<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11664549\x26blogName\x3danother+try\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://bla3x.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://bla3x.blogspot.com/\x26vt\x3d4702894869577277822', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

another try

Saturday, April 30, 2005

Hobi

Weekend begini memang enaknya ngobrol tentang hobi, terlepas dari kenyataan bahwa gue musti tetep ke kantor buat ngerjain tugas dadakan dari profesor gue.

Kalo ngomongin hobi gue bisa berceloteh panjang, ngelebihin panjangnya kereta baba ranjang. Abisnya gue ini memang tipe orang serakah, semua mau dicobain, mau dijadiin hobi, atau kalo nekat dijadiin profesi. Tapi orang bilang hobi itu penting, kenapa? Pertama, hobi bisa memberikan gambaran sifat dan karakter seseorang. (gue kalo ada yang bilang begini biasanya suka rada bingung, gue pikir susah amat berusaha menterjemahkan hobi orang lain untuk mengenal orang tersebut. Kenapa nggak tanya aja??) Mungkin benar, tapi ada masalah bias, kadang orang bisa menjadikan sesuatu kegiatan itu hobi karena fasilitas, waktu dan uang yang tersedia. Contohnya, gue nggak ngebayangin kalo suatu saat bakalan hobi golf..mau bayar pake apaan? Pake daun? Lagian gue suka nggak tega kalo disuruh jalan di atas rumput..kasian ama rumput hijau yang daunnya kecil2 itu lho.. Di lain pihak ada bias dalam arti kadang orang memaksakan diri untuk menyukai sesuatu atau mengumumkan suatu hobi karena hobi tersebut bisa menaikkan gengsi, membuat dirinya terlihat cerdas (atau apalah, yang penting imaji positif), atau sesuai dengan kelas sosialya (either a real one or an imagined one). Apalagi kalo musti menuliskan hobi di Curriculum Vitae (maaf gue teh lupa bahasa Indonesia..punten), mana ada yang menuliskan hobi tidur (salah satu hobi utama gue :)).

Kedua, hobi itu bisa menjadi tempat atau ajang bertemu dengan orang baru, ajang sosialisasi. Sebagai manusia yang makhluk sosial (pernyataan yang infamous!!), sosialisasi itu pentingnya hampir ngelebih-lebihin bawa KTP pas razia. Pertemuan dan interaksi dengan orang lain melalui hobi sering melahirkan persahabatan, kisah cinta, atau bahkan berakhir menjadi teman hidup. Gimana enggak, wong hobinya aja udah sama, ya klop lah..asik kan bisa ngobrol tentang hobi bersama sampai berbusa, nonton TV sama2 sambil ngemil selama berjam2, atau sekedar berjemur di bawah matahari terik sampe bau matahari. Mengerjakan sesuatu bersama dengan teman pasti capeknya jadi nggak kerasa, dan senengnya bisa berlipat ganda.

Tapi yang paling penting, menurut gue, hobi itu bisa menjadi ajang pelarian yang sehat (kecuali kalo hobinya nyerempet2 ke kriminalitas atau berhubungan dengan segala sesuatu yang membuat diri setengah sadar). Hidup itu susah, mau orang kaya atau miskin pasti ada aja masalahnya. Manusia itu kan nggak pernah puas. Gue rasa hidup senang tanpa beban itu berakhir pada saat kita beranjak remaja, atau bahkan lebih awal. Anak2 Indonesia sudah dibebani berbagai kewajiban prestasi sekolah yang sering melanggar hak asasi mereka. Udah gitu beranjak remaja, mulai deh krisis identitas, merasa tidak dimengerti oleh orang sekitar, krisis percaya diri ngeliat muka yang jerawatan dan tubuh yang berubah, dan bingung menghadapi perasaan cinta monyet. Krisis remaja lewat, mulai deh kuatir tentang masa depan, sibuk menganalisis hubungan cinta (kalau ada), menimbang2 apakah pasangan tepat untuk dijadikan teman hidup, kepala pun dipenuhi oleh angan2 masa depan dan kekuatiran akan ketidakpastian hidup setelah selesai belajar. Terus berkeluarga, kepala pun dipadati oleh anggaran belanja rumah tangga, belum mengurusi anak, dan masih harus bersaing di tempat kerja untuk mendapatkan kedudukan yang lebih baik, gaji yang lebih besar, intinya mengejar kemapanan yang lebih mapan. Udah tua, kalau sehat dan pensiun besar, hidup bisa lebih tenang, kalo enggak ya terus aja kuatir.. Nah dengan hobi, manusia bisa 'lari' dari kenyataan hidup dan memanjakan dirinya dengan hobi tersebut. Istirahat mental ini sangat penting, dan, menurut gue, memberikan konstribusi kebahagiaan yang tidak bisa dipandang remeh.

Udah ah ceramahnya..lanjut ke obrolan yang lebih ringan, tentang hobi baru gue yang kata orang 'menyiksa badan' tapi kata gue 'membina badan'. Gue sekarang lagi hobi banget sama aikido, salah satu ilmu bela diri. Gue nggak mau panjang lebar ngejelasin teknik aikido, abisnya semuanya dalam bahasa Jepang dan gue terus terang nggak apal namanya. Tapi kalo diserang bisa otomatis ngelakuin teknik yang bisa bikin lawan gue terkapar atau paling enggak ngilu persendian.

Kenapa gue suka Aikido? Menurut gue aikido nggak cuman melatih badan, tapi juga melatih jiwa. Bisa membanting orang yang berat dan tingginya dua kali diri gue, bisa bikin ego dan kepercayaan diri jadi berlipat ganda, dan bisa melepas stress!! Lagian, di dojo kita berlatih bareng2 tanpa membedakan jenis kelamin ataupun level. Jadilah gue musti adu tanding sama cowok yang sabuk hitam dan dan 2! Hasilnya, kita jadi bisa menghargai latihan fisik dengan lawan jenis tanpa mikir macem2 (paling enggak dalam sebagian besar kasus). Ini bisa menjembatani perbedaan fisik antara laki2 dan perempuan dan hopefully to stop seeing others just as sexual object but also as partners and friends. Yang paling seru kalo kita latihan dengan pedang kayu..serasa jadi samurai seperti di dalam film2 Akiro Kurosawa kesukaan gue. Gue jadi bangga banget sama diri gue sendiri..hihi..dan rasanya gue jadi siap ngebela diri gue secara fisik kapan aja.. Latihan 3 minggu sekali juga membuat gue jadi lebih nyaman sama badan gue. Pembawaan gue pun jadi terlihat lebih natural dalam setiap gerakan tubuh, kalo kata orang lebih luwes. Dan gue yakin ini juga yang membuat diri jadi terlihat lebih physically attractive (kata temen2 gue di Indonesia lho)..duile..*cuih cuih*.

Jadi siapa bilang untuk cantik musti berkorban uang untuk beli baju dan kosmetik bermerek? Olah raga yang teratur, apalagi olah raga yang juga merupakan hobi bisa membuat badan lebih sehat (dan menarik), dan membuat kita lebih nyaman dengan tubuh kita sendiri. Kita pun terlihat lebih segar dan percaya diri, yang kemudian memancarkan aura positif yang walaupun tidak membuat hidung pesek jadi mancung tapi tetap membuat kita enak untuk dilihat. So girls..wanna try Aikido?

Monday, April 25, 2005

How does look matter?

In reading one blog from my dearest friend Wira, I cannot avoid myself to have discussion in my head. A discussion that should take place if Wira is close by, as we were used to. Just another discussion among our countless discussions in the past, present and hopefully future.

Does look matter? You bet! It matters a lot! It matters anytime, everywhere and for everybody. It is thus pointless to oppose that fact, but one question is missing, how does it matter? While Wira's blogging is a dicussion on human's normal tendency to praise beauty, a reality that no one should apologize for, he only touches the how question very briefly.

I can only agree that beauty attracts, one of the condition of beauty itself is the ability to attract others. But then, does being attracted equal to be in love with? In some cases yes, but not in others. And again, what is beauty? what is attractive?

As many people, Wira's blog tends to define beauty as physical attractiveness. He then just crossed out character attractiveness as a simple comfort. How does look matter? Is it when you have straight nose, full lips, big eyes, long eyelashes, fair skin, big boobs, sexy hip, and long legs? How does look matter? Is it only when female or male use their sexuality to attract others? This understanding only gets half of what human beauty is. By praising physical beauty, one will overlook other beauty or dismiss it as simply kindness, comforting, and best friend quality. I will not discuss the social endowment of beauty, but I just want to say that you do not need to be 'beautiful' to attract your opposite sex. Needless to say that beauty does not garanty love.

Many of my friends will say.."yeah right! Easy for you to say, you are not ugly." No it is not easy. Not many of them know how I was called and nicknamed ugly by my family since I can understand what the word means. Not many of them know how I cried inside when people mocked me of being tomboy and not feminine like my little sister. Not many of them know how I hated everything about my body, how I wished to be taller, have fairer skin, preetier face, black and thick hair, and more femine body. Not many of them know how I fight my way of refusing the beauty prison, how I had to listen to my mother's preach on how important it is for a girl to put make up and try to be beautiful, especially in my case. Yes, I was ugly. And I accepted it, with hatred and tears, of course.

But then what is really suprising, there were still some boys who were attracted to me. Yup, boys, those people who mostly do not have deep understanding nor care on anything but physical beauty. I still remember my friends and family commented on how surprise they were to know that there were boys who would be interested in an 'ugly duck' like me. Why would they?

My answer, because I force people to see my human beauty. I always try to be proud of my thoughts, identity, and strong character. I do not hide myself behind powders or lipstick. I let my personality to shine. I argue, fight, and laugh freely. I was and hopefully will always be myself, despite to be perceived as rude or not-a-girl.

So how does look matter? It is when your eyes speak your mind, it is when your eyes smile when your lips smile, it is when your face radiates a pride of yourself. It is when you smile and laugh when your heart wishes, it is when your mouth speaks the words of courage, honesty, and loyalty. It is when your ears are open for others, when your thoughts are always wish them well, when your tears do not stop you from helping them to go through difficult moments. It is when you are sure where are you going, why are you going and that you will never stop. How does look matter? It is when you are being yourself and be proud of it!

Physical beauty is not the only way to be attractive. One of my ex, who is now my friend, told me that he was attracted to me because I looked smart, not beautiful. And beauty is not the only key to be loved. Besides, there is one person whose love is the most important, yourself. Before you let anybody else loves you, make sure that you have loved yourself. Thus, you will be sure that both of you will love the same person. Not a person that the other imagines what he/she should be. And when you have found someone who teaches you to love yourself, you have found the love. I have, and now I can finally say that I am beautiful.

Wednesday, April 20, 2005

NostalgiLa...

Ngebaca bahan kuliah sambil ngedengerin Chrisye jadi kangen sama masa lalu. Jadi inget waktu gue masih muda..*serasa udah nenek2*...jadi pengen nulis cerita nostalgila masa SMA. Kenapa nostalgila? Abisnya pengalaman ini adalah salah satu pengalaman yang paling memalukan dalam hidup gue (gue emang sering banget memalukan diri sendiri *sigh*).

Waktu kelas satu SMA gue sebangku ama Ari. Gue kenal semenjak SMP, tapi nggak berapa dekat. Berhubung temen sebangku, kita jadi temen seperjuangan dalam peliknya kehidupan remaja. Kebetulan sahabat dia dan sahabat gue duduk sebangku di kelas sebelah. Jadilah kita kemana2 berempat. Gue yang galak, cerewet, dan kagak menarik sama sekali; Ari yang cantik, tinggi, populer, tapi sebenernya sering panik kalo masalah cowok; Herni yang pinter, cool, supel, dan kalo ngomong super nge-rap; dan Irma yang kalem, baek hati, rendah hati dan sayangnya juga sering rendah diri.

Ceritanya terjadi kira2 nggak lama setelah kemasukan kelas. Seluruh pelajar harus menghadiri ceramah agama yang diadakan untuk seluruh pelajar SMA di kota. Ya sebagai anak baru, kita sih nurut2 aja. Jadilah kita ngendon di bangku tribun di GOR sambil pura2 berusaha ngedengerin ceramah, bersama dengan banyak pelajar dari sekolah yang lain. Kita duduk barengan dong..seperti biasanya.

Tiba2 kita dilempari peluru2 kertas dari barisan belakang..nah lho..gue langsung naek darah. Langsung ngomel2, ini siapa sih..iseng amat. Nggak tahu apa gue lagi berusaha konsentrasi, siapa tahu entar ditanya ama guru tentang isi ceramah. Gue liat kiri kanan, depan belakang, ternyata peluru kertas itu ditujuin buat Ari..Aduh..ini nih susahnya temenan sama cewek cakep. Banyak banget yang ngusilin, nyoba narik perhatian.

"..ri, eloe kenal nggak sama itu anak2 iseng?" gue tanya. "Nggak deh pit"
Gue langsung nengok ke belakang, sambil pasang tampang sebel dan garang. Eh..hujan peluru kertasnya malah tambah gencar..

