Monday, November 28, 2005
My first thanks giving dinner
Sabtu kemaren saya diundang untuk makan malam di rumah teman Aikido untuk merayakan thanks giving (ini nulisnya bener nggak ya?). Sebenarnya di Eropa tidak ada tradisi thanks giving, tradisi ini adalah tradisi orang Amerika. Berhubung teman saya itu orang Amerika, dia pun keukeuh mau melaksanakan tradisinya, walaupun dia sudah tinggal cukup lama di Perancis. Untung visa saya masih berlaku, jadi saya pun bisa mencicipi masakan khas thanks giving, ayam kalkun.
Dengan mata terkantuk dan badan pegal akibat dari pesta malam sebelumnya, saya pun berangkat. Nggak perlu pakai kereta api atau pesawat, cukup dengan transportasi umum. Saya sudah cerita kan kalau Jenewa itu deket banget sama Perancis. Duduk di tram no 12, sambil tiap 10 menit meriksa paspor dan ijin tinggal, sampai ke perbehentian terakhir: Moillesulaz. Sebentar banget, cuma 20 menit dari tengah kota Jenewa.
Sampai di stopan, saya pun celingak-celinguk. Instruksi arah dari teman siap di tangan, tapi mana pos pemeriksaan paspor? Saya berpikir, berhubung perbatasan negara pasti ada pemeriksaan seperti di bandara, dimana setiap orang harus antri satu-satu untuk diperiksa paspornya. Ternyata tidak teman-teman. Di balik dinding stopan tram, ada semacam jalur untuk mobil, mirip seperti pintu tol. Dan para penumpang tram dengan cuek dan santainya menyebrang jalur ini. Nggak ada antri untuk check paspor, yang ada hanya dua petugas imigrasi, berdiri santai sambil melihat-lihat para pejalan kaki yang menyebrangi perbatasan (yang sama sekali nggak ada ciri-ciri perbatasan). Saya yang sudah siap-siap memamerkan visa, nggak dikasih kesempatan sama sekali untuk nunjukin paspor ke petugas imigrasi. Saya yang mengikuti arus manusia akhirnya menapakkan kaki di negara sebelah tanpa diperiksa sama sekali!
Sadar-sadar saya sudah di Perancis, 15 langkah dari stopan bis. Panik..waduh, apa saya harus balik lagi buat nunjukin paspor ya? Tapi kok orang pada santai aja. Gimana ini? Cepet-cepet telpon Xaf, "Xavier, they did not check my passport. What should I do?". Xaf langsung ngakak, kata dia memang nggak ada pemeriksaan paspor rutin. Wong arus manusia dan mobil dari Jenewa dan Annemass (kota Perancis tetangga) itu setiap menit, jadi repot dong kalau setiap orang harus diperiksa. Biasanya petugas imigrasi hanya memeriksa secara random atau apabila mencurigai sesuatu. Waktu saya menoleh kebelakang ternyata petugas imigrasi sedang memberhentikan seorang gadis berkulit hitam, dan memeriksa dokumen gadis tersebut. Xaf pun berkomentar, memang mereka yang 'berwarna' akan cenderung untuk diperiksa daripada mereka yang berkulit putih. Ah, diskriminasi memang susah untuk dicabut sampai akar-akarnya.
Singkat cerita saya pun akhirnya sampai di rumah teman saya. Jennifer benar-benar mau mengikuti tradisi, dan sudah menyiapkan semua masakan khas thanks giving. Ayam kalkun yang besarnya sering bikin saya ragu kalau mereka itu termasuk spesies ayam; mantang (sweet potatoes) dimasak dengan kayu manis dan rempah, upper topping (corn bread crumbles), cranberries sauce, dan red cabbage and marron. Dari pihak saya, bakmi goreng. Praktis dan murah, walaupun mungkin tidak senada dengan hidangan lainnya. Kan judulnya menyumbang, jadi terserah saya dong..hihi.
Makan malam dihadiri oleh beberapa teman aikido lainnya (pacar Jennifer itu anak guru aikido dan temen saya di aikido juga), dan dua orang lainnya yang tidak saya kenal. Seorang ibu en certain âge, Ellen, dan seorang petani, Stephan. Stephan juga aktif di aikido, tapi latihan di dojo yang berbeda, jadi saya belum pernah ketemu. Dan kalau dipikir-pikir, baru kali ini saya bertemu dengan petani Eropa. Benar-benar makan malam yang menyenangkan. Bisa meluangkan waktu bersama teman-teman dan bertemu dengan orang baru yang baik hati.
Stephan was so sweet. Waktu saya kebingungan bagaimana harus pulang karena saya nggak tega kalau Jennifer harus mengantar saya all the way to Geneva tengah-tengah malam, Stephan spontan menawarkan diri mengantarkan saya pulang. Tapi nggak enak rasanya kalau saya merepotkan orang yang baru saya kenal, tapi teman-teman saya malah ngotot minta direpotkan. Jalan tengahnya Stephan mengantarkan saya sampai ke perbatasan, dan saya bisa naik tram sampai rumah.
Selama di perjalanan, Stephan masih ngotot mau nganterin saya pulang, kayaknya dia khawatir ngeliat saya yang mungil ini harus naik transportasi umum sendirian jam satu malam. Berhubung dia nggak begitu kenal dengan jalan di Jenewa dan saya nggak tahu arah dari perbatasan sampai rumah selain jalur tram, akhirnya saya pun bisa tetap mandiri.
Dari obrolan kami, saya pun akhirnya tahu kalau keluarga dia itu petani sapi perah dan mereka biasanya mulai kerja jam 5 pagi. Saya dalam hati langsung tersipu malu, karena saya biasanya bangun tidur jam 9 pagi. Petani memang profesi yang berat. Saya merasa bahwa kehidupan petani berbeda sekali dengan pelajar atau pekerja kantoran. Hidup mereka penuh dengan kerja keras dan kesederhanaan. Stephan sendiri seorang yang sederhana, namun baik hati. Sangking baiknya dia mengabulkan impian saya untuk bisa mencoba memerah susu sapi (I know..I know, I am weird). Dia bilang kapan saja saya mau, saya bisa dateng ke peternakannya dan dia bakal mengajarkan bagaimana memerah susu sapi. Yuppii!! Siapa tahu impian saya yang lain juga bisa kesampaian, mencium hidung sapi.
Dengan mata terkantuk dan badan pegal akibat dari pesta malam sebelumnya, saya pun berangkat. Nggak perlu pakai kereta api atau pesawat, cukup dengan transportasi umum. Saya sudah cerita kan kalau Jenewa itu deket banget sama Perancis. Duduk di tram no 12, sambil tiap 10 menit meriksa paspor dan ijin tinggal, sampai ke perbehentian terakhir: Moillesulaz. Sebentar banget, cuma 20 menit dari tengah kota Jenewa.
