Cerita sebuah perjalanan singkat
Saya harap ada yang bertanya-tanya, kemanakah si empunya blog selama beberapa hari terakhir? (Terima kasih Ollie, saya terharu jiwa ngedenger ada yang kangen sama saya...hihihi :))
Jawabannya: saya akhirnya harus terpaksa pergi ke negara Paman Sam, selama seminggu, karena menghadiri sebuah konferensi untuk para geek.
Kok terpaksa? Terpaksa, karena dari dulu saya memang tidak ingin menginjakkan kaki di negara yang pemerintahnya memiliki kebijakan luar negeri yang sungguh bertentangan dengan idealisme saya. Juga karena saya banyak mendengar cerita diskriminasi berkaitan dengan imigrasi. Tapi, mau bagaimana juga Amerika memang negara penting, termasuk dalam bidang akademik. Jadi, mau tidak mau, saya harus pergi.
Sungguh banyak pengalaman yang saya dapat gara-gara pergi ke Amerika. Dari yang menunggu di luar gerbang kedutaan selama 2 jam lebih untuk interview visa, terlepas dari kenyataan bahwa saya sudah punya janji yang ditetapkan oleh pihak kedutaan sendiri, sampai harus mendengarkan 3 orang Amerika yang tidak capek-capeknya berbicara di kursi belakang saya di pesawat. Membuat saya sama sekali tidak bisa tidur selama perjalanan dari Amsterdam ke Minneappolis!
Saya harus akui, perjalanan kali ini penuh kesan. Sebal, letih, was-was, dan heran. Dari kunjungan singkat saya selama seminggu, saya akhirnya bisa lebih mengerti para orang Amerika yang saya temui di sini. Saya juga jadi lebih mengerti teman-teman saya yang 'terpukau' akan Amerika, walaupun saya sendiri tidak terpesona akan megahnya negara ini.
Kesan pertama, orang-orang di sana senang sekali berbicara. Seperti yang saya bilang di atas, dalam perjalanan Amsterdam-Minneapolis, tiga orang di belakang saya berbicara non-stop. Selama 8 jam! Ingin rasanya menengok ke belakang dan membentak, can you please shut up! Benar-benar pengalaman total the American small talk.
Banyak yang bilang ini menandakan orang Amerika lebih ramah daripada orang Eropa yang sangat jarang mau berbicara dengan orang yang tidak mereka kenal. Tapi entah kenapa, saya merasa 'keramahan' ini agak agresif dan sangat artifical.
Masuk toko atau restoran, setiap orang langsung dibombardir dengan sapaan (yang kadang memekakkan telinga), Hi, how are you today? Did you have a nice evening? So what can I do to help you? Disambut dengan sapaan bertubi-tubi seperti ini jam 7 pagi dengan jet lag, membuat saya terkaget-kaget!
Nada bicara si penyapa selalu ramah dan cool, tapi menurut saya mengurangi kesopanan yang biasa saya temukan di sini. Belum lagi ketika transaksi diakhiri dengan Thank you honey. Glad to serve you. Walaupun yang ngomong ibu-ibu, saya kok rada risih. Atau ketika yang melayani seorang pemuda, dia akan melontarkan, There you go, thanks a lot, dengan nada yang sungguh santai dan akrab.
Apakah saya sudah terlalu tua dan kaku? Tapi sikap cool dan akrab tidak bisa memberikan justifikasi atas keteledoran dalam memberikan pelayanan. Lebih baik rasanya bersikap formal dan sopan, tapi pelayanan sempurna, daripada cool tapi teledor.
Lucunya, satu kali, ketika saya selesai menyantap hidangan, dan berusaha untuk mengucapkan terima kasih kepada pelayan dalam perjalanan keluar restoran, si pelayan yang super duper ramah dalam menyambut, jadi cuek berat dan tidak mendengarkan sama sekali pernyataan terima kasih saya. Hmmm...jadi ramahnya tadi itu hanya palsu belaka toh?
Percakapan di dalam restoran pun kadang seperti di pasar ayam. Rusuh! Pagi-pagi, di sini, biasanya orang akan menikmati croissant dan kopi hangat sambil membaca koran, di sana satu restoran sahut menyahut seakan saingan dalam berbicara. Di Jenewa, berbicara di tempat umum pun tidak jerit-jerit, karena pembicaraan antara dua orang harusnya hanya perlu didengar oleh kedua orang tersebut, bukan seluruh ruangan. Saya rasa masyarakatnya memiliki konsep privasi yang sungguh berbeda dengan masyarakat yang saya temui di Jenewa.