Ujung2nya, 2 dari gerombolan cowok2 itu turun ke barisan kita. Ari langsung panik.."aduh pit, malah didatengin tuh. Pit eloe duduk di pinggir dong, eloe yang hadepin ya." Ya beginilah nasib si pipit, selalu ditumbalin buat ngadepin orang iseng, mentang2 gue galak. Jadilah gue pindah, sambil siap2 ngasih ceramah pedes ke anak2 iseng.

Bener kan...mereka nanya macem2..udah lupa pertanyaannya, satu yang inget. Mereka tanya.."SMA mana?" Gue dengan bangga dan galaknya jawab, "SMA 2, emang kenapa?" Eh disahutin.."Masuknya pasti nyogok ya..nggak usah bangga gitu deh" Nekat itu orang..langsung gue semprot "Kalo ngomong nggak usah seenaknya ya..saya masuk nggak perlu pake nyogok. Buktinya saya bisa masuk 1-2!" Irma yang duduk di sebelah gue udah pucet ngeliat gue yang udah naek darah..dia sibuk narik2 lengan gue, sambil bisik "pit..pit..udah pit." Inti cerita cowok2 itu balik lagi ke barisan belakang, dan gue wanti2 ke Ari buat cuek.

Gue kira sampe segitu aja ceritanya, tu parles. Keesokan harinya, seperti biasa gue ama Irma berjalan barengan ke depan pintu gerbang setelah turun dari angkot. Di sebuah beranda rumah di samping gerbang ada sekumpulan anak2 cowok senior yang baru pulang sekolah. Gue nggak merhatiin siapa, dan emang biasa di rumah itu rame senior. Tapi tiba2..satu dari mereka teriak.."eh..itu anak SMA2 kemaren!!" Dan rame2 mereka berjalan menuju pintu gerbang pas di samping jalan. Gue hampir pingsan! Pengen rasanya nyemplung ke got di pinggir jalan. Mampus deh, ternyata anak2 kemaren itu senior kelas 3!! Mampus..mampus..Me and my big mouth! Irma langsung pucet "aduh pit, gimana nih..apa musti nyebrang jalan." "Nggak usah, terus jalan. Cuek aja, pura2 nggak denger. Nggak usah nunduk kayak gitu, liat lurus ke depan, kepala tegak. Ayo!"

Jadilah kita berdua lewat di depan pager rumah itu yang penuh dengan senior yang sibuk berkomentar nyeleneh, "Halo anak SMA2..wah pake kaca mata ya..pasti pinter deh..anak SMA 2 kan" sambil ketawa ketiwi. Bener2 pengalaman memalukan seumur hidup! Nggak tahu kekuatan dari mana yang membuat gue sanggup jalan tegak begitu.

Tapi pengalaman ini ternyata bersambung ke persahabatan baru dengan para "the untouchable" (bagi anak kelas satu, anak kelas tiga itu setengah dewa), dan cerita ini adalah awal dari cerita masa SMA gue yang penuh warna. Cerita yang menolak untuk terhapus oleh waktu.

*dedicated to my three best girl friends and the untouchable.
*penulis memohon maaf atas ketidakakuratan beberapa dialog. Maklum, cerita ini sudah berumur hampir 13 tahun.

Stopan kedua

Abis makan siang bareng2 Xaf and Chris, gue musti naek tram buat ke kantor. Eh..di stopan berikutnya, naek makhluk tampan yang menarik perhatian gue. Cuman dikit, tapi tetep aja..mata tetap melirik. Wajahnya biasa (untuk ukuran orang Eropa, iya nih gue emang lemah hati kalo ngeliat cowok eurasia), tapi enak dilihat..lembut dengan bandel terpendam *senyum penuh arti*. Matanya biru laut..dan dia duduk di bangku di depan gue, menghadap ke gue lagi! Well..well..kita sempet beradu pandang sebentar. Satu detik..maksimal dua, tapi cukup. Cukup membuat hari yang mendung ini jadi lebih indah.

Satu lagi kelebihan kota Jenewa, penuh dengan makhluk tampan dan cantik...berseliweran dimana2. Mata tidak hanya dimanjakan oleh tata kota yang apik, taman kota yang asri, tapi juga penghuni kota yang beragam dengan keindahan mereka masing2.

Jenewa itu seperti dunia kecil. Kota ini sungguh2 kota internasional, hampir semua warganegara, etnis, agama, dan bahasa ada di sini. Beragamnya manusia dan keharmonisan antar perbedaan membuat Jenewa kota impian. What can I say..variety is beauty. To see mixed couples holding hands and love each other reminds me that differences are not damned to dispute. To see children from different culture, ethnic, nationality, and probably religion play together and sometimes have discussion in different languages, and yet able to understand each other, show me a possible future. A future where differences will not create fear or hatred. A future where people will not judge others on their differences. A peaceful future.

Will I see that future? I am afraid not. But then living in Geneva allows me to taste that future.

Monday, April 18, 2005

Apel dan bakso

Apa coba hubungannya antara apel dan bakso? Mungkin kebanyakan orang bakal nyahut, kagak ada! Tapi sebenernya ada hubungan yang sangat menarik antara apel dan bakso. Dua2nya adalah jenis makanan (atau buah buat si apel) selingan di waktu2 yang bukan sarapan, makan siang atau makan malem (walau banyak yang makan bakso buat makan siang, antara para maniak bakso atau para pekerja yang nggak sempet kemana2 kecuali ke abang tukang bakso di depan kantor)

Saya kadang (8 out of 10) maniak bakso, tapi nggak sampe menggantikan menu makan siang dengan bakso. Bakso merupakan cemilan favorit saya, terutama pas ujan2 atau pas lagi pilek. Cobain deh makan bakso pake sambel cabe rawit satu atau dua sendok makan penuh, dijamin pileknya sembuh. (Warning: pas makan bakso, musti siap2 tisu satu gulung ato satu kotak) Kalo si pipit nggak ada di rumah sekitar jam 10 pagi ato jam 3-4 sore, cari aja di warung bakso, kemungkinan nemunya besar. Teman2 yang lagi maen ke rumah sore2 nggak jarang ngeliat si pipit bersama dengan pembantunya, mengejar2 tukang bakso grobak sambil ngejerit2 kayak orang kalap. Untung si abang bakso udah biasa, jadi nggak jantungan kalo udah dikejer2 kayak begitu.

Sampe di sini harus berhadapan dengan kenyataan pahit..boro2 tukang bakso grobak keliling, yang namanya warung bakso itu tidak eksis!! Baksonya sih ada, yang beku. Tapi kuahnya gimana dong? Masak mau ngemilin bakso begitu aja? Nggak afdol atuh, lagian udah dicoba. Mulut jadi berasa sapi (quote kata2 Sanny, salah satu temen baik saya, setelah makan bakso 2 mangkok) Tapi yang namanya laper manja tetep eksis. Jadi terpaksalah saya menggrogoti apel seperti layaknya orang2 di sini, kalau lapar di bukan jam makan muncul.

Pasti banyak yang komentar, emang apa salahnya makan apel? Kan enak, sehat lagi. Emang bener..tapi masalahnya saya ini orang kampung (Xaf's new favorit words). Di Indonesia aja makan apel beberapa bulan sekali, abisnya apel kan mahal. Udah gitu yang dimakan juga apel merah yang rasanya manis dan garing..kruik..kruik (nyokap kalo milih apel yang harus bisa dijadiin senjata nimpuk maling!) Ritual makan apel pun harus dikupas dulu (bukan karena alasan lilin yang dilumuri di apel impor, tapi karena nyokap clean maniac), terus dipotong2 dan dibagi2 dengan seluruh keluarga. Dua (maks. tiga) apel ukuran sedang untuk sekeluarga. Pencuci mulut sehabis makan. Nggak ada yang namanya makan apel sendirian, kecuali kalo makannya nyumput2 atau di atas genteng. (Diancam dengan hukuman mengupas apel untuk seluruh keluarga)

Apel di sini macem2, beragamnya sama seperti beragamnya buah mangga dan pisang di Indonesia. Tapi satu yang sama, rasanya nggak manis kayak apel dari Australia yang nyokap sering beli. Ada mungkin, cuman saya nggak pernah nemu. Di sini apel umumnya asem2 manis (kata orang, kalo kata saya, kebanyakan asemnya). Udah gitu makan apel pun jarang yang dikupas dan dipotong, kan kulit apel baik untuk kesehatan. (Note di sini apel nggak dilumurin lilin, wong mereka nggak perlu impor). Apel cukup dicuci di keran, atau kalo nggak nemu keran, cukup digosok2 di baju (just for the sake of having cleaning activity, it doesn't clean anything!) terus di..krauk!!

Inilah sumber dari keluh kesah saya tentang apel dan bakso. Apel di sini kebesaran buat saya. Tiap ngegigit apel, nggak pernah bisa kayak teman2 saya di sini, bisa bikin big chunk! Udah gitu sering banget gigi saya jadi berdarah dan langit2 mulut jontor. Dan saya sampai sekarang belum pernah bisa menghabisnya satu apel sendirian, selaper2 saya. Yang ada saya jadi sering buang apel yang nggak habis dimakan, rasanya sedih buang2 makanan. Tapi mau bagaimana lagi? Sisa apel setengah kan nggak bisa dikantongin.

Beda dengan bakso!! Saya bisa habis 2 mangkok sendirian (yang berani2 ikut nimbrung ke dalam mangkok bakso saya siap2 aja nerima sendok melayang), dan nggak pernah tuh langit2 mulut jontor habis menyantap bakso. Bibir jontor sih sering, abisnya saya suka nggak bisa mengira2 jumlah sambel.. Kalo aja ada warung bakso, musim dingin pun bisa jadi lebih menyenangkan. Kalo ujan aja nikmatnya segitu, apalagi pas musim dingin makan satu mangkok bakso Sony super pedes..ahh..Dan yang paling bikin nelangsa, harga satu mangkok bakso lebih murah dibandingkan satu buah apel!

Oh..bakso..saya kangen... Ditambah saya sudah 2 minggu pilek nggak sembuh2!!! Terserah orang mau ngomong one apple per day keeps you away from doctors, saya sih bilang one bowl of meatballs per day can also keeps you away from doctors. Dengan catatan, tiap hari ngejer abang tukang bakso keliling komplek.

Thursday, April 14, 2005

Beasiswa dan willpower

Menanggapi komentar atas tulisan saya tentang beasiswa, Anonymous mengingatkan saya satu persyaratan 'untuk mendapatkan beasiswa' yang paling penting: Willpower.

Benar sekali, yang namanya willpower, kemauan dan semangat, itu penting sekali. Dengan adanya kemauan seseorang pun jadi berani untuk mencoba melamar beasiswa. Dan kemauan juga membuat kita menjadi lebih rajin kuliah dan bisa mendapatkan IPK yang baik. Kemauan dan semangat juga yang memberikan kita keberanian untuk bertualang ke negeri orang, belajar bermasyarakat dari nol, dan menyesuaikan diri tidak hanya dengan kehidupan akademis, tapi juga dengan kehidupan sehari2.

Untuk anonymous, terima kasih atas komentarnya. Jadi sekarang saya mau menerangkan willpower saya yang bisa membuat saya mendapatkan beasiswa.

Saya rasa untuk bisa mendapatkan beasiswa kita harus bisa berbahasa Inggris dengan baik. Nggak cuman bisa menyanyi atau merayu dalam bahasa Inggris, tapi membaca, menulis dan berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris. Sayangnya budaya berbahasa Inggris belum merata di pelajar2 Indonesia. Kita belajar bahasa Inggris hanya untuk ujian saja, tapi tidak untuk benar2 mencoba memahami atau menguasai bahasa tersebut. Beruntung saya cukup bisa berbahasa Inggris, yang tidak hanya membuat saya bisa untuk kuliah di luar negeri tapi juga membuat saya berani mencoba hidup di negeri orang. Percaya atau tidak, kemampuan saya berbahasa Inggris bukan karena pernah ikutan les di luar negeri (tak sanggup biayanya), tapi hanya dari pelajaran di sekolah, les 3 kali seminggu, baca buku, dan chatting. (Yup chatting! Ada gunanya kan..)