Sampai di stopan, saya pun celingak-celinguk. Instruksi arah dari teman siap di tangan, tapi mana pos pemeriksaan paspor? Saya berpikir, berhubung perbatasan negara pasti ada pemeriksaan seperti di bandara, dimana setiap orang harus antri satu-satu untuk diperiksa paspornya. Ternyata tidak teman-teman. Di balik dinding stopan tram, ada semacam jalur untuk mobil, mirip seperti pintu tol. Dan para penumpang tram dengan cuek dan santainya menyebrang jalur ini. Nggak ada antri untuk check paspor, yang ada hanya dua petugas imigrasi, berdiri santai sambil melihat-lihat para pejalan kaki yang menyebrangi perbatasan (yang sama sekali nggak ada ciri-ciri perbatasan). Saya yang sudah siap-siap memamerkan visa, nggak dikasih kesempatan sama sekali untuk nunjukin paspor ke petugas imigrasi. Saya yang mengikuti arus manusia akhirnya menapakkan kaki di negara sebelah tanpa diperiksa sama sekali!
Sadar-sadar saya sudah di Perancis, 15 langkah dari stopan bis. Panik..waduh, apa saya harus balik lagi buat nunjukin paspor ya? Tapi kok orang pada santai aja. Gimana ini? Cepet-cepet telpon Xaf, "Xavier, they did not check my passport. What should I do?". Xaf langsung ngakak, kata dia memang nggak ada pemeriksaan paspor rutin. Wong arus manusia dan mobil dari Jenewa dan Annemass (kota Perancis tetangga) itu setiap menit, jadi repot dong kalau setiap orang harus diperiksa. Biasanya petugas imigrasi hanya memeriksa secara random atau apabila mencurigai sesuatu. Waktu saya menoleh kebelakang ternyata petugas imigrasi sedang memberhentikan seorang gadis berkulit hitam, dan memeriksa dokumen gadis tersebut. Xaf pun berkomentar, memang mereka yang 'berwarna' akan cenderung untuk diperiksa daripada mereka yang berkulit putih. Ah, diskriminasi memang susah untuk dicabut sampai akar-akarnya.
Singkat cerita saya pun akhirnya sampai di rumah teman saya. Jennifer benar-benar mau mengikuti tradisi, dan sudah menyiapkan semua masakan khas thanks giving. Ayam kalkun yang besarnya sering bikin saya ragu kalau mereka itu termasuk spesies ayam; mantang (sweet potatoes) dimasak dengan kayu manis dan rempah, upper topping (corn bread crumbles), cranberries sauce, dan red cabbage and marron. Dari pihak saya, bakmi goreng. Praktis dan murah, walaupun mungkin tidak senada dengan hidangan lainnya. Kan judulnya menyumbang, jadi terserah saya dong..hihi.
Makan malam dihadiri oleh beberapa teman aikido lainnya (pacar Jennifer itu anak guru aikido dan temen saya di aikido juga), dan dua orang lainnya yang tidak saya kenal. Seorang ibu en certain âge, Ellen, dan seorang petani, Stephan. Stephan juga aktif di aikido, tapi latihan di dojo yang berbeda, jadi saya belum pernah ketemu. Dan kalau dipikir-pikir, baru kali ini saya bertemu dengan petani Eropa. Benar-benar makan malam yang menyenangkan. Bisa meluangkan waktu bersama teman-teman dan bertemu dengan orang baru yang baik hati.
Stephan was so sweet. Waktu saya kebingungan bagaimana harus pulang karena saya nggak tega kalau Jennifer harus mengantar saya all the way to Geneva tengah-tengah malam, Stephan spontan menawarkan diri mengantarkan saya pulang. Tapi nggak enak rasanya kalau saya merepotkan orang yang baru saya kenal, tapi teman-teman saya malah ngotot minta direpotkan. Jalan tengahnya Stephan mengantarkan saya sampai ke perbatasan, dan saya bisa naik tram sampai rumah.
Selama di perjalanan, Stephan masih ngotot mau nganterin saya pulang, kayaknya dia khawatir ngeliat saya yang mungil ini harus naik transportasi umum sendirian jam satu malam. Berhubung dia nggak begitu kenal dengan jalan di Jenewa dan saya nggak tahu arah dari perbatasan sampai rumah selain jalur tram, akhirnya saya pun bisa tetap mandiri.
Dari obrolan kami, saya pun akhirnya tahu kalau keluarga dia itu petani sapi perah dan mereka biasanya mulai kerja jam 5 pagi. Saya dalam hati langsung tersipu malu, karena saya biasanya bangun tidur jam 9 pagi. Petani memang profesi yang berat. Saya merasa bahwa kehidupan petani berbeda sekali dengan pelajar atau pekerja kantoran. Hidup mereka penuh dengan kerja keras dan kesederhanaan. Stephan sendiri seorang yang sederhana, namun baik hati. Sangking baiknya dia mengabulkan impian saya untuk bisa mencoba memerah susu sapi (I know..I know, I am weird). Dia bilang kapan saja saya mau, saya bisa dateng ke peternakannya dan dia bakal mengajarkan bagaimana memerah susu sapi. Yuppii!! Siapa tahu impian saya yang lain juga bisa kesampaian, mencium hidung sapi.
Sunday, November 27, 2005
Gruyère
The main church.
Proyek pariwisata terbaru untuk melestarikan desa Gruyère.
Desa Gruyère. Ciri khas Swiss dapat dilihat dari gedung-gedung yang mempertahankan arsitektur originalnya.
Pemandangan dari desa Gruyère. Tipikal Swiss. Gunung, pohon, dan rumah ala country side.
P.S: Ollie, here are the pictures. More will come. :)
Autumn
View from my bed room's window. To wake up in the morning and to be greeted by this view makes my day brighter. Cité des Parcs, that what Geneva is. 310 hectares of parks, 40.000 of trees in public places, and 428.000 of plants are used to decorate the city including 40.000 roses.
Avenue de la Paix, my usual route. Don't you just love the colorful trees along side the street?
A usual autumn scenary of Lac Leman. Just behind WTO office and my university library. We are so spoiled by natural beauty in this city.
Thursday, November 24, 2005
Happy birthday to me
Today is my birthday. I always feel homesick on my birthday. I miss my parents cheering happy birthday to me. I even miss my mom fussing around whenever I decided to celebrate 'my day'. I miss my friends and their surprise parties. I miss their perfect presents, their excitement, and most of all their presence.
Today, the first snow fall. I was woken up by kisses and happy birthday wishes from Xavier. My cell phone has been buzzing all morning, full of wishes from my friends and family. It's not bad after all. :)
So, happy birthday to me. May I gain more wisdom with my new age, and be happy with what life brings me.