Kesan kedua: dibandingkan dengan Jenewa, San Diego kurang 'berjiwa'. Kota San Diego jauh lebih besar, jalan, bangunan dan berbagai infrastruktur jauh lebih besar dan luas, tapi kurang berkesan.
Bangunan selalu besar dan megah, imposing but not impressive. Gaya arsitektur bangunan yang saya temui tidak mempesona, layaknya kota tua Jenewa atau Roma. Memang tidak bisa dibandingkan, yang satu modern yang lain abad pertengahan. Tapi tetap saja, bangunan modern pun kalau memang arsitekturnya indah tetap bisa membuat para pengunjung terpana.
Paling tidak, tata kota cukup menarik dengan berbagai deretan pohon palem di pinggir jalan.
Sewaktu jalan-jalan menyusuri pelabuhan, saya melihat iklan dimana satu restoran sangat bangga dengan kenyataan bahwa ia sudah berdiri semenjak 1945. Saya langsung tersenyum, dan kemudian sadar akan 'muda'nya negara tersebut dibandingkan dengan Eropa. Di sini, iklan yang menampilkan tahun berdiri biasanya diawali dengan 18...atau bahkan 17.. Abad 20 tidak dianggap kuno atau tua.
I think a modern and urban city is really not for me.
Kesan ketiga: kota San Diego penuh dengan mobil tapi tidak mobile. Kenapa? Karena transportasi umum benar-benar terbatas.
Trolley (tram) hanya melayani sebagian kecil daerah, dan jadwalnya sungguh membuat saya nelangsa. 15-25 menit sekali! Dalam hati, di Indonesia saja saya tidak perlu menunggu segini lamanya. Lha di sini, yang katanya negara terkaya di dunia, kok harus seperti ini?
Salah satu teman Amerika saya pun menjelaskan kalau California memiliki budaya bermobil. Mobil merupakan ukuran kesuksesan seseorang, dan setiap orang dianggap punya mobil. Jadi, transportasi umum tidak perlu dikembangkan. Bahkan perusahaan General Mobil (tahunnya dikasih tahu, tapi saya lupa), membeli perusahaan trolley dan menghancurkan sebagian besar trolley untuk 'membujuk' masyarakat membeli dan tergantung akan mobil.
Pantas saja Amerika tidak mau menandatangani Kyoto Protocol. Wong, masyarakatnya saja sangat tergantung akan mobil. Kemana-mana harus menyetir mobil, dan terlebih lagi saya lihat mereka gemar sekali akan mobil besar yang tentunya boros energi. Mobil-mobil di kota ini ukurannya jauh lebih besar dari mobil-mobil yang saya temui di Jenewa. Wajar...mobil ukuran Dodge mana bisa dipakai di jalan kota Jenewa yang jauh lebih sempit.
Satu tanda bahwa orang-orang di San Diego tergantung sama mobil mereka: hampir tidak ada orang yang berjalan kaki. Saya dan Xaf tetep bersikukuh naik transportasi umum dan kemudian berjalan 30 menit ke kebun binatang dari stopan bis. Selama perjalanan tersebut, hampir tidak ada pejalan kaki, kecuali pengemis dan gelandangan!
Berbeda sekali dengan Jenewa, dimana ketika cuaca cerah, trotoar dan taman selalu dipenuhi dengan pejalan kaki yang menikmati pemandangan kota. Saya pun berpikir jahat, pantas saja masyarakat Amerika memiliki masalah obesitas. Jalan kaki saja malas.
Ini membuat saya beralih ke kesan keempat: saya menemui jauh lebih banyak kasus obesitas daripada di Jenewa atau Indonesia. Melihat gaya konsumsi makanan yang tidak sehat dan berlebih-lebihan, saya pun tidak heran lagi.
Porsi makanan sungguh besar dan kurang sehat. Di menu disebut, burger with salad, onion, tomato slices and french fries. Di piring, daging burger sebesar telapak tangan dan setebal 3 cm diapit oleh 2 potong roti, ditemani oleh satu lembar selada, satu iris tomat dan satu iris bawang yang terletak di samping si burger raksasa, ditambah setumpuk besar kentang goreng, yang panjangnya membuat saya bertanya-tanya sebesar apakah kentangnya.