Saya dari dulu paling senang pelajaran bahasa Inggris, alasannya sederhana, karena saya ini cadel! Tidak bisa mengucapkan r dengan benar. Tapi kecadelan saya yang sering jadi bahan olok2 teman2 sekolah saya malah membuat saya lebih mudah dalam mengucapkan kata2 dalam bahasa Inggris. Teman2 saya tidak bisa mengejek saya kalau dalam pelajaran bahasa Inggris, terlebih lagi karena saya sangat serius dalam belajar bahasa Inggris. Kalau PR Matematika saya selalu nyontek kakak saya, kalau bahasa Inggris saya selalu mengerjakan dengan semangat. (Note: Saya dapat pelajaran bahasa Inggris dari semenjak kelas 3 SD) Nilai saya selalu bagus, dan saya selalu aktif di kelas (hanya untuk pelajaran ini aja, yang lainnya sih..ah sudahlah)

Ditambah, mama saya punya dendam kesumat sama yang namanya pelajaran bahasa asing. Dulu, sewaktu dia lulus sekolah, dia dapet nilai jeblok, dan semenjak itu dia bertekad anaknya harus pinter bahasa Inggris. Mungkin maksudnya mau bales dendam secara tidak langsung sama guru SMA-nya. Jadilah kita diharuskan les bahasa Inggris semenjak umur 8 tahun. Lha..saya diles-in bahasa Inggris seperti kucing dikasih ikan asin. Senang buanget..nget..nget. Dan saya memang tidak pernah berhenti les bahasa Inggris sampai SMA, dan selalu belajar sendiri di rumah, baik melalui lagu, buku, atau film. Malah sempet ngapalin kamus bahasa Inggris sampe 10 halaman..(terus migraine) Kadang saya suka iri sama teman2 yang bisa ke Australia satu bulan untuk les, tapi ya ortu saya bukan orang kaya. Jadi ya saya cuma bisa belajar di les dan di sekolah.

Kegemaran saya berbahasa Inggris membuat saya jadi bermimpi untuk bisa kuliah di luar negeri. Waktu saya bilang ke papa, papa cuma bisa bilang, "bagus itu..tapi papa terus terang nggak bisa ngebiayain. Gimana kalau pipit sekolah yang pinter, nanti kan bisa dapet beasiswa ke luar negeri? Kalau pipit dapet beasiswa, papa sama mama pasti ngijinin pipit mau sekolah ke mana aja dan setinggi apapun." Dari situlah saya mulai bertekad untuk bisa dapet beasiswa.

Waktu memilih mata kuliah pun saya sengaja memilih jurusan yang bisa membuat saya sekolah dan hidup di luar negeri. Pertama saya milih kehotelan Nhaii Bandung. Ditolak (ini pasti karena saya kurang tinggi..*ngeles*). Akhirnya milih Hubungan Internasional, dengan pikiran..kan ada Internasionalnya, pasti entar bisa keluar negeri. Cetek banget kan pikiran saya. hihihi...

Selama kuliah saya kerja keras, habisnya masuknya pake berantem sama mama. Menurut dia HI itu nggak ada gunanya. Jadi saya mau nunjukin ke ortu kalau saya serius. Saya pun bisa lulus dengan cepat dan dengan nilai yang bagus. Kesempatan untuk mendapat beasiswa makin terbuka. Dan saya pun iseng2 ngelamar, akhir cerita saya sampai terdampar di sini.

Waktu saya dapet kabar kalau saya keterima dan harus berangkat, saya masih inget mama saya nangis sambil meluk saya. Dia bilang, "ya ampun pit, mama nggak nyangka kalo keinginan kamu dari kecil bisa kesampean begini. Siapa yang nyangka ya nak rejeki kamu bisa bagus begini. Kamu siap nggak pit tinggal di negeri orang?" Papa juga sama tersentuhnya; "aduh pit..kamu beneran jadi hidup di luar negeri, ninggalin papa. Nanti kamu makannya bagaimana, kamu kan kalau makan milih2, kalau sakit bagaimana? Kamu kan penyakitan. Di sana kan dingin, kamu kan alergi dingin." Tapi entah kenapa saya sama sekali nggak takut untuk pergi, saya rasa karena saya sudah mempersiapkan diri semenjak saya berumur 8 tahun. Saya pikir, pasti bisa, harus berusaha!

Tapi ternyata dibutuhkan willpower yang lebih banyak untuk bisa bertahan hidup di sini. Semuanya berbeda, semuanya susah. Saya terseok2 dalam pelajaran, dan stress dan kesepian di kehidupan sehari2. Gimana nggak stress, mau ke kantor pos aja saya deg2an setengah mati, saya harus mempersiapkan diri dengan kata2 dalam bahasa perancis hanya untuk mengirim kartu pos ke teman2. Dan saya pun harus menghadapi berbagai kegagalan di kuliah. Sudah hampir mau ngepak dan pulang, tapi Xaf tetap berusaha menghibur. Dia bilang, wajar kalau kamu kaget, kan namanya semester pertama. Coba satu semester lagi deh, kalau memang kamu nggak mampu dan mau pulang, ya silahkan. Lagian saya pikir2, saya belum pernah menyerah di tengah jalan selama hidup saya, masak mau nyerah sekarang?

Jadilah saya belajar seperti orang kesurupan. Kalau tidak ada kelas saya ngendon di perpustakaan hampir 12 jam. Saya sampai punya tempat duduk langganan, dan temen baca langganan (ini cowok kayaknya tahu kalo saya selalu duduk di tempat yang sama, dan dia selalu duduk di depan saya..*ge er nih ceritanya*). Nggak ada yang namanya keluar maen2, jalan2, pesiar, dsb. Teman2 saya di Indonesia sampai kecewa waktu mereka tanya, pit sudah kemana aja? dan jawaban saya..rumah, kampus dan perpustakaan. Mereka cuma bisa bilang..ya ampun pit, eloe kok makin kutu buku begini. Tapi usaha saya tidak sia2, saya lulus. Nggak nyangka, padahal saya rasanya hampir loncat dari balkon waktu mengerjakan tesis. Nggak nyangka kalo tesis bisa selesai tepat waktu. Dan waktu penerimaan ijasah, mata saya berkaca2. Untung rame, kalo enggak udah sesegukan sambil meluk si rektor.

Kesimpulan, willpower itu kunci untuk bisa meraih impian, termasuk ngedapetin beasiswa. Kembali menjawab anonymous, tidak wajib jadi orang kaya untuk bisa dapet beasiswa dan kuliah ke luar negeri. Saya tidak berasal dari keluarga kaya, dan saya kenal teman2 yang dapat beasiswa ke luar negeri yang tidak berasal dari golongan atas. Yang penting semangat!!

Beasiswa

Sebab utama saya sampai terdampar di Jenewa adalah karena saya menerima beasiswa dari Konfederasi Swiss (pemerintah Swiss). Saya rasa mungkin banyak teman2 sekalian yang ingin tahu bagaimana bisa dapet beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Jadi saya mau cerita sedikit tentang proses melamar beasiswa.

Saya terus terang beruntung sekali, abisnya baru melamar sekali langsung dapet, padahal baru lulus dari S1 dan belum punya pengalaman kerja atau mengajar sama sekali. Jadi buat yang baru lulus kuliah, jangan berkecil hati, tidak perlu jadi dosen kok untuk mendapatkan beasiswa. (Walaupun ada teman penerima beasiswa yang lain, dosen salah satu universitas ternama di Indonesia, sempat terheran2 pas tahu kalau saya baru lulus)

Kok bisa?

Setelah dipikir2 mungkin ada 3 jawaban:

Pertama, nilai IPK saya termasuk bagus. Dan memang waktu saya berdiskusi sama petugas pengurus beasiswa, beliau menjelaskan bahwa mahasiswa yang mempunyai peluang untuk diterima adalah mereka yang memiliki IPK di atas 3,00.

Jadi buat yang belum lulus kuliah, ayo..perbaiki IPK sampai 3,00 atau kalau bisa di atas 3,50. Peluang diterima pun semakin besar. Waktu semester pendek digunakan dengan baik untuk mengulang mata kuliah yang dapet C. Untuk yang sudah lulus, well..saya tidak bisa memberikan saran, kecuali untuk bekerja terlebih dahulu. Karena ada beasiswa yang dikhususkan untuk bagi yang sudah bekerja, terutama untuk pegawai pemerintah atau pendidik.

Kedua, saya sudah dapat lampu hijau dari dosen yang akan membimbing saya di universitas tujuan. Kebetulan sewaktu saya lulus kuliah, papa memberikan hadiah saya tiket untuk berkunjung ke Jenewa. Saya pun sempat berdiskusi dengan profesor pembimbing, dan dia rela memberikan surat rekomendasi untuk saya. Perhatian, surat rekomendasi dari profesor di universitas tujuan PENTING sekali. Sebagian besar pelamar gagal diterima karena tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut. Seperti yang dicantumkan di dalam formulir, setiap persyaratan harus dipenuhi untuk kemudian diproses. Kalau ada satu saja yang kurang, lamaran tidak akan diindahkan.

Untuk mendapatkan surat rekomendasi tidak perlu harus datang ke universitas bersangkutan. Kalau bisa bagus, kalau tidak cukup mengirim surat melalui e-mail. Tips, untuk supaya email kita dibaca dan dijawab (profesor itu sibuk banget dan menerima puluhan email setiap harinya), saya anjurkan untuk pertama2 menghubungi dosen di Indonesia dan cari tahu kalau mereka kenal dengan dosen yang mau dijadiin pembimbing. Kalau sesama dosen udah saling kenal dan anda dikenalkan via dosen anda di Indonesia, surat anda pun akan dibaca dan InsyaAllah dibalas. Perhatian, surat yang dikirim harus jelas, padat, singkat, dan sopan. Untuk yang akan berkunjung ke kampus langsung, sangat dianjurkan untuk menulis surat terlebih dahulu ke dosen yang mau dikunjungi. Minta appointment dan jangan lupa bawa surat rekomendasi yang buagus dan berbunga2 dari dosen di Indonesia.

Ketiga, saya diterima untuk mengikuti program master di universitas tujuan.

Syarat ini sangat vital untuk menentukan apakah anda akan mendapatkan beasiswa atau tidak. Sewaktu saya mengirimkan lamaran, belum pasti apakah saya akan diterima atau tidak, karena batas waktu pengajuan lamaran beasiswa itu akhir Oktober, sedangkan pengumuman penerimaan di kampus tujuan saya bulan Maret. Jadi syarat penerimaan di kampus tujuan dapat dipenuhi setelah deadline lamaran, tapi anda HARUS memberitahu pihak kedutaan. Sayangnya saya tidak punya tips untuk bisa meningkatkan peluang diterima di universitas tujuan. Tapi mungkin, kenyataan bahwa dosen pembimbing anda yang nota bene pengajar di kampus tersebut telah menyanggupi untuk menjadi pembimbing anda akan memperkuat peluang diterima. Di kampus saya, keputusan penerimaan mahasiswa post-graduate ditentukan oleh sekretariat dan fakultas.


Mungkin banyak yang bertanya, kenapa harus ke Swiss? Memang sih saya punya alasan pribadi, tapi selain itu menurut saya persyaratan beasiswa ke Swiss termasuk lebih mudah bila dibandingkan dengan beasiswa dari negara lain. Contohnya:

Inggris bukanlah bahasa nasional, walaupun hampir seluruh program post-graduate menggunakan bahasa Inggris atau mengijinkan mahasiswa untuk bekerja dalam bahasa Inggris. Jadi untuk yang tidak PD menggunakan bahasa selain bahasa Inggris, tidak berarti anda tidak bisa kuliah ke Swiss. Tergantung programnya.

Walaupun anda tidak fasih dalam menggunakan salah satu bahasa yang diwajibkan, tidak berarti peluang anda untuk menerima beasiswa hilang sama sekali. Saya sendiri waktu dites bahasa perancis gagal total!! Malu2in..mana ditesnya sama duta besar Swiss untuk Indonesia lagi..bikin malu nusa dan bangsa aja. Saya cuma modal senyum dan tampang memelas, dan menjawab pertanyaan seperempat perancis, tiga perempat inggris. hihihi.

Saya tetap menerima beasiswa, dan enaknya, karena saya gagal dalam ujian bahasa, saya diberi beasiswa tambahan untuk kursus bahasa perancis intensif GRATIS di Swiss. Saya hanya perlu berangkat 3 bulan lebih awal untuk kursus bahasa. Walaupun begitu kemampuan bahasa sangat menguntungkan dan bisa memperkuat peluang untuk diterima, terlebih lagi apabila kuliah anda nanti dalam salah satu bahasa nasional Swiss. Kalau untuk kasus saya, universitas yang saya pilih bilingual, Inggris dan Perancis.

Untuk yang berminat, saya sudah sediakan link di sideboard. Jangan malu2, petugas di kedutaan Swiss ramah2 sekali, jauh lebih ramah dibandingkan pegawai di Departemen Pendidikan. Email akan dibalas dan permintaan formulir pun akan diladeni. Saya aja dikirimin formulir oleh mereka, karena dulu saya tinggal di Bandung. Dan buat yang tinggal di Jakarta bisa datang langsung untuk mengambil formulir. Dan kalau mereka sedang tidak sibuk, mereka mungkin rela ketemu dan menjawab pertanyaan2 sehubungan dengan beasiswa (make appointment first, of course).

Di sideboard juga bisa ditemukan informasi untuk beasiswa ke Jepang, atau program beasiswa dari World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB). Ketiga program beasiswa ini ada yang dikhususkan untuk yang sudah punya pengalaman kerja, pegawai pemerintah, atau pendidik.