Today, the first snow fall. I was woken up by kisses and happy birthday wishes from Xavier. My cell phone has been buzzing all morning, full of wishes from my friends and family. It's not bad after all. :)
So, happy birthday to me. May I gain more wisdom with my new age, and be happy with what life brings me.
Sunday, November 20, 2005
Oranye
Entah kenapa saya lagi suka warna oranye. Atau karena katanya oranye adalah warna tahun ini?
Ada warna oranye yang selalu membuat saya sesak, oranye sewaktu matahari terbit atau terbenam. Sungguh filosofikal rasanya ketika awal dan akhir dari hari adalah waktu yang terindah.
Hari ini saya pergi jalan-jalan ke desa kecil mungil namun turistik. Gruyere namanya. Terkenal juga karena merupakan produser keju khas negara ini. Pulang-pulang matahari perlahan-lahan mulai terbenam. Berhubung sekarang sudah musim gugur, terbenamnya matahari dimulai dari jam 5 sore.
Tiba-tiba, dalam perjalanan pulang, di depan terbentang luas pemandangan danau yang dikelilingi pegunungan diselimuti salju dan kabut, yang berusaha menelan matahari. Sinar oranye matahari meninggalkan jejak keemasan, dan permukaan air danau pun seakan menjadi lautan emas. Mata saya pun terkagum akan keemasan yang terlihat di sela-sela ranting telanjang pepohonan, sungguh indah.
Ingin mencoba mengarang puisi, malah jadi berpikir, hari adalah analogi hidup manusia. Terbit dan terbenamnya matahari adalah saat yang paling indah karena awal dan akhir adalah saat terpenting dalam hidup.
Sewaktu lahir, seluruh dunia dan waktu adalah sesuatu yang baru yang harus ditelusuri dan dijelajahi. Hidup pun memaparkan keindahan dibalik misterinya. Sewaktu usia senja, dunia dan waktu sudah puas digali dan semua sudah dijalani. Pengertian dan kebijaksanaan yang terbangun oleh waktu memberi pengertian akan hidup dan keindahannya.
Akankah waktu oranye saya seindah senja di musim gugur?
Paling tidak kamar mandi saya terlihat ceria dengan tirai bak mandi baru berwarna oranye. :)
Ada warna oranye yang selalu membuat saya sesak, oranye sewaktu matahari terbit atau terbenam. Sungguh filosofikal rasanya ketika awal dan akhir dari hari adalah waktu yang terindah.
Hari ini saya pergi jalan-jalan ke desa kecil mungil namun turistik. Gruyere namanya. Terkenal juga karena merupakan produser keju khas negara ini. Pulang-pulang matahari perlahan-lahan mulai terbenam. Berhubung sekarang sudah musim gugur, terbenamnya matahari dimulai dari jam 5 sore.
Tiba-tiba, dalam perjalanan pulang, di depan terbentang luas pemandangan danau yang dikelilingi pegunungan diselimuti salju dan kabut, yang berusaha menelan matahari. Sinar oranye matahari meninggalkan jejak keemasan, dan permukaan air danau pun seakan menjadi lautan emas. Mata saya pun terkagum akan keemasan yang terlihat di sela-sela ranting telanjang pepohonan, sungguh indah.
Ingin mencoba mengarang puisi, malah jadi berpikir, hari adalah analogi hidup manusia. Terbit dan terbenamnya matahari adalah saat yang paling indah karena awal dan akhir adalah saat terpenting dalam hidup.
Sewaktu lahir, seluruh dunia dan waktu adalah sesuatu yang baru yang harus ditelusuri dan dijelajahi. Hidup pun memaparkan keindahan dibalik misterinya. Sewaktu usia senja, dunia dan waktu sudah puas digali dan semua sudah dijalani. Pengertian dan kebijaksanaan yang terbangun oleh waktu memberi pengertian akan hidup dan keindahannya.
Akankah waktu oranye saya seindah senja di musim gugur?
Paling tidak kamar mandi saya terlihat ceria dengan tirai bak mandi baru berwarna oranye. :)
Monday, November 14, 2005
Self-righteous
Don't you feel annoyed when people lecture you about what you should do? At least I do. When it comes to idea and principal, I got very touchy when someone told me that I should do certain things.
Who are they to tell me what I should or should not do? I do something because I want to do it, not because people around me think that I should do it. Life is complicated enough, and I don't think anybody needs to guide people around or to constraint oneself to others' perception of life.
But then, after all has been said and done, I realize how arrogant I was in rejecting the arrogance of others? Who gave me the rights to be self-righteous in thinking that others do not have the right to lecture me?
Often, in fighting one's enemy, one has become the enemy itself.
Who are they to tell me what I should or should not do? I do something because I want to do it, not because people around me think that I should do it. Life is complicated enough, and I don't think anybody needs to guide people around or to constraint oneself to others' perception of life.
But then, after all has been said and done, I realize how arrogant I was in rejecting the arrogance of others? Who gave me the rights to be self-righteous in thinking that others do not have the right to lecture me?
Often, in fighting one's enemy, one has become the enemy itself.
Gadget baru
Hihihi...saya lagi seneng, abisnya week-end kemaren dapet early birthday present. Kamera digital, akhirnya. Sebenernya nggak terlalu butuh, walaupun pingin. Tapi Xaf kayaknya udah jenuh ngedengerin omongan saya yang berangan-angan bisa punya kamera digital biar bisa nyoba potograpi. Mengingat kemampuan motret saya yang minus 15, kamera digital alat yang tepat buat latihan. Jadi kalau out of focus, miring, atau ada gambar jari di tengah2 poto, tinggal di apus dan jepret lagi.
Sekalian biar bisa berbagi pemandangan kota yang sangat saya cintai ini. Biar wira nggak bisa ngomel minta poto, dan biar blog pun bisa jadi lebih ceria (apaan sih?!).
Jadi tunggu aja ya, saya harus baca buku pengantarnya dulu, baru deh bisa jepret-jepret is Canon IXUS 50 yang mungil (sangking mungilnya saya ampe grogi pas megang, takut jatoh...udik banget kan). Doakan saja semoga kecerobohan saya tidak membuat saya harus kehilangan gadget baru saya ini.
Sekalian biar bisa berbagi pemandangan kota yang sangat saya cintai ini. Biar wira nggak bisa ngomel minta poto, dan biar blog pun bisa jadi lebih ceria (apaan sih?!).
Jadi tunggu aja ya, saya harus baca buku pengantarnya dulu, baru deh bisa jepret-jepret is Canon IXUS 50 yang mungil (sangking mungilnya saya ampe grogi pas megang, takut jatoh...udik banget kan). Doakan saja semoga kecerobohan saya tidak membuat saya harus kehilangan gadget baru saya ini.
