Ah..seandainya ada mesin waktu doraemon, saya ingin kembali ke tahun 1996. Kembali ke bangku kayu butut salah satu ruangan di ITB dan melingkari jurusan sastra dengan pensil 2B di lembaran formulir UMPTN.
Semakin lama saya berkutat dengan dunia ilmu politik dan memandangi berbagai tulisan tentang pemerintahan dan masyarakat, saya pun semakin jatuh cinta dengan yang namanya bahasa, atau politik bahasa untuk lebih tepatnya. Kalau yang cinta akan teori kelompok, pasti cinta juga akan politik bahasa. Politik bahasa karena bahasa diciptakan oleh manusia, untuk kepentingan manusia, dan berkembang bersama dengan manusia pencipta dan penggunanya. Terlepas dari ketidakaliman saya, saya percaya yang namanya ciptaaan pasti dilandasi oleh suatu ideologi atau tujuan. Begitu juga dengan bahasa.
Bahasa yang manusiawi tidak terlepas dari kebutuhan manusia akan sosialisasi dan ambisi manusia untuk menguasai yang lain. Sayang, terlalu sering bahasa dianggap sebagai normalitas, dan penggunaannya pun dilakukan tanpa dasar pemahaman. Bahasa dianggap sebagai paket kehidupan yang memang sudah
dari sononya, dan ketika suatu bahasa disisipi oleh ideologi tertentu, para penggunanya pun menelan si ideologi tanpa mengecap terlebih dahulu.
"Ahh...sok intelek loe pit. Kok cara orang ngomong aja eloe pikirin."
"Iya lah gue pikirin, wong cara orang ngomong itu sangat mencerminkan identitas orang tersebut. Baik identitas yang memang melekat, yang ingin diperlihatkan, ataupun identitas yang sedang dia bangun."
Terlalu abstrak? Saya kasih contoh.
Pasti kuping anda sekalian yang tinggal di kota besar sudah terlalu sering mendengar kalimat yang setengah ular setengah belut. Setengah Indonesia setengah Inggris. Para novel remaja ringan pun dipenuhi oleh gaya berbicara seperti ini. Fenomena apakah ini? Fenomena proses pemelukan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua? Saya pesimis.
Paling pantas disebut fenomena pembentukan suatu kelompok yang menganggap dirinya pintar dan berpengalaman dalam bertutur bahasa. Kan keren kalau menyisipkan kata-kata dalam bahasa Inggris, biar kelihatan cerdas dan lebih tahu begitu.
Ahh..ideologi pembentukan citra diri metropolitan. Muak saya.
Ilmu yang setengah-setengah lebih buruk daripada tidak tahu sama sekali. Setengah ini setengah itu, tapi tidak ada yang dikuasai sama sekali. Untuk apa? Yang ada malah kerancuan. Pembelajaran bahasa pun jadi kacau, pengucapan tidak diindahkan, dan otak pun tidak mau diajak untuk total dalam berbahasa.
Sebelum ada yang protes, kritik ini sudah saya ajukan ke diri saya sendiri. Dan saya sudah merasakan ruginya berbahasa setengah-setengah, atau kalau pakai istilahnya macchi,
franco-anglais. Kemampuan bahasa Inggris saya menurun dengan drastis, dan kadang kosa kata bahasa Inggris lenyap tergantikan oleh bahasa Perancis. Malu sekali rasanya ketika saya harus berbicara dalam bahasa Inggris dan menyisipkan kosa kata dalam bahasa Perancis. Sedangkan kemampuan bahasa Perancis saya sama sekali tidak bisa dibanggakan.
Yang lebih parah lagi, sikap pembentukan kelompok menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris memberikan citra buruk bagi bahasa Inggris sendiri. Bahasa Inggris dicap sebagai bahasanya orang sok, bahasa mereka yang seperti kacang lupa sama kulitnya. Kacau sudah. Bahasa pun tercoreng oleh penggunaannya yang dilandasi ideologi tertentu.
Salah satu anggota milis yang saya ikuti pernah melakukan percobaan sosiologi. Dia dan temannya bercakap-cakap dalam bahasa Inggris di dalam sebuah angkutan kota. Ternyata benar firasat dia, penumpang lain pun kemudian berkomentar sinis akan percakapan bahasa Inggris mereka. Dengan menggunakan bahasa daerah minang, penumpang lain mengutuk si anggota milis ini sebagai orang yang sok. Untungnya (?) si peneliti nekat ini bisa berbahasa minang, jadi mengertilah dia akan kutukan penumpang lainnya tersebut.