Program beasiswa ke Jepang beragam sekali, bahkan ada yang untuk undergraduate (S1) ditujukan untuk pelajar yang lulus SMA. Asik kan. Silahkan dilihat2, informasinya dalam bahasa Indonesia, jadi lebih mudah untuk dimengerti. Satu program yang sangat menarik adalah Asian Youth Fellowship Program. Menarik...karena program ini memprioritaskan bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan di bidang ilmu sosial. Kan biasanya pemerintah Jepang mengutamakan mahasiswa ilmu pasti atau teknik, kalau yang ini tidak. Yang lebih menarik lagi salah satu syaratnya adalah, pelamar TIDAK BOLEH BISA BERBAHASA JEPANG! Seru kan..

Selamat berburu beasiswa!!

Wednesday, April 13, 2005

Pengalaman si pipit hidup di Jenewa

Si pipit...terkagum2 ngeliat transportasi umum yang bersih, bebas asap rokok, ber-ac kalau panas, ber-heater kalau musim dingin; kegirangan ngeliat banyak gedung tua yang dihiasi dengan pintu2 antik; kebingungan sewaktu harus naik taksi Mercedes ..aduh..tangan harus ditaruh dimana ini, nanti kotor..aduh..ini buka pintunya bagaimana?

Si pipit...tersipu2 seneng waktu dicium pipinya tiga kali setiap dikenalin ke temen Xaf yang cowok..aduh..mimpi apa ya semalem ampe dicium begini sama cowok2 yang cakepnya ngalah2in Ari Wibowo?; terpegal2 sewaktu harus ngobrol dengan teman2 barunya yang keturunan genter; terbelalak waktu melihat banyaknya anjing2 ras berkeliaran di taman kota...deketin ah...

Si pipit...malu berat waktu hampir kejepit pintu masuk kampus...aduh, ini pintu kok muter2 sendiri ya..waks..; eneg pisan waktu harus naek lift naik turun..kena mabuk lift deh (emang ada? Ada..saya yang nemuin..*maksa*); malu2 tapi mau waktu ditawarin minuman beralkohol..pit, dosa pit, pit..tapi penasaran ini; muntah2 di pinggir jalan gara2 mabok Cidre...kagak lagi2 minum2 kayak gini..cukup sudah..tapi kalo Smirnoff Ice boleh deh..yeee!!

Si pipit...sibuk berbekal sambel pedas ABC kemana aja..abisnya masakannya aneh..rasanya kok ajaib banget..pakein sambel banyak2 deh..udah pernah nyobain spaghetti bolognese rasa sambel ABC?; hampir pingsan waktu lewat di depan toko keju; ditantangin makan keju dari susu kambing..dan kalah total!!

Sakit dan produktifitas

Kalau ada yang merhatiin gambar kartun lucu di sideboard, pasti udah ngeh kalau saya ini sedang sakit. Sakitnya sih nggak parah, cuma sakit flu. Tapi saya ini paling sebal kalau sakit flu, karena dibilang sakit juga nggak terlalu parah yang membuat saya rela untuk istirahat total di rumah. Tapi dibilang sehat juga nggak bisa, karena kepala saya puyeng, yang nggak memungkinkan saya membaca, mata berair, hidung mampet, dan badan rasanya nggak enak. Jadi ya tetap nggak bisa bekerja dengan baik, dan teman2 sekantor sibuk nyuruh saya pulang untuk istirahat. Berhubung badan rasanya makin ngilu dan tissu sudah habis, terpaksalah saya pulang.

Tapi kok males banget kalau disuruh tiduran. Akhirnya, ngeblog deh. Jadi selama saya sakit, saya malah produktif menulis, karena menulis menurut saya tidak memerlukan konsentrasi tingkat wahid seperti membaca (pernah coba baca artikel antropologi dengan hidung mampet?), dan dengan menulis saya jadi merasa tidak bermalas-malasan hanya karena sakit flu ringan.

Kalau membicarakan penyakit, saya bisa cerita panjang lebar sampai 3 volume. Habisnya saya ini kok ya sering banget ditaksir sama berbagai penyakit, yang membuat saya sering dijulukin penyakitan. Gimana enggak, habis ujian pasti sakit, kalau musim pancaroba pasti sakit, kena hujan dikit langsung sakit 2 hari, flu bisa sampai 2 minggu, makan salah sedikit sakit lambung kumat atau yang lebih parah alergi sampai muka bengkak seperti balon.

Pindah ke sini yang namanya sumber penyakit jadi nambah deh. Dalam setahun, enam bulannya adalah ajang saya kena tempel penyakit. Masuk musim gugur sakit, pas musim dingin sakit, selesai musim dingin sakit lagi. Pas musim panas, kalau kelamaan di bawah matahari langsung puyeng dan kena heat stroke. Pokoknya hidup saya ini selalu ditemenin sama penyakit.

Tapi karena udah temenan lama ama penyakit, saya jadi 'kuat'. Penyakit jarang membuat saya memberhentikan aktifitas. Dari kecil saya sudah terbiasa ke dokter dan minum obat sampai 5 jenis sekaligus. Nyokap nggak pernah ngijinin saya nggak masuk sekolah kalau hanya demam sedikit. Kalau kita masih bisa berdiri harus tetep pergi ke sekolah. Waktu upacara pun saya nggak pernah mau istirahat walaupun muka saya sudah biru. Saya tetep keukeuh berdiri di lapangan.

Pas kuliah saya pernah tetap masuk ujian walaupun demam tinggi, badan lemas, dan harus digotong sama dua orang temen saya sampai ke bangku ujian. (Thank to centrum overdose and 4 hours of sleep) Teman2 sempat khawatir kalau saya akan pingsan di tengah2 ujian. Selesai ujian saya langsung dipapah sampai ke kamar kost dan langsung terkapar di tempat tidur sampai keesokan harinya. Saya juga tetep tertatih-tatih mengawasi petugas konsumsi membagikan makanan untuk salah satu expo kampus.

Intinya, saya ini tengil banget. Sudah tahu penyakitan, tapi nggak bisa diem, ada aja yang harus dikerjain, rapat yang harus dihadiri, panitia yang harus diurusin, pacar yang harus dikunjungi, dsb. Pernah sekali, sangking teman2 gemes ngeliat saya yang sudah terpincang2 keseleo masih mau ngejer2 anak majalah kampus dan ikutan rapat panitia, mereka menggotong saya rame2 ke dalam mobil buat dianter pulang. Di tengah2 kampus saya tiba2 diangkut rame2. Malunya itu lho...dua megangin kaki saya, dua megangin lengan, satu megangin kepala, satu ngangkut tas dan buku, dan yang satu sibuk ngebuka jalan!

Kalau ada yang tanya kenapa sih saya ini seperti cacing kepanasan, selalu terbirit2 kesana kemari? Jawaban saya: waktu itu nggak akan pernah kembali lagi. Satu detik yang terbuang tidak akan bisa dipungut lagi. Dan berhubung saya ini hanya orang biasa2 saja, saya pengen bisa memanfaatkan semua waktu saya untuk melakukan sesuatu yang berguna. Saya pengen bisa melihat ke belakang dan tersenyum, menyadari bahwa saya telah menggunakan waktu dengan baik.

Jadi siapa bilang kalau penyakitan harus pasrah dan diam di rumah. Penyakit bisa kok diajak kompromi, bisa dicuekin sementara. Yang penting semangat dan kemauan. Energi yang sedikit kalau disalurkan dengan baik bisa menghasilkan karya. Seperti blog saya yang semakin ramai.

Tuesday, April 12, 2005

Dream comes true

Siapa sih yang nggak seneng kalo impiannya kesampean? Seperti halnya manusia yang laen, saya bahagia banget kalo ada mimpi yang jadi kenyataan. Selama ini Tuhan sayang banget ama saya, banyak impian saya yang udah dijadiin realita. Bisa lulus kuliah dengan baik, bisa dapet beasiswa untuk melanjutkan kuliah, bisa megang salju, bisa kerja di PBB (walaupun cuman magang selama 2 bulan), bisa punya temen dari berbagai negara, dan bisa dapet suami yang nggak cuman bisa ngertiin saya tapi juga bisa memperbaiki keturunan. *nyengir lebar*

Tapi ada satu impian saya yang pas kesampean malah bikin malu. Ceritanya diawali pada tahun 1992 atau 1993. Waktu itu, entah kesambet dari mana, saya jadi pengen ikutan cover girl. *twink twink..jadi malu* Kalo boleh ngeles, itu karena pengaruh dari temen2 yang rame2 ikutan ngirim poto sama data diri ke cover girl, majalah Aneka kalo nggak salah. Mereka pada mojok2in saya untuk ikutan ngirim, alasannya.."eloe kan nggak jelek2 amat pit, buktinya ada cowok yang mau ama eloe." *gubrak* Ditambah nyokap semangat banget ngomporin, persis kayak kompor hitachi panasnya. Saya rasa dia bersukur ngeliat anak perempuannya yang tomboy dan nggak mirip kayak anak perempuan tiba2 ingin ikutan sesuatu yang girly. Ya sudahlah, dengan bekal nekat dan dianterin sama bokap, jadi deh poto close-up. Hasilnya..ancur minah!! Baru seumur hidup saya dipoto segitu deketnya..kok kepala saya gede amat ya? Tapi nyokap sama temen2 tetep keukeuh nyuruh saya ngirim lamaran, kata mereka "kapan lagi pit ada lowongan cover girl yang nggak mencantumkan syarat tinggi badan?" (iya..iya..saya sadar kok kalo berkaki pendek), atau yang lebih menghibur "ya biar deh potonya isinya kepala semua, tapi jadi keliatan kan kalo kulit muka eloe mulus banget" (emangnya mau buat iklan amplas?) Jadilah saya ngirim poto yang penuh dengan muka saya, diawasi nyokap yang sambil melotot, memastikan kalo potonya beneran saya kirim, nggak dibuang. Akhir cerita, saya sama sekali nggak diterima. Berakhir juga cita2 centil untuk jadi model.

Siapa yang nyangka kalo tiba2, 10 tahun lebih kemudian, cita2 saya dikabulin, dalam bentuk yang sama sekali nggak saya perkirakan. Saya tidak pernah menduga kalau cita2 centil jadi model ternyata bukan terwujud si studio poto atau redaksi majalah, tapi di rumah sakit umum Jenewa. *haaahhh*

Sekarang kita loncat ke 21 Maret 2005. Setelah 4 tahun menderita alergi kulit, konsultasi ke empat dokter yang berbeda, dan membeli cream macem2 yang dianjurkan dokter, alergi saya tidak juga membaik, malah parah dan saya memutuskan untuk coba nge-check alergi saya. Sampai di rumah sakit, dokter muda (istilahnya dokter magang) yang meriksa saya terkagum2. Bukan dalam arti yang positif, tapi terkagum2 karena dia nggak pernah liat kasus yang separah kulit saya. *sigh* Dia antusias sekali ngeliat bagaimana masalah kulit kering bisa sampai segitu dashyatnya, bisa menjalar ke sekujur tubuh. (Note, saya musti menanggalkan baju biar dokternya bisa lihat dengan jelas masalah kulit saya. Jadilah saya duduk dengan canggung di atas dipan periksa berlapiskan hanya pakaian dalam. Untung dokternya cewek, kalo enggak udah malu jiwa dan raga)Karena tahu sejarah medis saya yang sudah gonta ganti cream tapi tetep aja nggak ada perubahan, dia akhirnya manggil dokter kepala untuk mendukung diagnosis dia dan untuk ngasih pendapat lain tentang perawatan yang tepat buat saya.

Terbirit2 dia keluar kamar periksa untuk memanggil si dokter kepala, saya yang setengah bugil dianggurin. Lima menit kemudian si dokter tiba kembali sambil diiringin oleh dokter kepala bagian dermatologis. "Bonjour" ... alamak, ternyata dokternya bapak2! Waduh...ya sudahlah, saya sudah pasrah. Nggak usah mikir macem2 pit, yang penting kan bisa sembuh.

Dokter kepala ini sama antusiasnya, dan waktu dia tanya tentang perawatan yang saya lakukan, dia langsung kaget. Karena ternyata selama ini dokter2 yang dulu salah memberikan diagnosis dan perawatan. (Waduh!! Sia2 dong duit yang selama 4 tahun udah dihamburin buat beli berbagai macam cream yang kagak ada manfaatnya. Tapi di lain pihak jadi seneng, ternyata masih ada kemungkinan sembuh)Dia sangking emosinya terus tanya nama dokter yang memerika saya beberapa tahun yang lalu di rumah sakit yang sama, karena menurut dia keterlaluan sekali kalau dokter tersebut tidak bisa memberikan diagnosis yang benar untuk masalah se-sepele ini. (Dalam hati ngedumel, sepele dari mana?? Ini saya sudah menderita tekanan jiwa selama 4 tahun!!) Berhubung saya tidak ingat lagi nama dokter bersangkutan dan rekor kesehatan saya sudah lenyap, dia berhenti ngomel2, dan konsentrasi nyari perawatan yang tepat buat saya.