Saturday, November 12, 2005
Liburan
Liburan itu bagi saya adalah waktu dimana kita bisa berhenti berada di dalam rutinitas hidup dan melakukan hal-hal yang berbeda yang dapat memberikan energi baru bagi diri yang lelah. Liburan adalah waktu dimana kita seharusnya bisa bebas dalam melakukan apa yang kita inginkan dan bukan apa yang seharusnya kita lakukan.
When did I really have a vacation?
Ketika masih di bawah umur dan masih di bawah naungan orang tua, liburan pun selalu diisi dengan liburan keluarga. Menjenguk nenek di kampung atau relatif di luar kota. Tapi saya masih ingat sebalnya saya harus dempet-dempetan di mobil selama 24 jam, atau harus tabah duduk di dalam bis antar kota berjam-jam. Berbagi waktu bersama orang-orang asing, dan hanya memiliki ruang antar tempat duduk sebagai ruang gerak dan privasi benar-benar bukan liburan. Hanya bisa ke kamar kecil ketika bis atau mobil singgah di tempat makan, dan tidak bisa mandi seperti biasanya atau sekedar mencuci tangan dan kaki ketika saya merasa mereka perlu dicuci, membuat saya merasa dekil.
Sewaktu tiba pun jiwa tidak bisa bebas. Harus pandai membawa diri menumpang di rumah orang. Harus pandai membawa diri ketika dihadapkan ke om, tante, nenek, kakek, yang asing namun adalah bagian keluarga yang harus diterima dan disayangi sepenuh jiwa dan raga. Harus merasa senang ketika bertemu dengan sepupu dan harus langsung akrab dan main bersama. Terlepas dari apakah terakhir bertemu sepupu itu 5 atau 10 tahun yang lalu, or the fact that she or he has their nose up in the air and treat you with a distance like you are an alien entity.
Saya masih ingat dengan jelas letihnya saya memasang senyum palsu di depan semua orang, atau bermanis-manis ketika yang benar-benar ingin saya lakukan adalah membaca buku dengan tenang di beranda belakang rumah. Juga masih jelas dalam ingatan muaknya saya akan kepura-puraan setiap orang dan jemunya saya menjawab berbagai pertanyaan sanak keluarga dengan kalimat otomatis yang mereka ingin dengar.
Tidak jarang saya dianugerahi tatapan tajam dari mama saya ketika saya mulai menunjukkan diri saya yang sebenarnya. Dan ketika saya menurunkan tameng sosial dan mencampakkan topeng anak manis, cubitan rahasia pun mendera tubuh samping saya. Saya ingat waktu itu hati saya menjerit.."ini sih bukan liburan namanya!"
Beranjak dewasa, hidup pun menganugerahkan kesempatan untuk mencoba hidup jauh dari orang tua walaupun tidak berarti lepas dari naungan mereka. Sedikit ruang gerak dalam ruangan yang batasnya tidak beranjak tapi lebih fleksibel. Liburan pun diisi dengan kembali ke ruang pengaruh orang tua, kembali ke rumah yang nyaman namun penuh dengan keteraturan yang menyesakkan. Liburan bukannya diisi dengan 'kebebasan', tapi malah memaksa kebebasan (semu dan sementara) yang baru saja direngguk untuk harus kembali dibatasi oleh kotak yang diciptakan oleh orang tua.
Masa kuliah dimana saya bebas untuk pergi kapan saja dan kemana saja memanjakan saya dengan kebebasan yang sungguh manis bagi remaja seperti saya waktu itu. Kunci kamar kos atau rumah kontrakan dirasakan seperti kunci ajaib bagi kebebasan. Saya pun memiliki ruang dan waktu sendiri, tidak hanya untuk having fun tapi juga untuk terpuruk dan bangkit kembali.
Akhirnya saya pun lepas dari naungan orang tua. Di depan saya terbentang kebebasan yang saya impikan, dan tidak lupa tanggung jawab yang menyertainya. Saya pun membatin..."mungkin akhirnya saya akan mendapatkan liburan yang saya idam-idamkan." Tapi tidak segampang itu. Tanggung jawab yang bertubi-tubi dan masa depan yang penuh dengan kesempatan dan tantangan membuat saya terkunci dalam rutinitas baru. Liburan pun menjadi barang mewah. Something that we cannot afford yet.
Kapan saya akhirnya bisa menikmati liburan impian?
When did I really have a vacation?
Ketika masih di bawah umur dan masih di bawah naungan orang tua, liburan pun selalu diisi dengan liburan keluarga. Menjenguk nenek di kampung atau relatif di luar kota. Tapi saya masih ingat sebalnya saya harus dempet-dempetan di mobil selama 24 jam, atau harus tabah duduk di dalam bis antar kota berjam-jam. Berbagi waktu bersama orang-orang asing, dan hanya memiliki ruang antar tempat duduk sebagai ruang gerak dan privasi benar-benar bukan liburan. Hanya bisa ke kamar kecil ketika bis atau mobil singgah di tempat makan, dan tidak bisa mandi seperti biasanya atau sekedar mencuci tangan dan kaki ketika saya merasa mereka perlu dicuci, membuat saya merasa dekil.
Sewaktu tiba pun jiwa tidak bisa bebas. Harus pandai membawa diri menumpang di rumah orang. Harus pandai membawa diri ketika dihadapkan ke om, tante, nenek, kakek, yang asing namun adalah bagian keluarga yang harus diterima dan disayangi sepenuh jiwa dan raga. Harus merasa senang ketika bertemu dengan sepupu dan harus langsung akrab dan main bersama. Terlepas dari apakah terakhir bertemu sepupu itu 5 atau 10 tahun yang lalu, or the fact that she or he has their nose up in the air and treat you with a distance like you are an alien entity.
Saya masih ingat dengan jelas letihnya saya memasang senyum palsu di depan semua orang, atau bermanis-manis ketika yang benar-benar ingin saya lakukan adalah membaca buku dengan tenang di beranda belakang rumah. Juga masih jelas dalam ingatan muaknya saya akan kepura-puraan setiap orang dan jemunya saya menjawab berbagai pertanyaan sanak keluarga dengan kalimat otomatis yang mereka ingin dengar.
Tidak jarang saya dianugerahi tatapan tajam dari mama saya ketika saya mulai menunjukkan diri saya yang sebenarnya. Dan ketika saya menurunkan tameng sosial dan mencampakkan topeng anak manis, cubitan rahasia pun mendera tubuh samping saya. Saya ingat waktu itu hati saya menjerit.."ini sih bukan liburan namanya!"