Saya pun berkomentar, pantas saja banyak masalah berat badan. Daging 100 gram ditemani satu lembar salad kan tidak seimbang. Lagian, perut normal mana bisa memasukkan semua makanan sebanyak ini?
Yang lebih parah lagi, semua makanan Amerika yang saya cicipi benar-benar tidak ada rasa. Kentang goreng tidak ada rasa kentang, telur dadar hambar, kejunya lebih hambar dari mozarella, bahkan kopinya pun hambar. Ternyata kuantitas memang lebih diutamakan daripada kualitas.
Sewaktu profesor saya komentar kalau saya harusnya pergi ke restoran asing, yang menurut dia menyuguhkan makanan yang kadang lebih enak daripada di negara asalnya, saya pun membatin, tidak semua orang punya dompet setebal seorang profesor.
Inilah intinya. Untuk bisa hidup enak dan nyaman di Amerika harus punya uang banyak. Kalau punya uang banyak, bisa makan enak dan bergizi, dan bisa pergi kemana pun kapan pun, tanpa terbatasi oleh jarak. Punya uang sedikit artinya tidak bisa hidup layak. Beda dengan Jenewa. Di sini, punya uang banyak pasti lebih nyaman, tapi tidak punya uang banyak tidak berarti tidak bisa hidup layak.
Makanan sehat dan enak terjangkau oleh kocek pelajar. Mau rekreasi dengan teman dan keluarga tidak perlu membobok tabungan, cukup naik bis atau jalan kaki ke taman kota. Tidak punya mobil pun tidak membatasi seseorang untuk bepergian. Bis menjangkau hampir seluruh pelosok kota. Mau hiking ke gunung tinggal naik kereta 15 menit, langsung sampai.
Seminggu di San Diego membuat saya sadar akan miripnya kota tersebut dengan kota besar di Indonesia. Uang menentukan segalanya, dan kesenjangan antara golongan cukup menyolok mata. Miris rasanya melihat para gelandangan dan pengemis di jalan yang memohon uang kecil untuk makan siang, sedangkan di dalam restoran makanan dihidangkan dengan porsi besar-besaran yang sisanya banyak kemudian berakhir di tong sampah.
Jawabannya: saya akhirnya harus terpaksa pergi ke negara Paman Sam, selama seminggu, karena menghadiri sebuah konferensi untuk para geek.
Kok terpaksa? Terpaksa, karena dari dulu saya memang tidak ingin menginjakkan kaki di negara yang pemerintahnya memiliki kebijakan luar negeri yang sungguh bertentangan dengan idealisme saya. Juga karena saya banyak mendengar cerita diskriminasi berkaitan dengan imigrasi. Tapi, mau bagaimana juga Amerika memang negara penting, termasuk dalam bidang akademik. Jadi, mau tidak mau, saya harus pergi.
Sungguh banyak pengalaman yang saya dapat gara-gara pergi ke Amerika. Dari yang menunggu di luar gerbang kedutaan selama 2 jam lebih untuk interview visa, terlepas dari kenyataan bahwa saya sudah punya janji yang ditetapkan oleh pihak kedutaan sendiri, sampai harus mendengarkan 3 orang Amerika yang tidak capek-capeknya berbicara di kursi belakang saya di pesawat. Membuat saya sama sekali tidak bisa tidur selama perjalanan dari Amsterdam ke Minneappolis!
Saya harus akui, perjalanan kali ini penuh kesan. Sebal, letih, was-was, dan heran. Dari kunjungan singkat saya selama seminggu, saya akhirnya bisa lebih mengerti para orang Amerika yang saya temui di sini. Saya juga jadi lebih mengerti teman-teman saya yang 'terpukau' akan Amerika, walaupun saya sendiri tidak terpesona akan megahnya negara ini.
Kesan pertama, orang-orang di sana senang sekali berbicara. Seperti yang saya bilang di atas, dalam perjalanan Amsterdam-Minneapolis, tiga orang di belakang saya berbicara non-stop. Selama 8 jam! Ingin rasanya menengok ke belakang dan membentak, can you please shut up! Benar-benar pengalaman total the American small talk.