Saya kira pemeriksaan sudah selesai, lega bisa ngacir dari ruangan, habisnya ini muka sudah panas menahan malu. Tapi tiba2 si dokter kepala nanya kalau saya bersedia untuk menerima dokter2 muda lain untuk datang ke ruangan, untuk bisa lebih mengerti kasus penyakit kulit kering yang 'cukup unik', untuk menghindari kesalahan diagnosis di masa datang. Aduhh...ini sama dua dokter aja malunya setengah mati, kalau dokter2 yang lain pada dateng, malunya jadi satu mati deh...musti jawab apa ya? Tapi ya sudahlah, sudah kadung ini, lagian kan siapa tahu berguna untuk pasien2 laen yang punya masalah yang sama. Datanglah dokter2 muda yang lain, saya jadi bahan tontonan. Persis kayak tengkorak di lab biologi..si dokter kepala sibuk..let's see this case, she has..bla..bla..you can see that..bla..bla

Ternyata penderitaan saya belum selesai sampai di situ, ini dokter dikasih tangan minta lengan. Dia terus mohon lagi kalau saya bersedia untuk dipoto, biar nanti dimasukin ke arsip dan bisa dipresentasikan kepada dermatologis yang laen. *Gubrak* Nasib kok segininya? Dipoto bukan karena keindahan, tapi karena penyakit. Kalo tadi berpikir sudah basah mandi sekalian, sekarang berpikir, sudah mandi tenggelam sekalian. Akhirnya saya rela untuk dipamerkan sebagai kasus X, dengan syarat muka saya jangan dipoto! Sibuk menghibur diri, sudah pit, itung2 amal untuk ilmu pengetahuan. *tetep aja malu*

Inti cerita, mimpi saya jadi kenyataan. Saya jadi model untuk presentasi masalah kulit!!

Bon à savoir = Perlu untuk diketahui

Baru2 ini saya langganan majalah yang judulnya Bon à savoir, atau kalo diartiin 'Perlu (atau) patut untuk diketahui'. Sebenernya saya paling males kalo disuruh baca apa2 dalam bahasa perancis. Ruwet...masak mau baca koran aja musti ditemenin kamus setebel bantal? Mendingan baca yang bahasa Inggris aja deh, paling enggak kata yang asing cuman dikit, bisa dilewat. Tapi majalah yang satu ini laen. Isinya bagus banget, sampai2 saya rela mengkerutkan kening waktu baca dan Xaf harus nyiapin kuping karena saya bakalan tanya kosa kata setiap 5 menit.

Bon à savoir adalah majalah yang isinya tips untuk konsumen pengguna barang atau jasa atau penjelasan mengenai masalah kehidupan sehari2. Tips untuk konsumen adalah bagian yang paling saya gemari. Bagaimana tidak, akhirnya ada majalah yang menerangkan tentang produk di pasaran, bukan promosi tapi menjelaskan keunggulan atau keburukan produk tersebut. Bon à savoir sering melakukan test untuk satu jenis produk dengan cara membandingkan satu merek dengan yang lainnya. Untuk saya yang masih asing dengan merek2 di pasaran, saya jadi tahu merek yang mana yang lebih menguntungkan.

Satu edisi membahas tentang shampoo. Beberapa produk dites untuk mengetahui kandungan kimia yang bisa merusak rambut atau mengakibatkan alergi. Hasil penelitian menunjukkan *jadi inget praktek lab kimia* kalo shampoo Pantene anti ketombe itu banyak mengandung zat kimia yang kurang baik dan bisa menyebabkan alergi. Nah lho...untung kagak jadi beli.

Kalo Lembaga Konsumen Indonesia (masih ada nggak?) nerbitin sesuatu, harusnya ya seperti majalah Bon à savoir. Ringkas, padat, dan sepanjang yang saya tahu tidak diboncengin kepentingan bisnis tertentu, jadi bisa netral dan jujur. Bisa kasih komentar yang nyeleneh ke perusahaan tertentu yang kemudian mau tidak mau harus mengambil kebijakan untuk membenahi sosok negatif perusaan atau produknya. Siapa bilang media hanya digunakan untuk keperluan bisnis, untuk promosi, atau kalo pake istilah kelompok kiri, untuk menyebarluaskan kapitalisme dan menciptakan gaya hidup konsumerisme? Media juga bisa digunakan untuk mendukung masyarakat dan membuat kelompok bisnis jadi lebih bertanggung jawab terhadap konsumen.

Tapi yang dikritik tidak hanya masyarakat bisnis aja kok, pemerintah juga kena. Bon à Savoir juga memberikan rubrik yang menjelaskan tentang kebijakan publik pemerintah yang mempengaruhi kehidupan sehari. Percaya nggak percaya, di Swiss yang namanya peraturan publik hampir tiap hari ada yang baru. Jadi ya kita perlu tahu untuk bisa memanfaatkan peraturan tersebut atau sekedar menghindari denda. Penulis kadang memberikan kritik terhadap pemerintah yang gagal memberikan hak kepada masyarakat sesuai dengan janji kebijakan publik mereka.

Pengen deh bisa bikin majalah serupa di Indonesia. Cuman nanti ada yang beli nggak ya? Yang ada malah bangkrut atau dibredel. *sigh* Another dream to be crossed out from check list.

Monday, April 11, 2005

Baby question

After wedding, it is normal in Indonesia for family or people around you to ask 'baby question'. So, I have been facing these baby questionS for almost 2 years now. First my parents were reluctant to ask "are you pregnant yet?" as they know that I hate that question and think that the question is absurb. But yet, they are still living in a society believing that baby should be born as soon as possible for young couple to actually form a family, and for me to be a real woman. Thus, they finally asked the question, although indirectly, and of course, I gave them my best known and usual answer. Children should wait until I have finished my PhD, until I am satisfied with my own life, until I have a good career, in short until I want to have one and ready to have one.

Let's talk about the importance of baby. Do you really need a baby to form a family? Is baby vital for the strenght of couple's bound? Is it impossible to be happy without a baby in a marriage life? My answer is NO. It's not that baby should not bring happiness, the point is there can be happiness without child. Being just two does not mean a couple does not have a family, a small one, yet it is still a family. In Indonesia some people argue that a wife should have children to bound her husband to her through the kids, and a childless wife should be ready to have her husband looking somewhere else to have kids. How sad. How low women's worth is in the eye of society. What about if a woman cannot have children? Is she should be condemned to be unhappy and incomplete for the rest of her life? How unfair! Woman's existence and identity should not be dependent on husband or children. Womanhood is beyond marriage and pregnancy.

A lot of people have pushed me to have babies and all of them have been wondering why I do not want to taste the happiness of motherhood.

I am sure there is happiness of motherhood, but there are also worries, frustation, patience tests, etc. I am not a girl with pinky life vision. For me children is not only the boundle of joy, it is little human whose future is dependent on us, the parents. It is a huge responsibility.

Will we be able to raise them properly, having in mind that they will have to combine two different cultures, norms, and habits? Will we be able to teach them what is good in life and what is not? Will we be able to give them just enough freedom to find out who they are, but not too much to make them fall into all troubles, or too little to chock them with our love and attention? Will we be able to give them sense of responsibility, respect, and tolerance to others? Will we be able to make them listen and encourage them to feel free to talk to us? Will we be able to train them to be good person? So many questions..

I don't want to have children for the sake of having one. I want to realize and be ready of all the responsibilities waiting for me and my husband ahead. Until the moment comes, I will just smile to baby questions and simply say, "you will have to wait."

Pengalaman si pipit ke Jenewa

Si pipit pergi ke Jenewa..teng..teng..pertama kali ketemu imigrasi bandara, pertama kali ngangkut koper guede yang beratnya 20 kilo, pertama kali naek pesawat gede.

Si pipit tiba di Changi Airport...dung...dung...pertama kali dikelilingi orang asing segitu banyaknya, pertama kali dijutekin sama imigrasi Singapura, pertama kali liat airport segitu gedenya penuh dengan toko2 barang mewah, pertama kali liat WC umum yang bersihnya ampe mengkilat, pertama kali liat keran yang aernya bisa langsung diminum.

Si pipit naek pesawat gede...jreng...jreng...pertama kali duduk di pesawat 10 jam non-stop, pertama kali musti pake WC pesawat (si pipit perlu waktu 2 menit buat nyari tombol flush), pertama kali ditawarin wine gratis, pertama kali nonton film di pesawat pake individual screen, dan pertama kali jalan2 di lorong pesawat untuk melemaskan kaki.

Si pipit sampe di Zurich...eng..ing..eng...pertama kali nginjek kaki di Swiss, pertama kali naek SwissAir, deg2an nggak sabar buat sampe tujuan.

Akhirnya si pipit sampe di Jenewa...deg..deg..gimana kalo visa ditolak? gimana kalo kelupaan surat penting? Aduh..itu surat dari pemerintah Swiss mana lagi? Aduh..kok tampang petugas imigrasinya galak ya? Gimana kalo dia cuman bisa bahasa perancis, musti ngomong apa? Aduh..tinggal satu orang lagi nih..gimana kalo tiba2 gue dideportasi...upps..harus nunggu di balik garis tunggu.

Si pipit keluar dari Geneva Airport...pertama kali menghirup udara Jenewa, wow..dingin dan bersih banget! Pertama kali liat kota Jenewa..wow..banyak pohon guede di pinggir jalan! Pertama kali ketemu maman..wow..isn't she an angel?

Memories that I will never forget.

Tolong, permisi, dan terima kasih

Tolong, permisi, dan terima kasih adalah tiga kata ajaib yang membuat antar manusia jadi lebih mudah dan harmonis. Awalnya gue nggak terlalu sadar akan keajaiban kata-kata tersebut. Untung ortu mendidik anak-anaknya dengan standar kesopanan yang cukup tinggi (menurut gue).

Gue inget, dari dulu kita selalu harus bilang tolong kalo minta sesuatu, permisi kalo harus lewat di depan orang yang lebih tua atau yang nggak dikenal atau ketika harus memotong pembicaraan, dan harus bilang terima kasih kalo dikasih apa-apa, atau setelah menerima pertolongan. Kalo sudah ada tamu dateng, atau kalo kita harus bertamu ke rumah orang laen, otak gue langsung sumpek, abisnya harus inget-inget semua aturan dari nyokap. Salah sedikit bisa berakibat fatal!! (My mom can be the scariest person on earth!!)

Hasil dari pelatihan inilah gue jadi terbiasa untuk mengucapkan tiga kata ajaib tersebut kapan aja, dimana aja, dan untuk siapa aja. Thank GOD, karena ternyata tiga kata ajaib tersebut menyelamatkan hidup gue selama 2 tahun pertama di negeri orang, waktu kemampuan bahasa gue masih bisa disamakan dengan anak umur 5 tahun, or even worse.

Di sini, kata tolong HARUS digunakan setiap saat kita meminta orang lain untuk melakukan sesuatu untuk kita. Waktu belanja, waktu minta tolong tunjukin arah, waktu nanya jam berapa ke teman, sampe waktu minta sayuran di meja makan. Gue rasa gue tempelin kata s'il vous plaît ato s'il te plaît hampir di setiap kalimat, dan kata ini menyelamatkan gue dari pandangan sinis dari orang lain. Walaupun kadang kalimat gue kacau balau, mendengar kata s'il vous plaît, orang pasti tetep senyum dan berusaha mengerti apa yang mau gue ucapin. Dan sampe sekarang gue belom pernah kena bentak orang (kecuali orang gila...yup di sini juga ada orang gila berkeliaran). S'il vous plaît dan senyum ramah telah menyelamatkan gue dari kesalahan sosial.

Kata permisi, another magic word, juga telah membantu gue dalam berintegrasi dengan masyarakat di sini. Excusez-moi, yang berarti permisi dan juga maaf, telah menyelamatkan gue dalam berbagai kesempatan. Tiap gue mau menarik perhatian orang lain, tinggal ngucapin excusez-moi dengan sopan, nenek-nenek yang jutek pun bisa luluh. Dan setiap gue salah mengucapkan sesuatu atau melakukan sesuatu (seperti nginjek kaki orang di bis), gue langsung nunduk-nunduk sambil ngomong excusez-moi ato pardon ditambahi senyum, dan orang pasti langsung senyum dan nggak jadi dongkol.

Terakhir, mengenai kata terima kasih. Wah..kata ini adalah kata yang paling populer. Kita HARUS mengucapkan merci beaucoup tidak hanya waktu menerima sesuatu atau setelah ditolongin orang lain, tapi juga sewaktu orang lain membiarkan kita memasuki bis lebih dahulu, ketika membayar belanjaan di kasir, ketika penjual memberikan apa yang kita minta, ketika pelayan di restoran selesai menyajikan makanan di meja, ketika mau makan masakan yang dibikin oleh orang lain (baik itu nyokap, teman, suami, pembantu, siapa aja), ketika orang rumah selesai membereskan rumah atau mencuci pakaian, ketika mau pulang setelah diundang oleh orang lain, dan ketika menyelesaikan percakapan dengan orang lain. Kapan aja, dimana aja, dan kepada siapa aja.