Beranjak dewasa, hidup pun menganugerahkan kesempatan untuk mencoba hidup jauh dari orang tua walaupun tidak berarti lepas dari naungan mereka. Sedikit ruang gerak dalam ruangan yang batasnya tidak beranjak tapi lebih fleksibel. Liburan pun diisi dengan kembali ke ruang pengaruh orang tua, kembali ke rumah yang nyaman namun penuh dengan keteraturan yang menyesakkan. Liburan bukannya diisi dengan 'kebebasan', tapi malah memaksa kebebasan (semu dan sementara) yang baru saja direngguk untuk harus kembali dibatasi oleh kotak yang diciptakan oleh orang tua.
Masa kuliah dimana saya bebas untuk pergi kapan saja dan kemana saja memanjakan saya dengan kebebasan yang sungguh manis bagi remaja seperti saya waktu itu. Kunci kamar kos atau rumah kontrakan dirasakan seperti kunci ajaib bagi kebebasan. Saya pun memiliki ruang dan waktu sendiri, tidak hanya untuk having fun tapi juga untuk terpuruk dan bangkit kembali.
Akhirnya saya pun lepas dari naungan orang tua. Di depan saya terbentang kebebasan yang saya impikan, dan tidak lupa tanggung jawab yang menyertainya. Saya pun membatin..."mungkin akhirnya saya akan mendapatkan liburan yang saya idam-idamkan." Tapi tidak segampang itu. Tanggung jawab yang bertubi-tubi dan masa depan yang penuh dengan kesempatan dan tantangan membuat saya terkunci dalam rutinitas baru. Liburan pun menjadi barang mewah. Something that we cannot afford yet.
Kapan saya akhirnya bisa menikmati liburan impian?
Harus menulis apa?
Punya blog rasanya seperti punya debitur baru. Blog sepertinya menuntut untuk ditulisi, seperti layaknya penagih hutang minta dilunasi. Kalau dipikir-pikir nggak masuk di akal, wong nggak ada yang akan menghukum kalau tidak menulis di blog secara teratur. Tapi pertanyaannya, harus menulis apa?
Sekali sewaktu blogwalking ke popular blog, saya lihat ada yang minta saran ide menulis. Terus jadi berpikir, ohh..ternyata saya nggak sendirian toh. Dan akhirnya jadi merenung, bagusnya menulis apa ya?
Mau menulis pengalaman pribadi, kok rasanya nggak ada yang menarik. Jadi frustasi, karena ini artinya hidup saya tidak menarik atau saya sudah menjadi orang yang tidak menarik.
Mau menulis kesan pribadi, kok jadinya seperti manusia yang menyebalkan. Yang tidak pernah puas akan apa yang saya punya atau tidak mau bersukur. It makes me sound like a bitter lonely old grandmother.
Mau menulis pengetahuan umum, sastra atau berbagai pengetahuan lainnya, otak saya kosong. Ini malah bikin tambah frustasi, karena jadi mikir.."kuliah selama ini hasilnya apa coba?!"
Mau menulis yang lucu-lucu dan menghibur, terus terang kosa katanya tidak memadai. Poetry is out of question and short story is just beyond my league.
Akhirnya defense mode muncul, saya bingung mau menulis apa karena takut tidak akan ada yang baca. Normal dong kalau penulis ingin karyanya dibaca orang. Makanya saya jadi seperti anak ayam kehilangan induk, bingung harus berbuat apa, karena tidak tahu apa yang akan berkesan bagi mereka yang tidak saya kenal secara pribadi, atau takut kalau tulisan saya terkesan dangkal.
I guess I am just a human being who is longing for acknowledgement and afraid of rejection.
Sekali sewaktu blogwalking ke popular blog, saya lihat ada yang minta saran ide menulis. Terus jadi berpikir, ohh..ternyata saya nggak sendirian toh. Dan akhirnya jadi merenung, bagusnya menulis apa ya?
Mau menulis pengalaman pribadi, kok rasanya nggak ada yang menarik. Jadi frustasi, karena ini artinya hidup saya tidak menarik atau saya sudah menjadi orang yang tidak menarik.
Mau menulis kesan pribadi, kok jadinya seperti manusia yang menyebalkan. Yang tidak pernah puas akan apa yang saya punya atau tidak mau bersukur. It makes me sound like a bitter lonely old grandmother.
Mau menulis pengetahuan umum, sastra atau berbagai pengetahuan lainnya, otak saya kosong. Ini malah bikin tambah frustasi, karena jadi mikir.."kuliah selama ini hasilnya apa coba?!"
Mau menulis yang lucu-lucu dan menghibur, terus terang kosa katanya tidak memadai. Poetry is out of question and short story is just beyond my league.
Akhirnya defense mode muncul, saya bingung mau menulis apa karena takut tidak akan ada yang baca. Normal dong kalau penulis ingin karyanya dibaca orang. Makanya saya jadi seperti anak ayam kehilangan induk, bingung harus berbuat apa, karena tidak tahu apa yang akan berkesan bagi mereka yang tidak saya kenal secara pribadi, atau takut kalau tulisan saya terkesan dangkal.
I guess I am just a human being who is longing for acknowledgement and afraid of rejection.
Sunday, November 06, 2005
Teman lama
Siapa yang tidak punya teman lama? Tapi bagaimana rasanya menjadi teman lama atau menyadari bahwa seseorang itu bukan lagi hanya teman, tapi sudah menjadi teman lama?
Teman lama bisa berarti teman dari dahulu kala, atau teman pada dahulu kala. Arti yang kedua lebih populer, tapi lebih membuat hati miris.
Hidup manusia memang berjenjang-jenjang. Waktu pun terbelah akan beberapa periode, dan orang yang dekat pada kita pun tak jarang terkelompok akan waktu. Teman jaman SD, jaman SMP atau waktu kuliah.
Wajar memang ketika hidup melaju mereka yang tadinya berada di satu lingkaran, akhirnya harus berpisah. Terpaksa atau sengaja mengambil arah yang berbeda. Dan akhirnya sebuah ikatan emosi antar teman pun diakhiri dengan, "sampai ketemu lagi. Jangan lupa kirim surat." Tapi lebih sering kabar pun menghilang.
Dan ketika bertemu kembali, dua orang teman lama akan tersenyum senang namun merasa asing akan manusia di depannya. Manusia yang dulu sangat dimengerti atau mengerti dirinya. Pembicaraan pun akan didominasi nostalgia. Not only because it was the golden days, but mostly because it was what these friends only have, the past.