Banyak yang bilang ini menandakan orang Amerika lebih ramah daripada orang Eropa yang sangat jarang mau berbicara dengan orang yang tidak mereka kenal. Tapi entah kenapa, saya merasa 'keramahan' ini agak agresif dan sangat artifical.
Masuk toko atau restoran, setiap orang langsung dibombardir dengan sapaan (yang kadang memekakkan telinga), Hi, how are you today? Did you have a nice evening? So what can I do to help you? Disambut dengan sapaan bertubi-tubi seperti ini jam 7 pagi dengan jet lag, membuat saya terkaget-kaget!
Nada bicara si penyapa selalu ramah dan cool, tapi menurut saya mengurangi kesopanan yang biasa saya temukan di sini. Belum lagi ketika transaksi diakhiri dengan Thank you honey. Glad to serve you. Walaupun yang ngomong ibu-ibu, saya kok rada risih. Atau ketika yang melayani seorang pemuda, dia akan melontarkan, There you go, thanks a lot, dengan nada yang sungguh santai dan akrab.
Apakah saya sudah terlalu tua dan kaku? Tapi sikap cool dan akrab tidak bisa memberikan justifikasi atas keteledoran dalam memberikan pelayanan. Lebih baik rasanya bersikap formal dan sopan, tapi pelayanan sempurna, daripada cool tapi teledor.
Lucunya, satu kali, ketika saya selesai menyantap hidangan, dan berusaha untuk mengucapkan terima kasih kepada pelayan dalam perjalanan keluar restoran, si pelayan yang super duper ramah dalam menyambut, jadi cuek berat dan tidak mendengarkan sama sekali pernyataan terima kasih saya. Hmmm...jadi ramahnya tadi itu hanya palsu belaka toh?
Percakapan di dalam restoran pun kadang seperti di pasar ayam. Rusuh! Pagi-pagi, di sini, biasanya orang akan menikmati croissant dan kopi hangat sambil membaca koran, di sana satu restoran sahut menyahut seakan saingan dalam berbicara. Di Jenewa, berbicara di tempat umum pun tidak jerit-jerit, karena pembicaraan antara dua orang harusnya hanya perlu didengar oleh kedua orang tersebut, bukan seluruh ruangan. Saya rasa masyarakatnya memiliki konsep privasi yang sungguh berbeda dengan masyarakat yang saya temui di Jenewa.
Kesan kedua: dibandingkan dengan Jenewa, San Diego kurang 'berjiwa'. Kota San Diego jauh lebih besar, jalan, bangunan dan berbagai infrastruktur jauh lebih besar dan luas, tapi kurang berkesan.
Bangunan selalu besar dan megah, imposing but not impressive. Gaya arsitektur bangunan yang saya temui tidak mempesona, layaknya kota tua Jenewa atau Roma. Memang tidak bisa dibandingkan, yang satu modern yang lain abad pertengahan. Tapi tetap saja, bangunan modern pun kalau memang arsitekturnya indah tetap bisa membuat para pengunjung terpana.
Paling tidak, tata kota cukup menarik dengan berbagai deretan pohon palem di pinggir jalan.
Sewaktu jalan-jalan menyusuri pelabuhan, saya melihat iklan dimana satu restoran sangat bangga dengan kenyataan bahwa ia sudah berdiri semenjak 1945. Saya langsung tersenyum, dan kemudian sadar akan 'muda'nya negara tersebut dibandingkan dengan Eropa. Di sini, iklan yang menampilkan tahun berdiri biasanya diawali dengan 18...atau bahkan 17.. Abad 20 tidak dianggap kuno atau tua.
I think a modern and urban city is really not for me.
Kesan ketiga: kota San Diego penuh dengan mobil tapi tidak mobile. Kenapa? Karena transportasi umum benar-benar terbatas.
Trolley (tram) hanya melayani sebagian kecil daerah, dan jadwalnya sungguh membuat saya nelangsa. 15-25 menit sekali! Dalam hati, di Indonesia saja saya tidak perlu menunggu segini lamanya. Lha di sini, yang katanya negara terkaya di dunia, kok harus seperti ini?
Salah satu teman Amerika saya pun menjelaskan kalau California memiliki budaya bermobil. Mobil merupakan ukuran kesuksesan seseorang, dan setiap orang dianggap punya mobil. Jadi, transportasi umum tidak perlu dikembangkan. Bahkan perusahaan General Mobil (tahunnya dikasih tahu, tapi saya lupa), membeli perusahaan trolley dan menghancurkan sebagian besar trolley untuk 'membujuk' masyarakat membeli dan tergantung akan mobil.