Mungkin kalian yang baca ini akan komentar, 'sudah tahu kok, sudah dilaksanakan kok, so what?'

Gue juga tadinya berpikir kayak gitu. Sebelum dateng ke sini, gue merasa sudah menjadi orang yang cukup sopan ke orang lain. Tapi ternyata tidak! Setelah gue keluar dari lingkaran sosial dan melihat ke dalamnya dari luar, gue jadi sadar kalo selama ini gue kurang sopan ke orang-orang yang bukan 'orang laen' atau ke orang-orang yang dianggap memiliki status sosial yang lebih rendah daripada gue.

Coba pikir...kita sering nggak ngerasa perlu untuk mengucapkan terima kasih kepada nyokap atau pembantu yang sudah masak. Ucapan terima kasih bukan hanya waktu hari ibu aja, kita harusnya mengucapkan terima kasih setiap saat mau makan, sadar kalo nyokap udah susah payah masak buat kita. "Emang kok, gue selalu sadar jerih payah nyokap", mungkin kalian akan berkomentar, dan gue juga selalu berpikiran begitu dulu, tapi apakah keluar kata terima kasih? Jarang! (paling enggak dalam kasus gue). Kita cuma berpikir, ahhh..nyokap tahu kok kita berterima kasih. Memang mereka pasti tahu, tapi alangkah senangnya mereka kalo mendengar kata terima kasih dari bibir kita.

Kepada pembantu juga begitu. Dulu gue berpikir, ah..itu kan memang tugas mereka, dan mereka memang dibayar untuk itu. Tapi sekarang gue jadi malu sama sikap gue dulu. Gue memang nggak pernah kasar atau nggak sopan ama mereka (nggak sopan ama pembantu bisa dapet hukuman super berat dari nyokap), tapi gue juga nggak berterima kasih sama jerih payah mereka.

Di sini gue belajar banyak. Ngeliat bagaimana sopannya Xaf ama nyokapnya. Xaf nggak pernah sekalipun lupa mengucapkan terima kasih sebelum makan, sesudah makan, waktu nyokapnya ngasih baju yang sudah digosok, waktu rumah selesai dibersihin, atau sekedar waktu nyokapnya ngasih telpon. Dan gue bisa liat, bahagianya maman setiap mendengar kata merci maman. Gue jadi malu..malu banget..jadi inget lupanya gue selama bertahun-tahun untuk mengucapkan kata terima kasih ke orang-orang rumah atau orang sekitar.

Setelah menikah pun gue dibahagiakan oleh kata terima kasih. Xaf nggak pernah lupa ngucapin terima kasih kapan aja gue melakukan sesuatu untuk dia atau untuk rumah. Untuk kaum pria yang sudah berumah tangga atau yang akan berumah tangga, gue kasih saran, coba deh sering-sering mengucapkan terima kasih sama istri atau calon istri. Terima kasih karena istri sudah mencuci piring, menggosok baju, masak, membersihkan rumah, membereskan tempat tidur, atau sekedar membukakan pintu. Percaya atau enggak, istri pun akan jadi merasa dihargai, dan merasa dicintai.

Simple, but true. Ever said thank you after your wife kissed you good morning? Ever said thank you for having her beside you? Ever said thank you when your wife passed you salt at dining table? Start to say thank you, and you'll see the magic.

Akhirnya gue sadar, dan waktu pulang ke Indonesia gue tetap berusaha menerapkan standar kesopanan yang gue dapet dari hidup di Jenewa. Hasilnya..simply magic. Nyokap jadi jarang marah dan seneng setiap gue bilang terima kasih. Muka pembantu di rumah pun jadi lebih cerah. Pelayan toko yang jutek karena capek setelah seharian berdiri di balik counter kaget ketika mendengar kata permisi dan terima kasih. Wajahnya jadi sedikit lebih cerah dan senyum tipis pun berhasil gue dapatkan. Tukang angkot pun jadi lebih ramah waktu gue ucapin terima kasih setelah menerima uang kembalian. Senyum gue pun dibalas dengan senyum hangat. Abang tukang becak pun jadi tersenyum ramah waktu gue ucapkan terima kasih dengan sopan, dan langsung inget muka gue keesokan harinya waktu gue lewat lagi di pangkalan becak. Dia dengan ramahnya manggil gue "naek becak lagi neng?"

Bisa membuat orang2 yang setiap hari berpeluh keringat untuk mencari nafkah tersenyum merupakan kebahagiaan tersendiri buat gue. Senyum orang yang hidupnya susah jauh lebih tulus dan murni. A smile that makes me still believe in humanity.

Status sosial...kelas sosial...banyak yang nggak sadar akan eksistensinya, tapi sebenarnya kedua hal ini mengatur jalannya kehidupan sosial di masyarakat, terlebih lagi di Indonesia. Tanpa sadar, masyarakat hanya mewajibkan kita untuk bersikap super sopan ke orang yang status sosialnya lebih tinggi dari kita, tapi apakah kita diwajibkan untuk bersikap sopan ke orang-orang kecil? Jarang gue lihat ada konsumen yang mengucapkan terima kasih ke pelayan toko atau kasir. Jarang ada bos yang bilang terima kasih ketika ada pembantu kantor membawakan kopi atau teh. Dan kita tidak dilatih untuk menyadari jerih payah orang lain ketika orang lain itu dianggap tidak atau kurang penting. Walaupun kita dilatih untuk sopan, kita kurang dilatih untuk menghargai orang lain terlepas dari status dan kelas sosial mereka.

The worse part is, more and more children are so spoiled and exempted from manners regulation and habit. Kalau ada anak yang main sradak-sruduk di tempat umum, mengambil sesuatu tanpa meminta terlebih dahulu, atau langsung ngacir ketika selesai diberikan sesuatu, ibunya kebanyakan akan bilang, ah..namanya anak kecil..nggak perlu galak-galak begitu dong. Dan kalau ada anak kecil yang kurang sopan, orang lain pun akan memberikan toleransi, dengan alasan..ah namanya anak kecil.

People sometimes forget that those children will be adult someday, and if they think they do not need to be polite and thankful to others, we will end up with a society full of arrogant people.

Sunday, April 10, 2005

Kerja bakti

Hari Minggu adalah hari kerja bakti, alias bersih2. Sayangnya kerja baktinya nggak rame2, tapi solo...jadi kangen ama rumah ortu. Di sana, hari Minggu setiap anggota keluarga musti bantuin bersih2, ada aja yang musti dibersihin. Nyokap nggak pernah kekurangan ide untuk kerja bakti hari Minggu.

Untungnya di sini yang dibersihin juga kagak banyak. Rumah gue mungil, abisnya tinggal di rumah susun. Kamar cuman satu, dapur satu, ruang makan satu, ruang tamu satu, semuanya serba satu..dan yang ngebersihin juga satu. Meski begitu, bersih2 di sini bisa jadi ruwet, abisnya kita musti hati2. Nge-vakuum nggak boleh di bawah jam 7 pagi, karena bisa mengganggu tetangga. Mau ngepel, aer pel nggak bisa dibuang ke luar rumah...gue kan di tingkat 2, yang ada entar aernya ke balkon tetangga di bawah, bisa rusuh! Bersihin kamar mandi juga kagak bisa gebyar gebyur, wong lantai kamar mandi harus selalu kering. Kalo enggak, aernya bisa merembes ke tetangga di bawah. Ribet kan..

Tapi meskipun begitu, ada enaknya. Di sini produk kebersihan buanyakkk banget!! Setiap sudut dan perabotan rumah ada produk khususnya. Ada sih yang all in one, tapi kalo pake produk khusus lebih bersih. Buat dapur aja ada 5 macem, satu buat kompor, satu buat dinding deket kompor yang kena cipratan minyak, satu buat tempat cuci piring, satu buat lantai, dan satu buat kaca. Banyak kan. Tapi beneran sakti mandraguna. Cukup disemprot, terus ditinggalin, terus dilap ama digosok dikit, kompor ama dinding langsung mengkilat! Persis kayak iklan di TV. :) Kerja bakti pun jadi lebih ringan, walaupun budget bulanan musti nyisihin porsi buat produk kebersihan. Dan produk kebersihan rumah jadi bersaing sama produk kecantikan!

Sampah dan daur ulang

Kalau di Indonesia daur ulang baru menjadi trend kira2 beberapa tahun yang lalu, di Swiss daur ulang sudah menjadi gaya hidup. Sebagai negara kecil yang mempunyai sumber energi dan alam yang terbatas, Swiss berusaha untuk menghemat sumber tersebut. Semua serba dihemat, air, kayu, kertas, kain, botol plastik, kaleng, gelas, sampe sampah biologis. Yang namanya tong sampah di sini macem2 bentuk dan warnanya. Banyak tong sampah yang dikhususkan untuk satu jenis sampah saja.

Ngomong2 tentang sampah, Swiss bersih banget!! Gimana nggak bersih, tiap 100 meter ada tong sampah. Tiap pagi ada mobil warna orange (di Jenewa, di kota laen mobilnya laen warnanya) yang ngumpulin sampah dari tong2 sampah di pinggir jalan. Terlebih lagi, beberapa hari sekali, banyak mobil sapu (truk kecil yang ada sapunya buat bersihin jalan atau trotoar) berkeliaran di jalan. Bayangin aja, jalan mobil aja disapu, jadi yang namanya jalan itu jarang banget ada sampah bertebaran. Trotoar juga dibersihin, pake mobil sapu mini (nyokap gue yang clean freak pasti seneng banget kalo dikasih satu..), dan kadang disemprot aer, buat ngebersihin debu yang bandel nempel di sela2 trotoar. Tempat nunggu bus juga dipoles, 2 minggu sekali. Kalau petugas kebersihan udah dateng seru deh. Mereka efisien banget. Maximal 10 menit, halte bis langsung mengkilap, setelah digosok dengan sabun dan disemprot aer. Cuman ya itu, musti hati2 kalo pas kebetulan lagi nunggu bis.

Kadang gue suka ngayal, gimana ya kalo di Indonesia juga diterapin sistem yang sama. Alangkah indahnya. Nggak perlu punya tim kebersihan dan jadwal kayak di sini, paling enggak di pinggir jalan, tong sampah disediakan lebih banyak. Tidak hanya di depan kantor pemerintah atau mall aja. Gue rasa kalo tong sampah banyak, orang pun akan lebih terdorong untuk membuang sampah pada tempatnya.

Gue masih inget dulu di Bandung dijulukin agen petugas kebersihan sama temen2 gue. Abisnya gue langsung ngamuk (beneran ngamuk) kalo ngeliat temen gue ada yang buang sampah sembarang. Gue bakalan ngoceh ampe temen gue mungut sampah yang dibuangnya itu dan nyari tong sampah. Dan sering banget gue berantem ama temen2 gue yang mau buang plastik bekas makanan di dalam angkot, atau ke jalanan dari dalam mobil. Jawaban mereka satu, "...duile pit, eloe segitunya, yang buang sampah kan banyak. Satu plastik lagi nggak akan bikin banyak perbedaan." Pemikiran seperti inilah yang bikin kota2 di Indonesia penuh dengan sampah. Tiap orang berpikir, ah..cuman kecil ini..tapi kalo 100 orang berpikir seperti itu, jadi ada 100 sampah yang bertebaran!! Berhubung gue tetep ngotot, akhirnya temen2 gue jadi punya kebiasaan nggak buang sampah sembarangan kalo lagi jalan ama gue, atau harus menanggung malu dicelotehin ama gue sepanjang jalan.

Jadi kebanyang dong gimana bahagianya gue bisa tinggal di negara yang bener2 memperhatikan masalah sampah dan kebersihan. (Coba deh baca Asterix di Swiss, di sana orang Swiss digambarkan sebagai maniak kebersihan. Stereo type, tapi ada benernya, kebersihan di Swiss beda sekali dengan Perancis ato Italia, negara tetangganya)

Kembali ke daur ulang, sekarang banyak daerah di Jenewa yang memperketat hukum daur ulang. (Yup..ada hukumnya, dan denda kalo melanggar. Hati2, di sini denda jumlahnya bisa bikin dongkol sebulan penuh) Sekarang di beberapa daerah sudah membangun tempat sampah khusus untuk sampah rumah tangga, kaleng, kertas, dan sampah biologis. Setiap rumah tangga harus memisahkan sampah mereka sebelum dibuang ke tempat sampah. Dan kalau ada yang ketahuan tidak memisahkan sampah sebagaimana mustinya, langsung didenda.