Persahabatan pun tepenjara pada masa lalu. Tidak ada lagi pertanyaan mendalam yang menuntut kepercayaan total bagi yang bertanya dan yang menjawab. Yang tinggal hanyalah pertanyaan basa-basi dan dialog sopan antar dua orang berbudaya. Dialog yang nyaman dan aman, tapi tidak datang dari hati yang mendalam dan tidak akan sanggup mendekatkan kedua hati mereka yang dulu pernah dekat.
Saya pun berpikir, kapan persahabatan yang saya miliki akan berakhir? Saya tidak rela menjadikan seorang pun teman saya sebagai seorang teman lama. Tapi nampaknya hidup dan waktu telah menjadikan mereka yang saya sayangi hanya bagian dari masa lalu. Ketika air mata saya jatuh, saya hanya diingatkan, inilah hidup. Teman datang dan pergi.
Saya pun menjerit, persahabatan terlalu berharga untuk ditinggalkan, dilupakan, atau disimpan di dalam album poto. Kepercayaan dan cinta yang dibangun di dalam sebuah persahabatan terlalu langka untuk dicampakkan.
Tapi ternyata, saya hanya menjerit sendiri, tanpa ada yang mendengar atau perduli.
Teman lama bisa berarti teman dari dahulu kala, atau teman pada dahulu kala. Arti yang kedua lebih populer, tapi lebih membuat hati miris.
Hidup manusia memang berjenjang-jenjang. Waktu pun terbelah akan beberapa periode, dan orang yang dekat pada kita pun tak jarang terkelompok akan waktu. Teman jaman SD, jaman SMP atau waktu kuliah.
Wajar memang ketika hidup melaju mereka yang tadinya berada di satu lingkaran, akhirnya harus berpisah. Terpaksa atau sengaja mengambil arah yang berbeda. Dan akhirnya sebuah ikatan emosi antar teman pun diakhiri dengan, "sampai ketemu lagi. Jangan lupa kirim surat." Tapi lebih sering kabar pun menghilang.
Dan ketika bertemu kembali, dua orang teman lama akan tersenyum senang namun merasa asing akan manusia di depannya. Manusia yang dulu sangat dimengerti atau mengerti dirinya. Pembicaraan pun akan didominasi nostalgia. Not only because it was the golden days, but mostly because it was what these friends only have, the past.
Persahabatan pun tepenjara pada masa lalu. Tidak ada lagi pertanyaan mendalam yang menuntut kepercayaan total bagi yang bertanya dan yang menjawab. Yang tinggal hanyalah pertanyaan basa-basi dan dialog sopan antar dua orang berbudaya. Dialog yang nyaman dan aman, tapi tidak datang dari hati yang mendalam dan tidak akan sanggup mendekatkan kedua hati mereka yang dulu pernah dekat.
Saya pun berpikir, kapan persahabatan yang saya miliki akan berakhir? Saya tidak rela menjadikan seorang pun teman saya sebagai seorang teman lama. Tapi nampaknya hidup dan waktu telah menjadikan mereka yang saya sayangi hanya bagian dari masa lalu. Ketika air mata saya jatuh, saya hanya diingatkan, inilah hidup. Teman datang dan pergi.
Saya pun menjerit, persahabatan terlalu berharga untuk ditinggalkan, dilupakan, atau disimpan di dalam album poto. Kepercayaan dan cinta yang dibangun di dalam sebuah persahabatan terlalu langka untuk dicampakkan.
Tapi ternyata, saya hanya menjerit sendiri, tanpa ada yang mendengar atau perduli.
Wednesday, November 02, 2005
If only..
Got your news today
Usually I was always excited to hear your voice
The voice from my past
Not today, not anymore
Life has changed the meaning of our past
No future like we always talked
Your path will not cross mine anymore
If only I didn't love you that much, I'd tell you what I really think.
Usually I was always excited to hear your voice
The voice from my past
Not today, not anymore
Life has changed the meaning of our past
No future like we always talked
Your path will not cross mine anymore
If only I didn't love you that much, I'd tell you what I really think.
Headphones: thumbs up or thumbs down?
Sekarang lagi nge-trend berat bagi mereka yang muda dan bergaya untuk menutupi telinga atau lubang telinga dengan headphones kecil berwarna putih, menandakan kalau si dia ngantonging iPod atau mini iPod. Atau bagi mereka yang into hip hop ala MTV, telinga pun ditutupi headphones yang besarnya menyolok mata.
Di bis dan tram, setiap ada anak muda yang naik bis sendirian, pasti telinganya lagi disumpelin berbagai lagu kesayangan. Berusaha mengisolasi dirinya dari dunia sekitarnya, yang dianggapnya menyebalkan, berisik, atau mengganggu. Tanpa sadar kalau musik yang didengarnya malah mengusik orang di sebelahnya. Jess..jess..atau auuooo..auooo..atau ala hip hop sexy..ahhh..ahhh..Belum kalau telinga dicantelin headphones tapi mulut masih mau ngoceh sama ganknya, kuenceng, kayak mereka yang kurang mendengar berceloteh.
Headphones memang alat murah meriah untuk mengisolasi diri dari sekeliling, selain untuk menikmati musik tanpa mengganggu yang lain. Seperti halnya mereka yang punya fasilitas komputer kantor yang bisa dipakai untuk memutar CD atau mendengarkan radio, saya pun menyediakan headphones di laci kantor. Siap untuk dipakai ketika hati ini rindu akan lantunan lagu kesayangan atau sekedar untuk tidak mendengar suara orang yang menyebalkan di kantor sebelah.
Nikmat rasanya bisa bekerja sambil mendengarkan dendang, bukannya obrolan sekretaris kantor yang ngomongin orang kantor atau gosip-gosip murahan lainnya. Tapi sebagai seorang yang impulsif dan senang menari (berjoget tepatnya), menikmati lagu dengan headphones pun sempat membuat profesor saya menaikkan alis. Bagaimana tidak..dia ketok pintu, saya nggak denger, dia masuk dan melihat saya sedang berliuk-liuk di kursi mengikuti dendang lagu.
Put on serious face, click stop music, take off headphones, and asked "Yes Professor, what can I do for you?", with the sweetest smile that I could manage. Thank GOD I have dark skin, he couldn't notice the blush.
*Pipit is with her headphones on, listening to Kala Cinta Menggoda by Chrisye.
Di bis dan tram, setiap ada anak muda yang naik bis sendirian, pasti telinganya lagi disumpelin berbagai lagu kesayangan. Berusaha mengisolasi dirinya dari dunia sekitarnya, yang dianggapnya menyebalkan, berisik, atau mengganggu. Tanpa sadar kalau musik yang didengarnya malah mengusik orang di sebelahnya. Jess..jess..atau auuooo..auooo..atau ala hip hop sexy..ahhh..ahhh..Belum kalau telinga dicantelin headphones tapi mulut masih mau ngoceh sama ganknya, kuenceng, kayak mereka yang kurang mendengar berceloteh.