Pantas saja Amerika tidak mau menandatangani Kyoto Protocol. Wong, masyarakatnya saja sangat tergantung akan mobil. Kemana-mana harus menyetir mobil, dan terlebih lagi saya lihat mereka gemar sekali akan mobil besar yang tentunya boros energi. Mobil-mobil di kota ini ukurannya jauh lebih besar dari mobil-mobil yang saya temui di Jenewa. Wajar...mobil ukuran Dodge mana bisa dipakai di jalan kota Jenewa yang jauh lebih sempit.
Satu tanda bahwa orang-orang di San Diego tergantung sama mobil mereka: hampir tidak ada orang yang berjalan kaki. Saya dan Xaf tetep bersikukuh naik transportasi umum dan kemudian berjalan 30 menit ke kebun binatang dari stopan bis. Selama perjalanan tersebut, hampir tidak ada pejalan kaki, kecuali pengemis dan gelandangan!
Berbeda sekali dengan Jenewa, dimana ketika cuaca cerah, trotoar dan taman selalu dipenuhi dengan pejalan kaki yang menikmati pemandangan kota. Saya pun berpikir jahat, pantas saja masyarakat Amerika memiliki masalah obesitas. Jalan kaki saja malas.
Ini membuat saya beralih ke kesan keempat: saya menemui jauh lebih banyak kasus obesitas daripada di Jenewa atau Indonesia. Melihat gaya konsumsi makanan yang tidak sehat dan berlebih-lebihan, saya pun tidak heran lagi.
Porsi makanan sungguh besar dan kurang sehat. Di menu disebut, burger with salad, onion, tomato slices and french fries. Di piring, daging burger sebesar telapak tangan dan setebal 3 cm diapit oleh 2 potong roti, ditemani oleh satu lembar selada, satu iris tomat dan satu iris bawang yang terletak di samping si burger raksasa, ditambah setumpuk besar kentang goreng, yang panjangnya membuat saya bertanya-tanya sebesar apakah kentangnya.
Saya pun berkomentar, pantas saja banyak masalah berat badan. Daging 100 gram ditemani satu lembar salad kan tidak seimbang. Lagian, perut normal mana bisa memasukkan semua makanan sebanyak ini?
Yang lebih parah lagi, semua makanan Amerika yang saya cicipi benar-benar tidak ada rasa. Kentang goreng tidak ada rasa kentang, telur dadar hambar, kejunya lebih hambar dari mozarella, bahkan kopinya pun hambar. Ternyata kuantitas memang lebih diutamakan daripada kualitas.
Sewaktu profesor saya komentar kalau saya harusnya pergi ke restoran asing, yang menurut dia menyuguhkan makanan yang kadang lebih enak daripada di negara asalnya, saya pun membatin, tidak semua orang punya dompet setebal seorang profesor.
Inilah intinya. Untuk bisa hidup enak dan nyaman di Amerika harus punya uang banyak. Kalau punya uang banyak, bisa makan enak dan bergizi, dan bisa pergi kemana pun kapan pun, tanpa terbatasi oleh jarak. Punya uang sedikit artinya tidak bisa hidup layak. Beda dengan Jenewa. Di sini, punya uang banyak pasti lebih nyaman, tapi tidak punya uang banyak tidak berarti tidak bisa hidup layak.
Makanan sehat dan enak terjangkau oleh kocek pelajar. Mau rekreasi dengan teman dan keluarga tidak perlu membobok tabungan, cukup naik bis atau jalan kaki ke taman kota. Tidak punya mobil pun tidak membatasi seseorang untuk bepergian. Bis menjangkau hampir seluruh pelosok kota. Mau hiking ke gunung tinggal naik kereta 15 menit, langsung sampai.
Seminggu di San Diego membuat saya sadar akan miripnya kota tersebut dengan kota besar di Indonesia. Uang menentukan segalanya, dan kesenjangan antara golongan cukup menyolok mata. Miris rasanya melihat para gelandangan dan pengemis di jalan yang memohon uang kecil untuk makan siang, sedangkan di dalam restoran makanan dihidangkan dengan porsi besar-besaran yang sisanya banyak kemudian berakhir di tong sampah.