya memang paling hobi meriksa kamar kecil di setiap bandara, mau komentar tentang standar kebersihan tentunya.

Pertama ngikik dulu sebentar, karena kamar kecil bahasa Melayunya 'tandas'. Waktu saya masuk si 'tandas', saya cukup kuciwa. Waduh..ternyata lantainya nggak semengkilat yang di depan. Wangi karbol yang selalu menyelubungi kamar kecil Changi diganti sama 'wangi' yang lain. Lantainya pun tidak kering, dan tombol flushnya mana ini? Ini otomatis kayak di Schiphol apa enggak sih? Nemu-nemu ternyata si flush adalah tombol kecil (sumpah kecil banget) di samping radar wanna-be. Masalah WC, Changi masih yang paling top se-Asia (tapi saya memang belum pernah ke HongKong atau Jepang sih). Kalau Eropa, persaingan antara Oslo airport sama Zurich airport cukup ketat. Schiphol sih kalah jauh, cuma menang di otomatic flush (yang sebenernya cukup merepotkan dalam segi timing) aja.

Jadi punya proyek masa depan nih. Mau motret interior design tiap bandara yang saya kunjungi dan bikin studi banding tentang kebersihan kamar kecil di bandara-bandara internasional.

Ada yang mau berbagi pengalaman tentang bandara? Akan diterima dengan bahagia dan diberi senyum tulus. Kalau ada yang punya poto boleh dituker ama penjepit kertas Swiss. Ayo...cepat kirim untuk menangkan penjepit kertas mungil dan cantik. Kirim 10 bisa dituker dengan gelas...serius.

Sunday, January 01, 2006

Cinta itu universal

Komedi romantis, suka banget. Ada yang bilang dangkal, tapi ketika hati lagi sendu atau sebal dengan dunia, melihat suatu cerita cinta yang happy-ending, membuat hati jadi hangat. Sebentar dan superficial memang, tapi setiap senyum itu permata.

Habis nonton Love Actually jadi mikir betapa seringnya perayaan natal dikaitkan dengan cinta. Christmas is about love. Pernah denger kalimat tersebut? Sederhana, indah, tapi langsung menghangatkan hati. Karena cinta itu universal.

Makanya waktu banyak pihak yang mengeluhkan bagaimana masyarakat non-Kristiani terhayut atau dibilang ikut-ikutan merayakan natal yang nota bene bukan hari rayanya dan berbuat dosa dengan mengucapkan Selamat Natal, saya jadi berpikir, mungkinkah mereka terhayut karena hangatnya perayaan cinta tersebut? Tentu..tentu..selalu ada unsur konsumerisme dibalik perayaan apapun, dan mungkin advertising team berhasil banget dalam 'menggunakan' tema cinta untuk natal. Tapi universalnya cinta membuat perayaan Natal pun jadi lebih universal.

Tinggal di negara yang mayoritas penduduknya beragama nasrani dan perayaan natal merupakan suatu perayaan wajib, membuat saya merasakan suasana Natal. Setiap sudut jalan mengingatkan saya bahwa sebentar lagi tanggal 25 Desember. Dan kegiatan mencari kado atau menebak kado yang akan diterima pun membuat saya ikut-ikutan menanti Santa. Yup..di sini Natal pun sudah jatuh terjerembab di dalam lubang konsumerisme.

Poster-poster natal penuh dengan tema cinta, dan film-film natal pun penuh dengan tema cinta. Makanya saya sampai ke kesimpulan bahwa natal bisa dilihat sebagai perayaan cinta. Indahnya cinta, membuat indahnya natal dapat dirasakan juga oleh mereka yang non-nasrani.

Jadi kalau ada ortu yang komentar ngapain sih nonton-nonton film barat bertemakan Natal, bukannya mereka harus bersukur bahwa tema cinta tetap menyentuh hati anaknya. Bukannya dimarahi dan diceramahi bahwa itu film orang Kristen, tapi lebih baik ditonton tema cintanya.

Kadang saya suka mengeluh dalam hati, kenapa lagu-lagu Islami tidak seperti lagu-lagu natal. Kenapa lagu-lagu Islami tidak ada yang 'fun, funky, and romantic?' (atau saya nya aja yang nggak tahu). Sebagai seorang muda yang terpengaruh berbagai budaya dan perjalanan waktu, musik natal bertema cinta mungkin akan lebih mudah untuk digemari.

Apakah cinta sesuatu yang tidak patut dirayakan dalam Islam? Bukankah Nabi Muhammad sendiri mencintai umatnya dan kita selalu diingatkan untuk mencintai beliau? Dan alangkah indahnya ayat-ayat cinta Khalil Gibran. Islam juga penuh dengan cinta. Atau ini salah budaya Indonesia, yang menabukan pernyataan cinta atau ekspresi cinta? Bukankah cinta yang membuat seorang manusia berbeda dengan binatang. Cinta adalah awal segalanya. Cinta membuat seseorang kuat, tangguh, berjuang, dan berhasil.

Inginnya saya merasakan dan merayakan sisi romantis Islam. Untuk saat ini, biarkanlah saya menikmati "All I Want For Christmas is You".