Headphones memang alat murah meriah untuk mengisolasi diri dari sekeliling, selain untuk menikmati musik tanpa mengganggu yang lain. Seperti halnya mereka yang punya fasilitas komputer kantor yang bisa dipakai untuk memutar CD atau mendengarkan radio, saya pun menyediakan headphones di laci kantor. Siap untuk dipakai ketika hati ini rindu akan lantunan lagu kesayangan atau sekedar untuk tidak mendengar suara orang yang menyebalkan di kantor sebelah.
Nikmat rasanya bisa bekerja sambil mendengarkan dendang, bukannya obrolan sekretaris kantor yang ngomongin orang kantor atau gosip-gosip murahan lainnya. Tapi sebagai seorang yang impulsif dan senang menari (berjoget tepatnya), menikmati lagu dengan headphones pun sempat membuat profesor saya menaikkan alis. Bagaimana tidak..dia ketok pintu, saya nggak denger, dia masuk dan melihat saya sedang berliuk-liuk di kursi mengikuti dendang lagu.
Put on serious face, click stop music, take off headphones, and asked "Yes Professor, what can I do for you?", with the sweetest smile that I could manage. Thank GOD I have dark skin, he couldn't notice the blush.
*Pipit is with her headphones on, listening to Kala Cinta Menggoda by Chrisye.
Lebaran
Besok lebaran, jadi saya pun mau mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin, mohon maaf kalau ada salah-salah kata.
Saat-saat begini baru deh kerasa sedihnya berada di negeri orang jauh dari keluarga. Sudah 4 tahun nggak bisa mudik pas lebaran. Sudah 4 tahun nggak merasakan suasana lebaran yang meriah dimana berbagai makanan lezat dan nikmat bertebaran dimana-mana (ini kok makanan melulu sih pikirannya?).
Besok pun harus bermaafan dengan orang tua dan keluarga hanya lewat telpon. Menahan haru ketika mendengar suara mama yang mendayu bercampur air mata. Menahan tangis mendengar suara nenek, yang saya harap masih bisa bertemu di suatu lebaran nanti. Menahan dongkol ketika mendengar adik saya memberikan daftar makanan yang tersedia di meja makan.
Selamat lebaran semuanya. :)
Saat-saat begini baru deh kerasa sedihnya berada di negeri orang jauh dari keluarga. Sudah 4 tahun nggak bisa mudik pas lebaran. Sudah 4 tahun nggak merasakan suasana lebaran yang meriah dimana berbagai makanan lezat dan nikmat bertebaran dimana-mana (ini kok makanan melulu sih pikirannya?).
Besok pun harus bermaafan dengan orang tua dan keluarga hanya lewat telpon. Menahan haru ketika mendengar suara mama yang mendayu bercampur air mata. Menahan tangis mendengar suara nenek, yang saya harap masih bisa bertemu di suatu lebaran nanti. Menahan dongkol ketika mendengar adik saya memberikan daftar makanan yang tersedia di meja makan.
Selamat lebaran semuanya. :)
Tuesday, November 01, 2005
Minimalis versus maksimalis
Pengantar: Ini adalah sebuah misuh-misuh seorang maksimalis yang harus bekerja dengan seorang yang minimalis.
Kalau saya mengakui bahwa saya adalah seorang maksimalis pasti banyak yang nuduh...idih..serakah deh eloe. Padahal maksimalis kan nggak cuma masalah memaksimalkan untung, yang dikonotasikan dengan menginjak, menyikut, atau mendorong yang lain. Saya maksimalis dalam bekerja, dalam arti selalu berusaha melakukan suatu tugas (sesepele apapun bentuknya) dengan maksimal. Banyak mungkin yang disebut perfeksionis (ini bahasa Indonesia bukan sih?).
Susahnya saya punya temen kantor yang minimalis banget. Dia sih bilangnya memprioritaskan yang lebih penting, kalau saya bilang sih, perhitungan! Bayangkan, kita ini sama-sama asisten (babunya dosen, red.), tapi giliran ada tugas apa-apa dia dengan anggunnya mengelak atau memberikan raut wajah enggan. Herannya dia nggak malu mencantumkan label R******h Assistant padahal kalau diminta bantuin saya (yang nyuruh Profesor, bukan saya) yang sudah hampir kelelep sama berbagai tugas penelitian, beliau cuek atau pura-pura nggak tahu. Dia ngotot mau fokus ke thesisnya dan yang lain-lain itu nomor 2 atau 3 atau berapalah. Nah, memang saya nggak punya thesis apa? Terus kerjaan siapa yang musti nyelesain? Mungkin dia masih percaya ama peri-peri atau kurcaci ala dongeng yang dateng tengah malam untuk menyelesaikan tugas mereka yang tertidur di atas meja kerja. Oalah..guemes...pengen ngejitak, tapi takut dituntut.
Kalau melihat saya yang sudah stress pisan, lari-lari ke sana kemari (saya mungkin yang paling sering lelarian di kantor ini), rambut acak-acakan dan ngomong sudah pake 2 bahasa, dia cuma senyum tipis dan geleng-geleng kepala sambil komentar, "You know what your problem is, you want to do everything too well. Why do you spent too many times on that? Just make it simple, the most important thing is that it is done." Hah!! Saya yakin saya waktu itu melotot waktu dikomentarin kadal kayak begini. Saya jawab dengan diplomatis kalau saya nggak betah menyelesaikan sesuatu ala kadarnya, nggak sesuai dengan etika kerja saya. Dia cuma senyum miring. Sempet mikir...kerasa kesindir nggak ya..ah pasti nggak. Saya yakin dia ini tipe orang yang baru kesindir kalau udah dicium ama bajaj.
Mungkin dia benar, mungkin saya terlalu perduli sama detil, tapi inilah saya sebagai seorang pekerja. Buktinya dia juga sadar kok kalau hasil kerja saya terlihat rapi dan profesional. Dia sering komentar setelah melihat hasil tarian jari-jari saya di depan komputer untuk merapikan daftar atau dokumen dari para bos. Tapi ya itu, cuma komentar doang, dia tetap keukeuh dan nyaman dengan gaya minimalisnya.
Kadang saya suka heran sama mereka yang sekadarnya. Kurang sadarkah mereka kalau perhatian akan detil dan sedikit waktu lebih untuk mengerjakan sesuatu akan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Kalau saya boleh membela tipe kerja saya yang penuh dengan stress, jerawat dan rambut rontok, menjadi seorang maksimalis itu banyak untungnya. Setiap orang yang pernah kerja bersama kita akan memberikan rekomendasi yang positif. Siapa tahu kalau bekas dosen kamu ternyata temen baiknya kepala perusahaan yang kamu kirimin lamaran. Temen kerja pun bisa menjadi referensi. Kita kan nggak pernah tahu bagaimana masa depan nanti. Tidak mustahil temen kita sekarang akan menjadi kunci untuk diterima atau tidaknya kita di suatu pekerjaan nantinya.