Di daerah tempat tinggal gue belom diperketat seperti itu, tapi kita udah dianjurkan untuk memisahkan sampah biologis. Pemerintah melakukan kampanye dengan membagi2kan secara gratis tempat sampah biologis (warnanya hijau dengan gambar landak, lambang sampah biologis), terus di samping tempat pengumpulan sampah ditaruh tong sampah khusus warna hijau. Gue seneng banget pas dapet intruksi dan tong sampah gratis, udah lama sih niatnya, cuman lupa mulu. Tapi rada repot juga, soalnya sekarang tiap mau buang sampah musti mikir2 ini termasuk sampah biologis atau bukan?

Kalo kertas sih memang sudah dipisahkan dari dulu, dan seminggu sekali akan ada mobil truk khusus untuk sampah kertas yang bakal ngangkut. Daur ulang kertas sudah cukup mendarah daging di negara ini. Karena mereka nggak punya hutan yang bisa memasok pabrik kertas (hutan yang ada semuanya dilindungi, bahkan pohon2 di taman kota aja dilindungi, kalo mau ditebang harus ambil suara masyarakat dulu), jadi ya musti daur ulang. Kantor pemerintah dan badan pendidikan diwajibkan untuk menggunakan kertas daur ulang untuk setiap kebutuhan. Dari kertas buat print out, note book, sampe amplop. Dan harga kertas daur ulang pun jauh lebih murah dari kertas yang diproduksi dari pohon. (Kebalikan dari Indonesia dimana pohon di hutan sudah digunduli dan pabrik kayu dan kertas disubsidi besar2an. Subsidi inilah yang menjadi pendorong penebangan hutan di Indonesia dan membuat hutan di Indonesia sebagai salah satu hutan yang terancam di dunia. I can talk a lot about this, I have been studying deforestation problem in Indonesia for four years now. But I better leave the academic talk behind)

Tahun ini ada peraturan baru untuk daur ulang alat2 elektronik. Semenjak Januari, seluruh toko yang menjual alat elektronik harus menerima alat elektronik yang sudah tidak dipakai lagi untuk kemudian didaur ulang, terlepas dari apakah alat tersebut dibeli dari toko yang bersangkutan atau tidak. Kebijakan yang sangat menguntungkan masyarakat dan pemerintah. Kewajiban mendaur ulang alat elektronik, dilimpahkan kepada kelompok bisnis. Alat elektronik tidak akan menggunung menjadi tumpukan sampah, dan pemerintah tidak perlu bingung membuat tempat penampungan sampah. Masyarakat bisnis juga tidak bisa mengeluh, karena di setiap harga penjualan alat elektronik telah disertakan pajak daur ulang.

Ternyata kekurangan sumber daya alam telah membentuk masyarakat Swiss untuk lebih berhemat dan menghargai lingkungan. Sayang Indonesia masih tidak sadar betapa pentingnya pemeliharaan sumber daya alam. Indonesia terus terang jauh lebih kaya daripada Swiss, apa sih yang nggak ada di Indonesia? Tapi karena berlimpahnya sumber daya tersebut, pemerintah jadi tidak punya alasan untuk berhemat. Penghematan sumber daya alam melalui technology upgrading memang mahal, tapi untuk jangka panjang akan memungkinkan penghematan yang sangat berharga.

Kapan ya pemerintah Indonesia mulai memikirkan lingkungan hidup dan mulai berhemat, waktu hutan semua sudah gundul? Waktu binatang dan biomas yang hidup di hutan sudah punah? Waktu seluruh sungai sudah terpolusi dan mata air sudah tercemar? Atau waktu padang rumput sudah menjadi gurun dan pepohonan menjadi barang langka?

Kapan ya masyarakat Indonesia akan sadar pentingnya membuang sampah pada tempatnya? Waktu semua sungai sudah ditutupi sampah? Waktu got menggenang dan banjir menjadi kenyataan hidup sehari2? Waktu jalanan sudah dihiasi dengan sampah dan jalan di trotoar sudah harus pake sepatu bot? Atau waktu seluruh pulau sudah tertutup sampah?

Wednesday, April 06, 2005

Sarapan pagi

Pagi-pagi begini enaknya ngeblog tentang sarapan (ketauan deh kalo gue ini gembul). Ngomongin sarapan gue pasti langsung ngebanding2in antara sarapan waktu masih di Indonesia ama setelah gue terdampar di sini.

Waktu masih di rumah ortu, sarapan selalu teratur. Nyokap gue garang banget kalo sama yang namanya sarapan. Menurut dia, belajar baru bisa optimal kalo perut kenyang. Lagian dia nggak percaya sama mutu makanan yang disajiin di kantin sekolah, terserah mau itu lontong, nasi uduk, ato lainnya. Jadi ya..sebelom berangkat sekolah, semua harus sarapan di meja makan bareng2 ama ortu. Acara sarapan jadi bentuk kontrol sebenarnya, karena kita musti ngabisin semua yang ada di piring (dan gue selalu kena marah pagi2, karena gue dulu kalo makan kayak kucing, kagak pernah abis) dan musti makan dengan baik dan benar (sekali lagi, gue kena marah deh, abisnya gue kalo makan selalu berantakan).

Pas gue kelas 3 SMP, temen baek gue tinggalnya deket rumah, dan nyokapnya jualan nasi uduk. Semenjak itulah, gue sering banget nggak sarapan di rumah, tapi langsung ngacir ngejemput temen gue untuk berangkat sekolah bareng. Dan 9 out of ten, pas gue dateng temen gue itu belom siap. Lagi mandi lah, masih pake baju lah, dsb. Jadi ya gue manfaatin waktu nungguin dia buat sarapan nasi uduk bikinan nyokapnya. Gue rasanya punya hak istimewa waktu itu, abisnya gue nggak harus berebutan dengan anak SD, dan nasi uduk buat gue selalu dianterin ke rumah temen gue, lengkap dengan sambel dan tempe extra. Jadi gue bisa makan dengan tenang sambil ngomelin temen gue yang sibuk nyiapin diri buat ke sekolah. What a nice memory. Ampe sekarang gue masih inget kenangan itu, temen gue juga (dia kalo inget2 pasti ngedumel, nggak tahu kenapa..hehehe). Dan tiap gue pulang ke rumah ortu, gue selalu pesen nasi uduk buat sarapan pagi.

Masuk kuliah, gue musti pindah ke kota Bandung. Jauh dari ortu dan musti nge-kost. Sarapan jadi masalah! Abisnya gue sering banget telat bangun (Bandung dingin sih..jadinya susah bangun pagi..alasan..hehehe) dan sarapan nggak tersedia di meja makan kayak waktu di rumah ortu (baru kerasa kalo selama ini gue tergantung sama orang rumah dan dimanjain..jadi malu..). Tapi berhubung gue dibiasain ama nyokap buat sarapan pagi, perut gue selalu berontak kalo nggak diisi sebelom kuliah pagi, dan biasanya gue jadi bad mood abis! (Temen2 gue langsung ngacir kalo liat gue yang kelaparan pagi2 di kampus) Sarapan pun jadi ngacak2...kadang jam 8 pagi (ngunyah sambil jalan ke kelas buat kuliah pagi) ato jam 10 (abis kuliah langsung terbirit2 ke kantin dan ngembat apa aja yang keliatan di mata). Yang dimakan juga jadi beraneka ragam, roti pisang, cakwe, bakwan, risoles, crepe, martabak telor, tahu ato tempe goreng..pokoknya tipe makanan yang ama nyokap gue kagak pernah dimasukin ke dalam menu sarapan. (Mungkin gara2 kebiasaan makan gue ini gue jadi sakit lambung) Tapi di Bandung lah gue jadi kenal ama kupat tahu, tahu petis, lontong kari, bubur ayam...sarapan favorit gue! (Jadi kangen deh...)

Akhirnya gue pindah lagi, kali ini bukan pindah kota, tapi pindah benua. Nasib gue menentukan gue untuk tetep berstatus pelajar (nggak tahu sampe kapan...). Sarapan pun jadi ajang home sick. Kagak ada lagi nasi goreng bikinan nyokap, nasi uduk bikinan nyokapnya Irma, lontong kari Ciumbuleuit, bubur ayam simpang dago, kupat tahu balubur, Cakwe depan kampus, kupat tahu Kings, ato sekedar Indomie goreng pake telor ceplok bikinan bibik tati. Sekarang sarapan gue diisi dengan croissant, croissant au chocolat, pain au chocolat, biscotte pake nutella, tresse pake nutella, ato roti2 jenis laen. Adek gue, yang masih tinggal di Bandung, kalo diceritain langsung deh ngiler (perhatian, adek gue ini western mania, apa2 yang berbau barat pasti suka). Kagak sadar kalo dia itu beruntung banget bisa sarapan macem2, dengan berbagai rasa, mau pedes, asin, asem ato manis. Kalo sarapan di sini rasanya sama semua. Roti mulu..yang laen paling cuman isi rotinya, coklat, vanilla, almond, ato nature. Tapi menurut lidah kampung gue, tetep aja rasanya sama..as my mom would say..rasa susu!

Monday, April 04, 2005

Komentar, bagian kedua

Menyambung posting sebelomnya, sekarang giliran berceloteh tentang komentar dari orang2 asing yang gue temui di sini.

Kebanyakan orang2 yang gue temui di sini ya temen2nya Xaf. Semuanya baik..sangat baik malah. Nggak pernah ngasih komentar miring ato menyangkut masalah fisik..semuanya seneng ngeliat hubungan kami berdua. Sebagian komentarnya...

Isn't Xaf so lucky to find such a beautiful and nice girl like you? No wonder he is so deeply in love...

(Gue mau pingsan pas denger komentar kayak gini, seumur2 baru di sini gue dibilang cantik. Di Indonesia gue selalu dibilang urakan dan kampungan, berhubung gue kagak suka dandan ato modis2an)

(setelah diceritain kalo kita ketemu lewat internet) wow..what a romantic story, just like in movie or novels...I wish I had that kind of story.

(Ini komentar kebanyakan cewek. Gue cuman bisa sumringah)

(waktu mo married)...gosh, I'm so happy for you. Both of you make such a nice couple. My best wishes for both of you..(setelah married)..so how's married life? I hope you won't have too many problems due to cultural differences. If you need someone to talk to, you can always call me, ok.

(Perhatian, kagak ada yang namanya komentar 'kawin karena kecelakaan'. Paling banter mereka komentar tentang gaun penganten gue yang warnanya item! Abisnya..gue baru beli gaun sehari sebelom married..pas dapetnya item ya diembat aja..ato komentar tentang cincin kawin yang belom selesai..ato komentar ngeliat gue yang pake gaun penganten plus sepatu kets abis acara. Gue mana betah pake hak tinggi lama2)

Tapi jangan salah, komentar yang nyepet juga banyak kok. Nyokapnya Xaf bilang terus terang kalo temen2nya sempet curiga kalo gue ini tipe cewek dari negara terbelakang yang berusaha memanfaatin Xaf untuk bisa dateng ke Swiss. Dia juga sempet kuatir.

(Udah bisa diduga. Makanya gue nggak mau pas Xaf ngajakin married abis lulus kuliah. Gue nggak mau dateng ke Swiss hanya karena dia dan bergantung ama cowok. Gue mau bisa dateng dengan usaha gue sendiri, dan hidup di sini dengan jerih payah gue sendiri. Dan ternyata keyakinan dan kekeraskepalaan gue berbuah. Nggak ada lagi omongan miring tentang gue yang ndompleng Xaf untuk bisa tinggal di sini)

Yang lebih seru, kadang gue musti nerima pandangan sinis dari orang2 di sini, terutama nenek2 (di sini yang namanya orang tua, kadang kejam abis. Nggak kayak di Indonesia). Kalo gue dan Xaf jarang bareng, gandengan tangan, nggak jarang orang ngeliat kita dengan pandangan sinis. Gue sangka awalnya rasis, tapi ternyata bukan. Ternyata mereka nyangka gue ini pelacur!

Duh..emang nasib..Karena sex tourism di Thailand, jadi orang awam mandang semua cewek dari Thailand itu pasti pelacur. Dan berhubung muka gue ini mirip sama orang Thailand (lha..namanya juga sama2 dari benua asia tenggara), gue dianggep salah satu cewek pemuas nafsu. Ditambah di sini banyak memang penjual jasa yang dari asia tenggara berseliweran di 'red district'.

Gue udah pernah 'ditegor' sama cowok iseng...kakek2 malah! Edan..awalnya gue nggak ngeh, gue kan mikir kakek2 ya musti dihormati dong. Tapi pas gue ceritain ke temen gue dia malah ngakak. Jadi sekarang kalo ada kakek2 yang mulai jalan ke arah gue, sebelom terjadi apa2, gue langsung ngacir..

Pernah juga, pas lagi nunggu bis, gue tiba2 didatengin ama cowok (cakep, rapi lagi). Dia nawarin gue kerjaan buat jadi bintang film. Berhubung gue udah kerja dan sambil kuliah, gue tolak dengan sopan dong (walaupun sempet bangga juga, baru kali ini ada yang nawarin gue maen film). Pas gue cerita ke nyokapnya Xaf, dia langsung melotot. Dia langsung wanti2 untuk nggak ngomong sama cowok2 yang kagak dikenal. Dia bilang, itu biasanya tawaran maen di film porno!! *gubrak*

(Heran...kok bisa2nya nawarin gue maen film porno. Kagak liat apa bodi gue yang tipisnya ngalah2in triplek?)


