Sudut lain
Saya sekarang merasa seperti Hermione. Saya meneliti tentang Indonesia, bangsa dan negeri saya sendiri, dari literatur karangan mereka yang bukan orang Indonesia. Sungguh menarik ketika membaca bagaimana salah satu pengarang menggambarkan 'saving face policy' (jaga gengsi) sebagai salah satu budaya di masyarakat Indonesia. Menarik pula menyadari peranan pendidikan, terutama sejarah dan Bahasa Indonesia, dalam 'menciptakan' bangsa Indonesia.
Di lain pihak saya pun seperti tersentak ketika membaca tulisan tentang budaya kekerasan di Indonesia. Budaya kekerasan yang diciptakan dan didukung, tidak hanya oleh para preman, tapi juga oleh 'kelemahan' institusi kemasyarakatan dan kuatnya pengaruh para elite dalam memobilisasi masyarakat yang frustasi menghadapi berbagai perubahan cara hidup, imigrasi mereka yang 'sebangsa' tapi dari etnis yang lain, krisis ekonomi, kehilangan tanah dan mata pencaharian, dsb. Tulisan yang menganalisa tentang berbagai peristiwa kekerasan di Indonesia tidak hanya membuka mata saya tentang 'parahnya' kejadian berdarah di berbagai daerah, tapi juga bagaimana bangsa ini akhirnya jatuh ke lingkaran setan yang penuh dengan diskriminasi, kekerasan, kesenjangan sosial dan ekonomi, ignorance and indifference.
Terus terang saya malu, sadar bahwa selama ini sedikit sekali yang saya ketahui tentang negeri dan bangsa saya sendiri, sedangkan mereka yang orang asing tahu lebih banyak. Saya baru tahu kalau di Sumbawa peternak hanya boleh membiakkan sapi Bali, sedangkan di Lombok peternak bebas untuk memilih jenis sapi yang mau dipelihara. Saya baru tahu kalau ada monopoli dan rayonisasi yang sangat merugikan para petani kapas di Sulawesi Selatan. Saya baru tahu kalau monopoli kopra telah menguntungkan pabrik minyak goreng Bimoli tapi membuat petani kopra di Sulawesi Utara mengelus dada, menerima dengan pasrah harga kopra yang sangat rendah.
Saya jadi ingat sewaktu salah satu petugas perpustakaan di kampus bertanya tentang tema skripsi S1 saya. Sewaktu saya menerangkan bahwa saya meneliti tentang politik luar negeri Amerika Serikat ke RRC, dia dengan sendunya berkomentar, "Saya heran kenapa jarang ada mahasiswa yang mau meneliti tentang negaranya sendiri." Waktu itu saya hanya diam, tapi akhirnya saya menyadari filosofi di balik komentar bapak pustakawan tersebut.
Mungkin kalau saya berhasil menyelesaikan thesis saya yang berkutat dengan efek 'nation-building' dan 'state-building' pada konflik tanah di hutan Indonesia, saya akan memberikan hasil penelitian saya kepada bapak tersebut. Saya harap suatu saat saya akan bisa dengan tulus dan jujur menyatakan bahwa saya telah mengenal bangsa dan negara saya, walaupun mungkin hanya untuk satu aspek saja.