Sampai sekarang saya tidak pernah menyesal menjadi seorang maksimalis. Dosen yang super killer (dan saya selalu ngacir kalau melihat si profesor di tengah jalan) jadi super baik sama saya. Sampai mau mendengarkan curhat saya yang diiringi mata berkaca-kaca dan berproklamasi kalau dia bakal siap mendukung saya kapan saja. Mungkin dia merasa bersalah karena proyek penelitian dia telah membuat saya harus berganti kaca mata. Kepala fakultas (yang tidak saya kenal baik) pun sampai berdiplomasi dengan direktur bagian post-grad untuk memberikan saya dispensasi, setelah melihat perjuangan saya yang pontang-panting ngebantuin beliau untuk satu proyek.
Terakhir, ingat nggak lokakarya yang harus saya urusin? Sebelum pulang ke negara mereka masing-masing, para peserta lokakarya yang uangnya pas-pasan itu sempet-sempetnya urunan membelikan kado perpisahan buat saya. Duh..terharu, saya nggak pernah mengharapkan apa-apa. Tapi temen baru saya bilang, "it's just a simple gift from us, as we really appreciate all of your hardworks. You have done far beyond your duty call."
Betul kan, jadi maksimalis ada hikmahnya. Reputasi kerja yang baik, atau bahkan Swatch Skin baru. :)
Kalau saya mengakui bahwa saya adalah seorang maksimalis pasti banyak yang nuduh...idih..serakah deh eloe. Padahal maksimalis kan nggak cuma masalah memaksimalkan untung, yang dikonotasikan dengan menginjak, menyikut, atau mendorong yang lain. Saya maksimalis dalam bekerja, dalam arti selalu berusaha melakukan suatu tugas (sesepele apapun bentuknya) dengan maksimal. Banyak mungkin yang disebut perfeksionis (ini bahasa Indonesia bukan sih?).
Susahnya saya punya temen kantor yang minimalis banget. Dia sih bilangnya memprioritaskan yang lebih penting, kalau saya bilang sih, perhitungan! Bayangkan, kita ini sama-sama asisten (babunya dosen, red.), tapi giliran ada tugas apa-apa dia dengan anggunnya mengelak atau memberikan raut wajah enggan. Herannya dia nggak malu mencantumkan label R******h Assistant padahal kalau diminta bantuin saya (yang nyuruh Profesor, bukan saya) yang sudah hampir kelelep sama berbagai tugas penelitian, beliau cuek atau pura-pura nggak tahu. Dia ngotot mau fokus ke thesisnya dan yang lain-lain itu nomor 2 atau 3 atau berapalah. Nah, memang saya nggak punya thesis apa? Terus kerjaan siapa yang musti nyelesain? Mungkin dia masih percaya ama peri-peri atau kurcaci ala dongeng yang dateng tengah malam untuk menyelesaikan tugas mereka yang tertidur di atas meja kerja. Oalah..guemes...pengen ngejitak, tapi takut dituntut.
Kalau melihat saya yang sudah stress pisan, lari-lari ke sana kemari (saya mungkin yang paling sering lelarian di kantor ini), rambut acak-acakan dan ngomong sudah pake 2 bahasa, dia cuma senyum tipis dan geleng-geleng kepala sambil komentar, "You know what your problem is, you want to do everything too well. Why do you spent too many times on that? Just make it simple, the most important thing is that it is done." Hah!! Saya yakin saya waktu itu melotot waktu dikomentarin kadal kayak begini. Saya jawab dengan diplomatis kalau saya nggak betah menyelesaikan sesuatu ala kadarnya, nggak sesuai dengan etika kerja saya. Dia cuma senyum miring. Sempet mikir...kerasa kesindir nggak ya..ah pasti nggak. Saya yakin dia ini tipe orang yang baru kesindir kalau udah dicium ama bajaj.
Mungkin dia benar, mungkin saya terlalu perduli sama detil, tapi inilah saya sebagai seorang pekerja. Buktinya dia juga sadar kok kalau hasil kerja saya terlihat rapi dan profesional. Dia sering komentar setelah melihat hasil tarian jari-jari saya di depan komputer untuk merapikan daftar atau dokumen dari para bos. Tapi ya itu, cuma komentar doang, dia tetap keukeuh dan nyaman dengan gaya minimalisnya.
Kadang saya suka heran sama mereka yang sekadarnya. Kurang sadarkah mereka kalau perhatian akan detil dan sedikit waktu lebih untuk mengerjakan sesuatu akan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Kalau saya boleh membela tipe kerja saya yang penuh dengan stress, jerawat dan rambut rontok, menjadi seorang maksimalis itu banyak untungnya. Setiap orang yang pernah kerja bersama kita akan memberikan rekomendasi yang positif. Siapa tahu kalau bekas dosen kamu ternyata temen baiknya kepala perusahaan yang kamu kirimin lamaran. Temen kerja pun bisa menjadi referensi. Kita kan nggak pernah tahu bagaimana masa depan nanti. Tidak mustahil temen kita sekarang akan menjadi kunci untuk diterima atau tidaknya kita di suatu pekerjaan nantinya.
Sampai sekarang saya tidak pernah menyesal menjadi seorang maksimalis. Dosen yang super killer (dan saya selalu ngacir kalau melihat si profesor di tengah jalan) jadi super baik sama saya. Sampai mau mendengarkan curhat saya yang diiringi mata berkaca-kaca dan berproklamasi kalau dia bakal siap mendukung saya kapan saja. Mungkin dia merasa bersalah karena proyek penelitian dia telah membuat saya harus berganti kaca mata. Kepala fakultas (yang tidak saya kenal baik) pun sampai berdiplomasi dengan direktur bagian post-grad untuk memberikan saya dispensasi, setelah melihat perjuangan saya yang pontang-panting ngebantuin beliau untuk satu proyek.
Terakhir, ingat nggak lokakarya yang harus saya urusin? Sebelum pulang ke negara mereka masing-masing, para peserta lokakarya yang uangnya pas-pasan itu sempet-sempetnya urunan membelikan kado perpisahan buat saya. Duh..terharu, saya nggak pernah mengharapkan apa-apa. Tapi temen baru saya bilang, "it's just a simple gift from us, as we really appreciate all of your hardworks. You have done far beyond your duty call."
Betul kan, jadi maksimalis ada hikmahnya. Reputasi kerja yang baik, atau bahkan Swatch Skin baru. :)