Kesimpulan dari komentar2 yang gue terima, ternyata gue lebih menerima banyak dukungan positif dari temen2 gue di sini. Memang bener gue masih nerima komentar miring, tapi itu dari orang2 yang gue sama sekali nggak kenal, yang ketemu papasan di jalan, atau duduk berdampingan di bis. Dan komentar2 yang bikin kuping panas itu lebih disebabkan generalisasi (it's not about me or our relationship, it's about people's ignorance and generalization).

Di sini gue malah lebih tenang. Kuping gue jarang banget panas, yang hangat adalah hati gue. Setiap orang di sini selalu berusaha ngebantu dan mendukung gue, karena mereka sadar nggak gampang bagi gue untuk hidup di negara yang beda sama sekali dari Indonesia dan untuk menikah dengan orang yang berasal dari kultur yang berbeda.

I think I may have found my second home.

Komentar

Males banget mau baca, ditambah temen seruangan udah pulang, jadinya tambah kagak ada motivasi buat baca bahan kuliah. Biasanya kalo ada dia ada, paling enggak gue malu browsing atau maen2 kagak karuan di kantor, tapi..Ya sudahlah. Sebelom ikutan kabur mendingan gue nge-blog ide yang udah ada di kepala selama hampir seminggu.

Kali ini mau bagi2 pengalaman panasnya kuping mendengarkan berbagai komentar dari orang2, teman, orang yang sok kenal dan sok dekat, tetangga, keluarga, atau orang yang kurang kerjaan tentang hubungan gue dengan ex-pacar (sekarang udah diiket sama cincin kawin) yang orang asing.

Dari temen2 cewek yang...

temen baek: ...glad that you finally found someone that may be able to understand you better...jangan lupa traktir2, dan promosi poto gue ya ke temen2nya yang ok punya.

(komentar kayak gini enggak bikin kuping gue panas, paling bikin dompet tipis. Xaf paling cuman geleng2 kepala, bingung gimana caranya ngebantuin gue promosi temen2 gue)

temen baek yang keseringan baca serial cantik, nonton serial komedi romantis ato novel2 cerita cinta: ...aduh asik dong dapet bule, pasti romantis deh. Entar eloe berdua bisa dansa waltz, kalo dia kencan dibawain bunga, candlelight dinner, pesiar ke perancis, roma, venisia, etc..

(ngadepin komentar kayak gini gue cuman bisa senyum miris. Miris ngeliat segitu terbuainya temen2 gue dengan cerita2 romantis ala telenovela, dan miris karena tahu gue hidup bukan dalam cerita telenovela. Mau dansa yang ada kita injek2an kaki, beli bunga itu buang2 duit, mo pesiar ke kota2 romantis, budget kita berdua yang nota bene masih berstatus pelajar tipis banget. Gaji sebagai asisten yang pas2an abis buat bayar segala macem rekening)

temen baek yang punya jiwa istri dan keibuan yang membludak: ...aduh pit, selamat ya. Cepetan punya baby dong, pasti anak eloe cakep deh, indo kan. Entar anak eloe dijodohin ama anak gue, gue udah pesen pokoknya.

(dalam hati ngedumel..emang gue kucing kampung yang dikawinin ama kucing ras?)

temen biasa yang niatnya kagak jelas: ...wah, kok bisa sih dapet bule? dari chatting ya? Gue juga punya banyak temen chatting bule lho. Mereka ngajakin gue pacaran, malah nyuruh dateng ke tempatnya, tiketnya dibayarin pula. Gue terima ah (padahal belom pernah ketemu muka sama sekali, cuman denger gombalan doang), buktinya eloe bisa dapet bule.

(kalo ada yang komentar kayak gini gue langsung bingung, kagak tahu musti bales apa. Pertamanya gue berusaha ngejelasin kalo gue emang kenal lewat internet, cuman kagak kayak yang mereka bayangin. Terus berusaha nasehatin jangan cepet percaya sama gombalan lewat chatting, karena banyak pervert yang berusaha manfaatin kenaifan ce dari negara dunia ketiga yang ngebet banget jalan2 ke Eropa ato Amerika. Yang ada mereka ngeliat gue dengan pandangan curiga dan sinis, seakan berkata, "emang eloe aja yang bisa dapet bule. Gue juga bisa dong. Kok eloe malah ngalang-ngalangin sih?")

temen biasa yang jelmaan si Sirik: ...enak dong dapet bule, pasti duitnya banyak. Pasti deh eloe dibayarin macem2, udah gitu bisa jalan2 ke luar negeri gratis. Kok bisa sih? ...yang paling parah ada yang nyeletuk kayak gini, bercanda maksudnya (yeah right)...iya pit, eloe kan mukanya indonesia banget, kulit eloe gelep dan natural (kampungan, red) makanya dia suka...ato..'ceile, dream comes true ni ye..'

(ini komentar yang bikin kuping panas dan bikin tangan gatel. Entah kenapa orang Indonesia seneng banget bercanda yang kagak lucu)

Dari temen cowok...

temen baek: ...I'm so happy for you. Hope he'll be able to understand you better. It's good, as you are always out of place here.

(satu kata, thanks guys)

yang laen: ...wah pacarannya udah sampe mana aja..ehm..ehm...asik dong, tinggal di eropa, pacaran ama bule, pasti deh udah lepas landas yee..ato yang paling parah..wah pasti puas dong, kan orang bule 'anu'nya gede!

(komentar2 kayak gini menandakan dengan jelas ke-frustasian co Indonesia. Nafsu seksual gede, cuman takut dosa, yang ada malah becanda2 jorok. Heran deh, kenapa sih cowok ngerasa kalo becanda tentang seksualitas itu lucu ato jantan? Gee..get a grip guys)

Dari keluarga: ...pokoknya dia musti pindah agama..titik, kagak pake koma...(setelah Xaf ganti nama jadi Zafri al Karim)...apalagi sih yang ditunggu2 pit, jangan married lama2, apa kata tetangga nanti (I believe everybody was afraid that I would be pregnant before marriage. No confidence whatsoever with their own daugther, sigh)...(setelah married)...udah hamil? apa sih yang ditunggu2..kan anak kamu pasti cakep..

(gue rasa orang2 bener2 mandang gue sebagai kucing kampung deh)

Dari tetangga ato orang orang iseng: (komentar di belakang punggung gue)...udah tahu kalo anaknya ibu tuti pacaran ama orang bule? ya ampun..kok orang tuanya ngebolehin sih? Udah ngapain aja ya mereka..astagfirullah..kalo saya mah, udah saya tindak...(pas married)..wah kok menikahnya kayaknya buru2 ya...jangan2 hamil *gubrak*...(dua tahun abis akad, kali ini komentarnya di depan muka)...gimana pit? udah? udah belom? Jangan ditunda2, pamali lho, ato bermasalah ya?

(Mind your own business people!! Orang senengnya suuzon aja.. Kagak bisa percaya kalo gue yang dicap liar ini bisa punya moral yang kagak terlalu ancur2an. Gue yakin, pas abis kawinan, pasti ibu2 sekampung sibuk ngitungin bulan, mau mastiin kalo gue kawin karena hamil duluan)


Mungkin menurut kalian komentar sambil bercanda itu nggak apa2, dan ngomentarin orang itu sah2 aja. Emang bener sih, semua orang berhak untuk berkomentar, tapi inget, orang yang dikomentarin juga berhak untuk nggak nerima komentar2 yang dianggap 'normal'. Coba deh, sebelom komentar ato berpikir untuk berkomentar, cek diri sendiri dulu..udah pantes belom?

Terus terang, gue udah kenyang mendengarkan komentar baik yang langsung maupun yang dibelakang punggung (desas-desus kok pake corong suara?). Kuping udah panas, dan bibir udah kaku mamerin senyum beku. Satu pelajaran, gue jadi lebih berhati2 dalam berkomentar, setelah mengalami jadi pihak yang dikomentarin.

Tapi komentar yang gue dapet bukan cuman dari indo aja kok, dari pihak si bule juga ada. Entar di part 2...

bersambung

Story of and for trees, part 2

Finally I can continue my tree story. Hemm..where was I, oh yes, my grandmother's lesson. Still at my grandmother's village, I found another reason to be in love with trees.

One day, on our way to Padang, we stopped next to a secluded river found next to the street. I love this street because it is build around a mountain, where most of mountains vegetations are kept intouch to prevent erotion. And there is even a natural waterfall next to the street! This time we didn't stop at the waterfall, there were too many people. We went further, and stopped at an entrance of villas. There was a path to go down, where you will find small houses built next to river at the foot of the hill. We went down, and voila..I saw river surrounded by hills covered by old trees, whose old roots and branches created natural umbrella and wall from the 'outside' world. I went speechless, I though I would burst into tears. It was so quiet and untouched by time.

Everything was so natural and old. Water flow between black and slippery stones. It was so clean and fresh. No noise except the breeze of leaves and the flush of water. Suddenly I felt like an intruder of a pristine world. I finally realized how old the world is, I felt so small and young in front of those magnificent trees.

I then braved myself to dip my feets into the river. Together with my best friend, we sat among old roots and, for few minutes, let ourselves to be enchanted by the nature. I didn't know how long I sat on the riverside, enjoying the fresh mountain water washing away my fatigue, and admiring the most beautiful creature around me. I wanted the time to stop, leaving me and my best friend to be part of this world.

That was the time when I start to be really in love in trees. I still remember that I said to myself, if only I could be a tree. I still wish it today. My love for trees is not only for its function and what it can bring to me. I simply love trees for what it is, for its beauty, age and existence.

Sunday, April 03, 2005

Dream and frustation

I believe that dreams should tell something, either it is something that will happen in near future or just deep thoughts, feelings, ambition, desire, anger, frustation, fear, etc.

Few nights ago I had one of the nicest dream in my life. No..it's not winning million dollars or fancy car. It's not either having the moon on my lap. Indonesian believe that it is a very fortunate dream to have. My dream was actually fighting with my family members at tatami, where I kicked their ass down and threw them all over the place with my aikido moves.

The dream started with heated conversation between me and my family members due to all of our differences, the debate that never took place since I didn't want to hurt anybody else's feeling as it already has. And then, I felt so tired to have this nonsense and proposed to finish our arguments on tatami, where we could get physical. I believe, a real fight should be able to release all the anger and frustation, better than just screaming at each other. And then, the fire inside should cool off. Some people would and can think that I am a cruel girl. Everybody knows that girls should be nice and not to be physical like boys. I totally disagree. A good fight can turn out to be a discover of a good rival, rival does not doomed to be enemy, most of them can turn out to be best friends in the end.

What happened next was that all of my family members and potential members (except my mom) agreed to take me down at tatami. One by one started to attack me, and I sent them to the ground every time. I still can feel the energy that I had during the fight, it was my best randori ever, even only in a dream. And when I saw everybody lying on the ground in the end of the fight, I felt a sense of relieve that I wish for for all of these years. I woke up with a big smile and never felt better in my life before.

But then I wonder why I had the dream in the first place, and what it suppose to mean. Some of people would say, don't bother, but I think I should. I finally conclude that I have some unfinished business with my family. There are conversations and words that never got spoken. I was trapped in a society norm that holds family harmony on top of other things. I kept my mouth shut too long in my effort to avoid open conflict. In the end, I am frustated, especially since I am endowed with stubborn mind and (too) loose tongue. I surrendered too much to what my society thinks of what a family should be, a total hypocracy!

Indonesian society puts value on appearances more than on content. Not only about family, but about everything. Many people do what they do just because they want to look good in front of other people eyes. The worst part is they guide themselves and their life in what they think will look good to other people and not to what they really want to or care about. So, let's have a conflict free family, bite your own tongue when you disagree about something. Keep your smile even when people intervene in your private life and ask personal questions. Stay respectful when your uncles and aunties tell you how to run your life because they think you don't know what is good for you (meaning what looks good for others). There is no real discussion in a family, as there is a pre-text of consensus even before the discussion begin.

A stubborn minded and frank girl like me has been labelled rude, impolite, and big mouthed. I have been sharing my thoughts about anything, trying to release myself from hypocracy nets and tell people not what they want to hear but what I want them to hear. To be honest.

Unfortunately, in Indonesian society, honesty only has value when it is not 'disturbing'. Truth is good as long as it is in line with society norms and value. Again, to lie in order to look good in front of others are better than standing up and be honest. And that is what I have been doing, I was not being true to myself. The dream gives me a clue of what I should do. To be honest to my family about my thoughts, feelings, and disappointment. I'll put it nicely, of course. As my friend says, when you put a sugar coat on top of hard truth, others may actually be able to swallow it.