Sikap antipati seperti ini yang menarik bagi saya. Kenapa sampai berbahasa Inggris diidentikkan dengan keangkuhan? Ya jawabannya ada pada penggunaannya yang asal-asalan tadi. Pertanyaan kedua, kenapa masyarakat awam sampai antipati dengan bahasa Inggris? Jawabannya, ketidaktahuan akan berbuah ketakutan, ketakutan akan berbuah kebencian. Jadi bahasa Inggris dibenci karena masyarakat umum tidak bisa mengerti bahasa Inggris, sedangkan pengetahuan bahasa Inggris
dianggap hanya bisa didapat oleh mereka yang memiliki uang dan sarana, para kaum elit.
Kondisi struktural yang membatasi penyebaran bahasa Inggris dan penggunaannya dalam proses pembentukan kelompok para orang keren, membuat bahasa Inggris dibenci tapi ingin dimiliki. Kontradiksi, yang menurut saya, patut disadari oleh mereka pembenci dan pencinta bahasa Inggris.
Jadi jangan heran ketika saya langsung melotot dan tersinggung berat ketika salah satu teman saya berkomentar,
"Ah Pit, eloe lama di Eropa kok cara ngomongnya masih sama aja sih?" (tidak kebarat-kebaratan, red)
Langsung saya semprot,
"Eloe mau gue ngomong pake bahasa Perancis apa?!"
Saya cinta bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, jadi saya pun mencoba menghargai keduanya dalam penuturan saya. Lagipula saya menolak untuk dimasukkan ke dalam golongan para gadis/wanita metropolitan, saya tetap sadar kalau saya adalah orang kampung.
Lain lagi halnya dengan mereka yang mencampuradukkan kedua bahasa karena sudah terbiasa. Ini lebih gawat lagi, apalagi kalau mereka mengidap kebiasaan ini secara tidak sadar. Sadarkah mereka kalau kebiasaan ini bisa membiasakan otak mereka untuk rancu dalam berbahasa? Kerancuan yang kadang menghambat perkembangan kemampuan berbahasa mereka. Bagaimana tidak menghambat kalau otak tidak dipaksa untuk meletakkan kosa kata dalam bahasa yang berbeda ke dalam kotak yang berbeda pula?
Saya ambil contoh diri saya sendiri saja. Pernah sekali waktu saya belajar bahasa Perancis dan Jepang secara aktif (les, red) dalam waktu yang bersamaan, dan tetap belajar bahasa Inggris secara rutin. Saya sering merasa kebingungan ketika harus mengingat kosa kata dalam setiap bahasa. Otak saya terkadang letih dan menjadi 'lupa'. Nah, kalau saya menyerah pada keletihan saya dan hanya menggunakan kosa kata yang terlintas di kepala, kosa kata yang saat itu 'terlupakan' akan benar-benar terkubur dan terlupakan.
Untuk mereka yang sadar dalam berbicara campur-campur sih masih mendingan, namanya kan pilihan. Walau pilihannya tersebut didasarkan oleh satu ideologi yang berbeda (dari keren-kerenan), tetap saja mereka akan dipandang termasuk ke dalam kelompok tersebut. Pada akhirnya kemungkinan akan ikut memperburuk citra bahasa Inggris.
Atau ada mereka yang sudah lama melanglang buana dan menggunakan bahasa Inggris sehari-hari. Kosa kata Indonesia pun sudah usang dan terlupakan. Mereka kadang lebih nyaman berbicara dalam bahasa Inggris atau campur aduk seperti gado-gado. Saya tidak patut protes dalam hal ini. Tapi sayangnya tercorengnya bahasa Inggris pun membuat mereka ikut tercoreng.
Generalisasi. Pilihan mudah dalam memahami mereka yang berbeda. Hasilnya, ya tetap saja pelabelan sebuah kelompok, terlepas apakah pelabelan itu tepat sasaran atau tidak.
Tapi jangan salah, tidak hanya bahasa Inggris yang ditempeli ideologi tertentu dalam penggunaannya. Bahasa daerah, bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Latin juga sama.
-bersambung-